Pencalonan Pilpres 2019: Menantang Gagasan Anti Korupsi dan Demokrasi
Menjelang pendaftaran Calon Presiden dan Wakil Presiden pada Agustus 2018, ruang-ruang publik dan pemberitaan belakangan ini seolah hanya dipenuhi dengan diskursus numerik elektabilitas, peta koalisi partai politik, poros dua kutub kekuasaan Jokowi dan Prabowo. Berbagai lembaga survey menyajikan angka elektabilitas dan simulasi pasangan calon presiden berdasarkan popularitas dan elektabilitas.
Hal ini sah-sah saja menjelang kontestasi elektoral yang secara continue dilakukan. Namun ada hal yang sesungguhnya lebih subtantif untuk dilakukan. Seperti dialektika mengenai persoalan yang mestinya menjadi evaluasi bagi pemerintah berjalan, dan bagi orang-orang yang berminat maju menjadi calon presiden.
Belakangan ini, sejumlah pihak sudah mengkampanyekan dirinya untuk maju menjadi calon presiden, maupun hanya berniat maju menjadi wakil presiden saja. Berbagai baliho publikasi sudah ramai untuk dipasang .Tapi, dari para kandidat tersebut nyaris tidak terdengar evaluasi dan program kongkrit apa yang akan dilakukan. Para kandidat hanya bermain dalam tataran tagline, politik identitas, sembari berharap popularitasnya meningkat, sehingga layak menjadi calon presiden/ wakil presiden.
Akhirnya pencalonan presiden gersang dan hambar akan ide, gagasan, dan menjawab problem nyata di masyarakat. Proses pemilu, termasuk pemilihan presiden dan wakil presiden mestinya, menjadi kesempatan bagi pemilih untuk disajikan calon-calon presiden terbaik yang dapat dipilih guna menjawab persoalan nyata yang dihadapi masyarakat, bangsa, dan negara. Salah satu persoalan yang penting untuk dijawab dan dipecahkan dalam Pemilu 2019 nanti adalah perlu dicari sosok pemimpin yang memiliki kapasitas dalam membangun dan menegakkan hukum, serta menjaga dan melindungi demokrasi.
Evaluasi Pemerintah
Hampir empat tahun pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla berjalan. Fokus utama pemerintahan dicurahkan sepenuhnya pada pembangunan infrastruktur fisik dan pembangunan ekonomi dengan berbagai macam program, agenda pembangunan, dan paket kebijakan ekonomi yang dilakukan. Termasuk juga pemangkasan birokrasi untuk kemudahan berinvestasi dan berusaha adalah rangkaian kebijakan dan fokus pemerintah dalam membangun dan menumbuhkan perekonomian Indonesia.
Namun, fokus utama terhadap pembangunan ekonomi dan infrastruktur ini dirasa telah menghasilkan ketimpangan. Sektor penegakan hukum, pemberantasan korupsi dan pembangunan tiang-tiang demokrasi seolah terpinggirkan. Padahal untuk menjalankan roda ekonomi yang sehat, pembangunan infrastruktur yang berguna dibutuhkan sebuah ide dan pengawalan terhadap proses penegakan hukum yang adil dan konsisten.
Adanya ketimpangan terhadap proses pengawalan terhadap penegakan hukum dan pembangunan infrastruktur ini dikonfirmasi oleh beberapa data dan fakta. Salah satunya adalah angka Corruption Perception Indeks (CPI) Indonesia mengalami stagnasi. Angkanya tidak meningkat dari dua tahun lalu. Selain itu, salah satu penyumbang ketidakpuasaan terhadap pemerintah patut diduga kuat berasal dari timpangnya reformasi penegakan hukum dan pembangunan demokrasi sehingga tidak tercapainya sebuah supremasi hukum yang berdaulat.
Contoh lain misalnya, hasil revisi UU MD3 yang menghasilkan beberapa ketentuan kontroversial, dan berpotensi besar merusak proses penegakan hukum dan tatanan demokrasi di Indonesia, menunjukkan bahwa ada kelemahan di internal pemerintah untuk menjaga isu penegakan hukum dan demokrasi. Selain itu, semenjak Pemilu 1999, reformasi partai politik yang diharapkan dapat tumbuh dan lebih dewasa menjadi partai politik modern terasa tidak berjalan. Partai semakin banyak, tetapi tidak menghasilkan institusi yang kuat, berkader, punya pola rekrutmen yang demokratis, dan tidak memiliki kemampuan mengelola keuangan yang transparan dan akuntabel.
Fenomena lain bahwa adanya pengabaian terhadap penegakan hukum adalah pelemahan terhadap KPK, teror terhadap penyidik KPK Novel Baswedan yang tak kunjung terungkap, serta akselerasi reformasi Kepolisian dan Kejaksaan menjadi indikator penting, bahwa penegakan hukum mestilah menjadi perhatian penting untuk Pemilu 2019.
Adanya berbagai macam aksi massa, politisasi terhadap SARA, serta ujaran kebencian dan berita bohong yang menjadi-jadi juga tentu memiliki kaitan yang kuat, akan kebutuhan proses penegakan hukum yang fair dan pembangunan demokrasi yang lebih berkeadilan.
Sulit dibantah ruang ini menjadi titik lemah 4 tahun pemerintahan Jokowi- JK. Harusnya diskursus pencalonan presiden, mulai mengidentifikasi sosok yang menguatkan kepentingan dan pembangunan hukum dan pembangunan institusi demokrasi. Memang disadari, problematika penegakan hukum dan demokrasi sesungguhnya masalah bawaan sejak masa kemerdekaan. Namun upaya menata demokrasi dan penegakan hukum menjadi pekerjaan yang selalu terpinggirkan. Pidato terakhir Presiden SBY pada tanggal 16 Agustus 2014 mengamini pekerjaan rumah penegakan hukum yang sangat berat dan susah untuk dilakukan.
Oleh sebab itu, beberapa kriteria calon presiden dan wakil presiden di Pemilu 2019, mesti menjawan kebutuhan akan proses penegakan hukum dan pembangunan insititusi demokrasi, beberapa diantaranya adalah:
Kami memandang, setidaknya ada tiga syarat capres/cawapres yang ideal dari aspek demokrasi dan penegakan hukum:
1. Haruslah sosok bersih dan negawaran
Pemerintahan bersih dan penegakan hukum berjalan tidak akan mungkin dilakukan oleh sosok yang punya kontroversi hukum di masa lalu. Oleh karenanya, sosok bersih dan negarawan harus diarus utamakan dalam sosok capres/cawapres yang akan datang
2. Memiliki visi penegakan hukum dan demokrasi yang kuat dan konsisten
Visi penegakan hukum dan demokrasi yang dimaksud adalah visi untuk memperkuat organ-organ dan regulasi lembaga demokrasi/ hukum yang ada, serta memperbaiki berbagai ketimpangan regulasi yang masih dihadapi saat ini
3. Berani melawan mafia hukum dan mafia bisnis
Dalam kondisi penegakan hukum yang terabaikan, maka kekuatan mafia hukum dan mafia bisnis akan tumbuh. Karena pengabaian terhadap isu-isu hukum akan menimbulkan ruang bebas bergerak bagi para mafia hukum dan bisnis. Sosok pemimpin berani membongkar kejahatan seperti ini dibutuhkan menjadi pemimpin yang akan datang.
Jakarta, 6 Maret 2017
ICW-PERLUDEM