Penahanan Burhanuddin Abdullah; Pelaku atau Korban?
Semua orang tahu, pada 10 April 2008, Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menjadi tersangka penyalahgunaan dana BI sebesar Rp 100 miliar.
Semua orang tahu, pada 10 April 2008, Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menjadi tersangka penyalahgunaan dana BI sebesar Rp 100 miliar.
Sekarang dia mendekam di tahanan Bareskrim Mabes Polri, bersama dua pejabat tinggi BI yang lain, Rusli Simanjuntak dan Oey Hoey Tiong. Dua tersangka dalam kasus yang sama.
Mereka bertiga terseret kasus itu lantaran ada laporan dari audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) mengucurkan dana Rp 100 miliar untuk mengamankan revisi UU BI di DPR (Rp 31,5 miliar) serta membantu masalah hukum mantan pejabat BI (Rp 68,5 miliar).
Pengucuran dana itu berdasar atas rapat Dewan Gubernur BI pada 3 Juni dan 22 Juli 2003, yang, antara lain, dihadiri dan ditandatangani ketiga tersangka tersebut.
Korban, atau Pelaku?
Kalau membaca berita itu dan berpikir gradual, orang mudah berkesimpulan bahwa Burhanuddin Abdullah dan kawan-kawan (dkk) adalah pelaku kejahatan korupsi yang layak dihukum berat. Dibaca dengan teori kriminologi yang umum, Burhanuddin dkk mudah saja dikategorikan sebagai pelaku kejahatan elite atau white collars crime.
Kejahatan profesi yang dilakukan orang-orang yang menduduki jabatan dan strata elite dalam masyarakatnya karena didorong motivasi keserakahan. Bukan kejahatan yang dilakukan demi kelangsungan atau survival hidup sebagaimana dilakukan para penodong dan copet jalanan.
Tapi, benarkah Burhanuddin dkk sekadar pelaku korupsi dalam iklim kleptokrasi di negeri ini? Dalam perspektif kriminologi kritis, kejahatan yang dilakukan seseorang bisa merupakan sebuah respons rasional (crime is a rational respond) atas bangunan struktur dan kultur sosial yang tidak adil (korup) di mana dia hidup.
Burhanuddin dkk tidak akan bisa mengalirkan dana ke DPR dan lembaga-lembaga hukum untuk mengamankan revisi UU BI serta mengamankan mantan pejabat BI yang tersangkut hukum kalau lembaga legislatif dan lembaga hukum suci dan bersih dari praktik korupsi.
Mafia legislatif, walaupun baru sekarang ada kasus yang tertangkap tangan oleh KPK, melalui tersangka anggota DPR Al-Amin Nasution, sesungguhnya sudah lama dirasakan kejahatannya oleh masyarakat. Sekalipun banyak anggota dewan menyangkal, bahkan malah akan menggugat grup band Slank yang menulis lirik lagu tentang praktik mafia di Senayan, yang kerjanya tukang buat peraturan.
Baru setelah KPK membuktikan kebenaran prediksi tersebut, satu per satu anggota dewan mengakui. Adalah Slamet Efendy Yusuf, politikus Partai Golkar yang juga mantan ketua Dewan Kehormatan DPR, di antara mereka yang mengakui hal itu. Sekarang ini sebenarnya kejadian-kejadian DPR terima amplop mulai berkurang. Cuma, kadang-kadang ada yang tukang usil. Memberi isyarat-isyarat minta disangoni (diberi uang), katanya (JP, 13/4).
Sebelumnya, sekitar Mei 2006, Departemen Dalam Negeri pernah mengaku memberikan imbalan kepada anggota Pansus RUU Pemerintahan Aceh Rp 385 juta. Setiap wakil rakyat mendapatkan amplop berisi Rp 5 juta.
Sedangkan kasus suap yang diduga diterima anggota DPR Al Amin dari Sekda Bintan Azirwan berkaitan dengan persetujuan DPR (komisi IV) untuk konversi hutan lindung menjadi ibu kota Kabupaten Bintan.
Jadi, patut diduga Burhanuddin dkk terpaksa mencairkan dana YPPI untuk mengamankan revisi UU BI karena berhadapan dengan situasi dan kapasitas oknum yang sama, seperti yang dihadapi Depdagri dan Sekda Bintan.
Karena itu, desakan publik agar KPK segera mengumumkan anggota-anggota dewan yang pernah menerima aliran dana dari BI serta menyeret mereka ke jalur hukum layak segera ditindaklanjuti. Demikian juga anggota DPR di komisi IV, yang mungkin ada yang tersangkut kasus Al Amin.
Mafia Peradilan
Kondisi di legislatif, idem dito dengan kondisi di dunia peradilan (yudikatif), yang mesti dihadapi oleh Burhanuddin dkk ketika berusaha memberikan pembelaan kepada mantan pejabat BI yang terseret kasus hukum.
Pada akhirnya, uanglah yang harus bicara. Tak tanggung-tanggung, Rp 68,5 miliar harus dicairkan untuk pembelaan itu. Ke mana uang itu mengalir? Tentu saja, dalam proses peradilan, aktor-aktor yang terlibat adalah para terdakwa, pengacara, jaksa penuntut umum, dan hakim. Apakah mereka semua menerima? Apa dana sebesar itu hanya untuk biaya para pengacaranya, yang memang sah untuk dibayar karena pekerjaannya?
Entahlah. Namun, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan sudah memberikan lampu hijau kepada KPK untuk mengusut para hakim yang menangani kasus-kasus hukum para mantan pejabat BI. Siapa tahu ada yang menerima aliran dana dari BI.
Jaksa Agung Hendarman Supandji memang belum menegaskan hal itu secara eksplisit. Namun, melihat integritas dan keseriusannya membersihkan praktik korupsi di kejaksaan, tentu dia tidak keberatan anak buahnya yang menangani kasus hukum mantan pejabat BI diperiksa KPK. Sebagaimana dia memasrahkan pemeriksaan dugaan suap jaksa Urip Tri Gunawan ke KPK.
Pada 2005, survei yang dilakukan Transparency Indonesia menempatkan partai politik, lembaga legislatif, dan lembaga-lembaga hukum sebagai lembaga yang belepotan dengan praktik korupsi.
Banyak yang menyangkal itu dengan marah-marah. Kini satu per satu bukti mulai terungkap secara konkret dan riil.
Jadi, Burhanuddin dkk sebaiknya kita posisikan sebagai pelaku atau korban dalam sengkarut kejahatan struktural yang bernama korupsi ini?
Prija Djatmika, dosen kriminologi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang
Tullisan ini disalin dari Jawa Pos, 18 April 2008