Pemerintah Hentikan Pengadaan SKRT
Pemerintah menghentikan pengadaan Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan pada tahun 2009. Hal itu disebabkan peralatan dalam sistem tersebut sudah tua sehingga tidak dapat maksimal dipakai.
”Tadinya pemerintah mau melanjutkan pengadaan. Namun, DPR menolaknya. Sekarang hanya ada biaya untuk perawatan SKRT,” kata anggota Komisi IV DPR, Nurhadi Musawir, Rabu (29/7) di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta.
Nurhadi diperiksa KPK sebagai saksi dugaan kasus korupsi dalam proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) tahun 2007 dengan tersangka Direktur PT Masaro Anggoro Widjojo.
Anggoro, yang buron, menjadi tersangka sejak 19 Juni 2009 karena diduga menyuap mantan Ketua Komisi IV DPR Yusuf Emir Faisal sebesar 60.000 dollar Singapura dan Rp 75 juta guna mendapatkan proyek SKRT tahun 2007 sebesar Rp 180 miliar. Suap itu diduga terkait rekomendasi Komisi IV DPR, 12 Februari 2007, yang meminta pemerintah memaksimalkan penggunaan SKRT yang nilai investasinya sejak 1991 mencapai Rp 2 triliun.
Terkait dengan rekomendasi itu, PT Masaro diminta menambah peralatan agar SKRT dapat digunakan. Namun, peralatan yang diadakannya ternyata spesifikasi tahun 2002 dan harganya ditentukan sendiri oleh PT Masaro. Peralatan itu juga sudah tidak efektif lagi jika digunakan.
Selain mencari Anggoro, KPK juga meminta Direktorat Jenderal Imigrasi untuk mencegah tiga pimpinan PT Masaro lainnya. (NWO)
Sumber: Kompas, 30 juli 2009
----------------
Proyek SKRT Lanjut di Era Kaban
Keterangan Anggota Komisi IV di KPK
Legislator dari Partai Amanat Nasional (PAN) Nurhadi M. Musawir membeberkan latar belakang proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) di Departemen Kehutanan yang kini diselidiki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Nurhadi menjelaskan ihwal proyek tersebut seusai diperiksa KPK kemarin (29/7). Menurut dia, proyek itu sebenarnya sudah dihentikan saat Departemen Kehutanan dipimpin Mohamad Prakosa pada 2001-2004. Tapi, proyek tersebut dilanjutkan kembali pada era Menhu M.S. Kaban.
''Alasan menteri ketika itu, untuk melanjutkan pemeliharaan sebelum ada alat lain,'' jelas Nurhadi yang duduk di Komisi IV DPR tersebut. Alasan lain, SKRT merupakan satu-satunya peralatan yang bisa mengantisipasi kebakaran hutan, pencurian kayu, dan sebagainya.
Namun, Nurhadi menambahkan, di kalangan DPR ada perbedaan pendapat. Ada yang menilai proyek tersebut tidak efektif. ''Dalam pembahasan di komisi, setuju atau tidak itu persoalan biasa,'' jelasnya.
Nurhadi mengakui saat itu tak menyetujui proyek tersebut. ''SKRT, menurut saya, sebaiknya diganti dengan program lain. Alat sekarang banyak yang baru, SKRT sudah usang,'' katanya. Saat itu dia juga usul agar proses pemeliharaan hutan dibiayai rupiah dan tak bergantung pada pinjaman asing. Proyek itu menelan dana cukup besar, yakni Rp 900 miliar. ''Jadi, untuk pengamanan hutan, tidak masalah mengalokasikan anggaran,'' terangnya.
Selain memeriksa Nurhadi, KPK juga menjadwalkan pemeriksaan anggota lain Komisi IV, yakni Wowo Ibrahim dan Rusnain Yahya. Namun, Rusnain berhalangan hadir. (git/dwi)
Sumber: Jawa Pos, 30 Juli 2009