Pemberantasan Korupsi Stagnan
Pemberantasan korupsi di Tanah Air belum menunjukkan gebrakan berarti. Pemerintah dituntut bekerja keras melakukan perbaikan seperti reformasi birokrasi dan institusi penegak hukum.
Rilis teranyar Transparency International (TI) tentang corruption perceptions index (CPI) atau indeks persepsi korupsi (IPK) menyebutkan bahwa dari 183 negara yang disurvei, Indonesia mendapat skor 3,0 di posisi ke-100.
Nilai ini meningkat tipis dibanding tahun lalu yang mencapai skor 2,8 di peringkat ke-100. Indonesia menempati posisi tersebut bersama Argentina, Benin, Burkina Faso, Madagaskar, Djibouti,Malawi,Meksiko, Sao Tome and Principe, Suriname, dan Tanzania. Berdasarkan perhitungan TI, negara dengan skor 0 dianggap sebagai yang terkorup, sedangkan angka 10 adalah yang paling bersih.Pada 2011 ini peringkat pertama sebagai negara yang sangat bersih dari korupsi adalah Selandia Baru dengan skor 9,5, disusul Denmark dan Finlandia (9,4),Swedia (9,3), serta Singapura (9,2).
Ketua Dewan Eksekutif Transparency International Indonesia (TII) Natalia Subagjo mengatakan, meskipun peringkat korupsinya meningkat, Indonesia sebenarnya masih berada di jajaran bawah negaranegara yang terjerat masalah korupsi. Selain itu, kenaikan skoryanghanya mencapai0,2itu juga sangat tidak berarti apaapa. “Belum ada perubahan yang berarti dalam pemberantasankorupsidiIndonesia,” kata Natalia saat memaparkan hasil survei IPK di Jakarta kemarin. Menurut dia,kecenderungan yang terjadi saat ini justru lebih banyak pelemahan pemberantasan korupsi.
Misalnya, pelemahan pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) di daerah dan penyelesaian kasuskasus korupsi besar yang lamban. Karena itu,pemerintah harus bekerja keras dengan memperbaiki beberapa aspek yang relevan, di antaranya reformasi birokrasi pada perizinan usaha, pajak,dan bea cukai secara menyeluruh. Selain itu, perbaikan di institusi penegak hukum,terutama penegakan hukum yang keras terhadap politisi dan pejabat publik tingkat tinggi yang terlibat korupsi.
Sekretaris Jenderal TII Teten Masduki menambahkan, selama 10 tahun menjadi objek survei TI,Indonesia belum juga beranjak dari jajaran bawah negara-negara yang mengalami masalah korupsi. Meski ada peningkatan, skor yang diperoleh Indonesia per tahun rata-ratanya hanya 0,2.Dengan demikian, selama 11 tahun Indonesia hanya mengalami peningkatan dengan skor 0,8. ‘’Ya, bagaimana tidak, yang ditangkap dan ditangani penegak hukum cuma pejabat-pejabat yang kecil-kecil,”ungkap Teten.
Wakil Ketua KPK M Jasin saat dikonfirmasi menilai hasil tersebut sudah baik. Lembaga ad hoc itu menganggap peningkatan nilai hasil survei itu seiring dengan upaya yang telah dilakukan KPK untuk memberantas korupsi.Kendati demikian, Jasin mengakui masih banyak pekerjaan rumah dalam upaya pemberantasan korupsi salah satunya dengan mengupayakan kegiatan yang terintegrasi meliputi perbaikan sistem layanan publik bebas korupsi, peningkatan profesionalitas dan kompetensi penyelenggara negara, sanksi tegas untuk pegawai negeri sipil dan pejabat yang melanggar aturan, peningkatan transparansi dan akuntabilitas layanan publik, serta peningkatan prasarana layanan publik.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Denny Indrayana juga menilai kenaikan IPK Indonesia patut disyukuri meskipun capaian tersebut masih kurang memuaskan. Dia pun membandingkan kenaikan IPK selama 2004–2010 yang menunjukkan kenaikan cukup signifikan. Namun, Denny mengakui pencapaian itu belum cukup memuaskan.’’Itu satu hal yang harus disyukuri, tapi di sisi lain tetap kita tidak puas,’’ ucapnya.
Denny lantas menyebut,Pemerintah menargetkan mendapatkan skor IPK 5,0 pada 2014. Adapun Direktur Hukum dan HAM Bappenas Diani Sediawati mengaku tidak puas dengan IPK Indonesia, karena Indonesia masih di jajaran bawah negara yang terjerat korupsi. Diani pun menegaskan, pemerintah akan memfokuskan pada upaya pencegahan korupsi. Pihaknya juga tidak bisa mengandalkan lembaga penegak hukum semata untuk memberantas korupsi, tetapi juga lembaga-lembaga negara lain yang memiliki peran dalam melakukan upaya pencegahan tindak pidana korupsi.
Singapura Masih Terbaik di ASEAN
IPK adalah sebuah indeks gabungan. Indeks ini dihasilkan dari penggabungan 17 survei yang dilakukan lembagalembaga internasional yang tepercaya. Indikator yang dilihat antara lain penegakan hukum antikorupsi, akses informasi, dan konflik kepentingan. Dalam kesimpulan yang diungkapkan TI, korupsi telah dianggap sebagai epidemi bagi sebagian besar negara di dunia.
Adapun kenaikan peringkat sejumlah negara karena peningkatan kesadaran rakyat di negara itu akan perlunya menuntut akuntabilitas dari pemerintah mereka, terutama dalam memerangi korupsi. Dalam survei, Singapura masih menjadi juara di Asia Tenggara dengan nilai 9,3. Di level regional ini, Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Brunei Darussalam dengan 5,2, Malaysia 4,3, dan Thailand 3,4.Namun,nilai IPK Indonesia masih lebih baik dibandingkan Vietnam 2,9, Filipina 2,6,Laos 2,2,dan Kamboja 2,1. Sedangkan posisi paling buruk adalah Myanmar dengan nilai 1,5.
Kenaikan tipis skor IPK Indonesia mendapat penilaian positif dari Sekrtaris Jenderal TI Malaysia Josie Fernandez. “Indonesia menunjukkan ada peningkatan yang baik, khususnya kemauan politik di pemberantasan korupsi,” ujar Fernandez dikutip Free Malaysia. Pada survei tahun ini TI menemukan fakta memburuknya IPK di negara-negara Timur Tengah. IPK Tunisia misalnya memburuk menuju peringkat ke-73 dari peringkat ke-59 tahun lalu.Tunisia merupakan negara kelahiran Revolusi Timur Tengah pada Januari silam.
Gerakan revolusi di negara itu mampu menggulingkan mantan Presiden Zine Al- Abidine hingga dia melarikan diri ke Arab Saudi. Revolusi yang menjalar ke Mesir,Libya, Suriah, dan Yaman itu mengubah perpolitikan di Timur Tengah. Mesir juga mengalami penurunan dengan peringkat ke- 112 dari sebelumnya pada peringkat ke-98 dengan IPK mencapai 2,9. Suriah turun pada peringkat ke-129 dari peringkat ke-127.Irak pada peringkat ke-175 dan Afghanistan pada posisi ke-180.
Sedangkan Libya pada posisi ke-168. Sebagian besar negara Arab memiliki nilai indeks korupsi di bawah empat. Survei kali ini juga menemukan bahwa drama krisis ekonomi yang melanda negaranegara di Eropa ternyata juga terkait kegagalan negaranegara di kawasan tersebut dalam menangani korupsi, terutama penyuapan dan kebocoran pajak.Kendati demikian, skor yang mereka peroleh masih lebih baik dibanding Indonesia.Italia misalnya mendapatkan nilai 3,9 dengan peringkat ke-69 serta Yunani dengan nilai 3,4 dan peringkat ke-80.
“Krisis ekonomi di Eropa merefleksikan manajemen keuangan yang buruk,kurangnya transparansi, dan kesalahan manajemen dana publik,” ungkap Direktur Penelitian TI Robin Hodess,dikutip AFP. TI yang berbasis di Berlin untuk pertama kalinya memasukkan Korea Utara dalam daftar survei IPK. Hasilnya, negeri komunis tersebut, bersama Somalia, mendapat IPK terburuk. Baik Korea Utara ataupun Somalia mendapatkan nilai 1.0.
“Tidak ada pemeriksaan dan pengawasan di Korut, tidak ada akuntabilitas publik dan politik mengontrol sistem hukum.Tentunya,masyarakat sipil tidak memiliki ruang di sana,”kata De Swardt. Namun,TI mengingatkan bahwa masalah serius yang menimpa negeri tersebut bukanlah korupsi, melainkan kelaparan. nurul huda/ andika hendra m/ant
Sumber: Koran Sindo, 2 Desember 2011