Pemberantasan Korupsi Sektor Kehutanan Harus Jadi Prioritas
Antikorupsi.org, Jakarta, 25 Agustus 2016 – Sektor kehutanan dianggap menjadi salah satu persoalan serius di Indonesia. Dari sekian penyebab maraknya kerusakan hutan, korupsi dinilai menjadi salah satu faktor yang paling berpengaruh.
Dalam sektor kehutanan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangani 12 kasus korupsi sektor kehutanan. Kasus tersebut melibatkan 35 pelaku yang berasal dari pengusaha, birokrat, kepala daerah, dan politisi.
Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho mengatakan, maraknya kasus yang ada mestinya menjadikan korupsi kehutanan menjadi prioritas. “Penegakan hukum, pemberantasan korupsi harus jadi prioritas, jangan jadi pemadam kebakaran saja,” ujarnya dalam seminar ‘Lestarikan Hutan, Lestarikan Korupsi’, di Jakarta, Kamis, 25 Agustus 2016.
Emerson sebelumnya mengatakan, praktik korupsi sektor kehutanan umumnya berupa praktik pengeluaran izin. “Korupsinya sudah tidak main di APBD lagi, tapi mainnya di perizinan.”
Hasil pemantauan ICW menunjukkan, izin sulit dikeluarkan jika tidak melakukan praktik penyuapan. Praktik korupsi juga meningkat menjelang pemilihan kepala daerah. Pengeluaran izin sektor kehutanan semakin dipermudah. “Tentu tidak ada makan siang yang gratis,” katanya.
Emerson menambahkan, KPK semestinya mengevaluasi rencana aksi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN-PSDA) yang telah dicanangkan. Sejauh ini, rencana aksi tersebut baru menyentuh ranah pencegahan. “Saya kira kalau tidak diiringi aspek penindakan ya tidak akan berjalan baik, keduanya harus berjalan stimultan,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Pengaduan Pengawasan dan Sanksi Administrasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati memaparkan beberapa jenis praktik yang dinilai berupa kejahatan lingkungan. “Ada perambahan kawasan hutan, kebakaran hutan, illegal logging, dan perdagangan ilegal,” katanya.
Ia menambahkan, KLHK sendiri telah melakukan berbagai upaya penegakan hukum, namun terhambat oleh beberapa faktor. Salah satunya ialah inkonsistensi dalam kebijakan, seperti tumpang tindih perizinan yang dikeluarkan oleh KLHK, Kementerian Kehutanan, dan Badan Pertanahan Nasional.
Selain itu faktor lokasi dan pembuktian juga menjadi berpengaruh. “Lokasi sulit dijangkau, pembuktiannya juga sulit,” ujarnya.
Turut hadir dalam sesi diskusi tersebut Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Hariadi Kartodihardjo. Adapun sesi diskusi sebelumnya menghadirkan Peneliti ICW, Firdaus Ilyas, Direktur Iuran dan Peredaran Hasil Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Awriya Ibrahim, dan Kepala Auditorat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Akhsanul Haq.
(Egi)