Pemberantasan Korupsi; Negara yang (Tidak) Pernah Serius

Belum usai polemik tentang sejumlah ketidakberesan yang diduga terjadi dalam pelaksanaan Pemilu 2009, baik dalam pemilihan umum anggota legislatif atau pemilu presiden, sejumlah persoalan lain muncul di Indonesia. Terakhir, persoalan ini terkait dengan ledakan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Jakarta, 17 Juli lalu.

Ironisnya, kini juga terlihat sejumlah usaha menghancurkan salah satu bangunan cita-cita reformasi, yaitu pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi.

Ini terlihat dari kian sistematisnya usaha sejumlah pihak untuk mengusik keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini dinilai efektif memberantas korupsi.

Memang tidak ada elite politik negeri ini yang secara terbuka menyatakan niatnya membubarkan atau mengerdilkan KPK. Semua justru berkata sebaliknya, seperti KPK harus diselamatkan dan lebih diberdayakan. Namun, yang dilihat sebagian warga, terutama penggiat gerakan antikorupsi, justru kebalikan dari pernyataan itu.

Kesan ini muncul, antara lain, dari pendapat yang paling mulia dalam pemberantasan korupsi adalah pencegahan, jangan lagi menjebak orang. Juga adanya permintaan sejumlah anggota Komisi III DPR saat mereka rapat dengar pendapat dengan KPK pada 7 Mei lalu, yaitu agar KPK tak melakukan penegakan hukum jika pimpinannya belum kembali lima orang.

Permintaan itu terkait status seorang pimpinan KPK, Antasari Azhar, yang kini diberhentikan sementara karena menjadi tersangka pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen.

Belakangan muncul kabar, kasus pembunuhan itu akan membuat pejabat lain di KPK segera diproses hukum. Proses serupa kabarnya juga akan diterima pejabat KPK lainnya karena diduga menerima suap saat mengusut kasus korupsi.

Padahal, seperti dikatakan Patra M Zen dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), belum terlihat adanya bukti permulaan yang cukup untuk memproses hukum pejabat KPK lainnya itu.

Pada saat yang sama, pembahasan Rancangan Undang- Undang (RUU) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di DPR seperti terkatung-katung. Banyak poin mengecewakan pula dalam RUU Tindak Pidana Korupsi.

Oleh sebab itu, wajar jika lalu muncul dugaan ada usaha untuk menyabot upaya pemberantasan korupsi di negeri ini, khususnya dengan mengganggu KPK. Apalagi, seperti disampaikan Teten Masduki dari Transparency International Indonesia (TII), banyak pihak yang tidak suka dengan keberadaan komisi itu.

”Mereka tak hanya koruptor, tetapi juga lembaga penegak hukum lain yang wajahnya merasa tercoreng oleh KPK. Ini karena, misalnya, ada kasus yang tak dapat mereka tangani, tetapi ternyata dapat dituntaskan KPK,” kata Teten.

Ketidaksenangan sejumlah pihak dengan KPK diduga juga terjadi karena mereka mulai menyentuh inti dari sel kanker korupsi yang selama ini hampir tidak pernah disentuh penegak hukum lain. Ini terlihat dari keberanian KPK mengusut dugaan korupsi di parlemen dan Bank Indonesia (BI) yang membuat besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yaitu mantan Deputi Gubernur BI Aulia T Pohan, harus diproses hukum.

Padahal, saat yang sama, kerja KPK itu sedikit banyak memberikan harapan tentang terbangunnya pemerintahan yang bersih. Kerja KPK ikut meningkatkan indeks persepsi korupsi Indonesia dari 2,3 pada 2007 menjadi 2,6 pada tahun 2008.

Berbagai peristiwa yang terjadi dengan KPK dan juga Pemilu 2009 ini membuat Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia Yudi Latif berpendapat, demokratisasi di Indonesia sedang dalam ancaman. ”Tiang reformasi yang ditegakkan pada 1998 satu per satu mulai ditumbangkan. KPK diganggu, kualitas Pemilu 2009 jauh lebih buruk dibandingkan 2004,” kata dia.

Upaya itu membuat kian cepat terbukti ramalan Louis Kraar, pengamat negara industri baru di Asia Timur. Tahun 1988 ia mengatakan, dalam 20 tahun ke depan, Indonesia akan menjadi halaman belakang dari Asia Timur, ditinggal negara tetangganya yang berkembang pesat. Ini, antara lain, disebabkan maraknya korupsi. (M Hernowo)

Sumber: Kompas, 24 Juli 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan