Pemberantasan Korupsi; Euforia Masyarakat Jadi Tantangan Pengungkapan
Masyarakat sekarang semakin peduli dengan pengungkapan kasus korupsi di negara ini. Itu terlihat dari dukungan kepada penegak hukum tanpa ada yang menggerakkan dalam beberapa kasus, seperti kasus rekening petinggi polisi dan kasus pajak Gayus HP Tambunan.
Namun, hal itu hendaknya tidak berhenti pada pernyataan narsistik bahwa kita sudah peduli pada gerakan antikorupsi. Fenomena dukung-mendukung ini seyogianya dibarengi dengan pemahaman bahwa korupsi bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak terbatas pada orang berpangkat atau berjabatan tertentu.
Kriminolog yang juga pengamat masalah sosial Yesmil Anwar mengingatkan bahwa masyarakat Indonesia cenderung mudah melupakan banyak hal. Ia mencontohkan, kasus dana talangan Bank Century sempat meyedot perhatian masyarakat. Namun, belum lagi kasus itu tuntas, perhatian beralih ke kasus suap Gayus.
”Itu membuktikan bahwa dukungan yang deras terhadap kasus korupsi sebatas euforia saja. Jadi, kepedulian itu baru sebatas retorika karena tidak punya visi yang jelas. Bisa saja fenomena ini dimanfaatkan oleh koruptor tertentu untuk mengurangi pengawasan publik terhadap kejahatannya,” ujar Yesmil.
Euforia itu baru menunjukkan manfaat positif bila dibarengi dengan kinerja penegak hukum, seperti polisi, kejaksaan, dan pengadilan. Selama ini, Yesmil menilai, kinerja penegak hukum masih belum maksimal dalam mengungkapkan kejahatan yang disebutnya bersifat struktural dan patologis ini.
”Penegakan hukum, terutama di tingkat pengadilan, yang bakal menjawab euforia publik. Hal ini (euforia) bisa jadi tantangan bagi peningkatan kinerja mereka,” ujarnya.
Harus cepat
Jika saja penegak hukum menyadari bahwa masyarakat sedang menyoroti kasus-kasus korupsi, pengungkapannya diharapkan tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama. Cepatnya proses ini berdampak pada keberhasilan dalam menjatuhkan hukuman bagi koruptor.
Menurut pengamat hukum Indra Perwira, pengungkapan kasus korupsi tidak bisa berlama-lama. ”Semakin lama prosesnya, koruptor semakin berkesempatan menghilangkan barang bukti. Kalau ini terjadi, nanti bukti yang dibawa ke pengadilan tidak lengkap sehingga koruptor bisa melenggang lepas dari jerat hukum,” ujar Indra.
Meski demikian, Indra mengakui, kecepatan saja tidak cukup. Asas kecermatan dan kehati-hatian harus dipegang oleh penegak hukum, terutama kejaksaan. Ini karena korupsi bersifat kejahatan administratif dan biasanya dilakukan secara berkelompok.
Indra juga sepakat bahwa perhatian masyarakat bisa menjadi dukungan semangat bagi jaksa dalam mengumpulkan bukti selengkap-lengkapnya. Menurut dia, korupsi adalah kasus sensitif yang bisa saja bermotif fitnah dengan alasan persaingan, bisa saingan bisnis, bisa juga saingan jabatan.
”Kalau bukti tidak lengkap dan sangat sulit mengumpulkannya, keluarkan saja SP3. Jangan sampai hakim nanti memvonis bebas karena alasan itu. Banyaknya vonis bebas bagi koruptor di tingkat pengadilan bisa jadi preseden buruk bagi penegakan hukum,” ujar Yesmil. (herlambang jaluardi)
Sumber: Kompas, 15 Desember 2010