Pemberantasan Korupsi Antara Ada dan Tiada
Penerima hadiah Nobel, Oscar Arias Sanchez, mengatakan, tumbangnya rezim diktator di Amerika Latin kebanyakan disebabkan kemarahan rakyat atas korupsi yang dilakukan rezim itu. Tetapi, rakyat yang sama dapat pula dikecewakan oleh meluasnya korupsi di bawah rezim-rezim demokratis sehingga mereka menghidupkan kembali kediktatoran yang baru.
Pandangan Sanchez itu bisa dilihat dalam pengantar buku National Integrity Systems (1999) terbitan Transparency International. Pandangan Sanchez relevan diketengahkan dengan kondisi di Tanah Air. Pergantian kekuasaan di Indonesia ternyata tidak otomatis menjadikan Indonesia bersih dari praktik korupsi. Tumbangnya rezim Orde Baru yang berkuasa 32 tahun karena praktik korupsi yang menggurita tidak membuat bangsa Indonesia menjadi negara yang bersih.
Kekuasaan pun dengan cepat beralih dari Soeharto kepada BJ Habibie, kemudian KH Abdurrahman Wahid dan kini Megawati Soekarnoputri. Namun, korupsi di Indonesia tetap merajalela. Pelayanan publik tetap belum bersih dari percaloan. Hasil survei Transparency International tetap menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup.
Masyarakat sebenarnya berharap dengan reformasi bisa menciptakan pemerintahan yang bersih. Namun, harapan tinggal harapan. Masyarakat hanya dihibur dengan lahirnya lebih dari sepuluh peraturan dari Tap MPR, undang-undang, hingga Keputusan Presiden yang mengatur soal korupsi. Namun, korupsi tetap merajalela. Realitas empiris ini paling tidak mengukuhkan tesis bahwa penggantian kekuasaan di sebuah negara tak otomatis mampu membuat negara itu bersih dari penyakit-penyakit lama. Korupsi tak hanya terjadi dalam rezim diktator atau totaliter. Korupsi juga bisa terjadi dalam sebuah rezim demokratis.
TIDAK dapat diingkari, korupsi di Indonesia sudah merupakan wabah yang tidak mudah dicegah dan diberantas. Secara kasat mata wabah korupsi sudah menjalar di pelbagai kehidupan masyarakat bangsa kita dalam bernegara. Krisis kepercayaan terhadap pemerintahan yang bersih dan penegakan hukum dalam rangka pemberantasan korupsi kian meningkatkan pesimisme publik. Upaya penyempurnaan dan pembaruan hukum memang dilakukan. Tetapi, langkah itu tidak membawa hasil yang diharapkan jika aparat penegak hukum tidak merespons perkembangan dengan kejujuran dan kemampuannya yang profesional.
Korupsi tidak hanya merupakan persoalan serius masyarakat Indonesia saja, tetapi juga merupakan persoalan besar bangsa-bangsa di dunia yang berdimensi sebagai kejahatan terhadap pembangunan (crime against development), kejahatan terhadap kesejahteraan sosial (crime against social welfare), dan kejahatan terhadap kualitas lingkungan hidup (crime against the quality of life). Hal itu diangkat dalam Kongres PBB tahun 1980 mengenai The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders yang mengidentifikasi jenis tindak pidana itu sebagai tipe tindak pidana yang sulit dijangkau hukum (offences beyond the reach of the law).
Kesulitan yang dimaksud tampak pada kinerja aparat penegak hukum yang relatif tidak berdaya atau tidak mampu menghadapi tindak pidana itu yang disebabkan antara lain karena kedudukan ekonomi atau politik pelaku yang kuat (the high economic or political status of their perpetrators) dan keadaan di sekitar pelaku yang sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi kemungkinan untuk dilaporkan atau dituntut (the circumstances under which they had been committed were such as to decrease the likelihood of their being reported and prosecuted).
Mengingat kondisi itu maka aparat penegak hukum, khususnya kejaksaan, dituntut untuk bertindak lebih berani, jujur, sungguh-sungguh, dan profesional dalam melakukan penindakan untuk memberantas tindak pidana korupsi. Sehingga tidak terlampau mudah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) tanpa lebih dulu melakukan upaya secara komprehensif, sesuai ketentuan hukum, dan berpikir secara objektif tentang akibat yang ditimbulkan dari penerbitan SP3 itu, yang berdampak sosial luas.
Tindak pidana korupsi sebagai tipe tindak pidana yang kompleks dan sulit dalam penyidikan di Indonesia telah diakomodir undang-undang sehingga UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberi ketentuan dalam tindak penyidikan untuk pembentukan tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung. Selain itu, diberlakukan pula sistem pembuktian terbalik yang mewajibkan terdakwa memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak atau korporasi, yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan. Demikian pula dalam hal kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya maupun sumber penambahan kekayaannya patut menjadi obyek penyidikan untuk menguatkan dugaan adanya korupsi.
LALU apa yang salah?
Adalah sebuah kenyataan bahwa bangsa Indonesia ternyata hanya pandai membuat undang-undang. Bangsa Indonesia hanya pandai merumuskan tekad bahwa korupsi adalah musuh negara dan merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Namun, rumusan tekad itu hanya menjadi teks mati dalam undang-undang yang tak pernah dihayati. Ketika legislator merumuskan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, realitas empiris menunjukkan penanganan Kejaksaan Agung terhadap isu korupsi belum optimal. Niat untuk membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi pun baru menjadi niatan di atas undang-undang.
Publik menyaksikan sikap Kejaksaan Agung dalam kasus Setiawan Harjono. Setiawan yang diperintahkan majelis hakim PN Jakarta Selatan untuk ditahan ternyata tak bisa dilaksanakan penuntut umum karena Setiawan dinyatakan tim dokternya sakit. Putusan PN Jakarta Selatan pun hanya putusan di atas kertas.
Kasus Samadikun Hartono pun memperkuat sikap kejaksaan yang demikian. Lembaga pengadilan tertinggi, Mahkamah Agung, telah memvonis Samadikun masuk penjara. Putusannya mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun, lagi-lagi, Kejaksaan Agung tak berdaya melaksanakan putusan itu. Bahkan, jauh sebelum vonis jatuh, salah seorang petinggi Kejaksaan Agung mengizinkan Samadikun berobat ke luar negeri.
Kejaksaan tampak begitu kompromis dalam kasus Samadikun dan Setiawan. Namun, publik juga terpana saat Kejaksaan Agung begitu ngotot mengeksekusi barang bukti senilai Rp 546 miliar dalam kasus cessie Bank Bali. Bukankah salah satu tugas Kejaksaan Agung adalah mengamankan aset negara.
PENERBITAN SP3 oleh Kejaksaan Agung tanggal 21 Agustus 2003 sungguh mengecewakan publik. Rasanya masih terngiang dalam benak masyarakat saat Kejaksaan Agung dalam sebuah massa mengumumkan sejumlah tersangka kasus korupsi dan menahan sejumlah tersangka kasus korupsi. Masyarakat masih belum lupa saat petinggi Kejaksaan Agung meminta Prajogo Pangestu pulang ke Tanah Air untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun, pengumuman penerbitan SP3 atas diri Prajogo Pangestu dan Siti Hardijanti Rukmana serta sejumlah tersangka kasus korupsi itu sungguh merupakan antiklimaks.
Alasan penerbitan SP3 bisa dipersoalkan. Dari pemberitaan media massa tampak tak ditemukan unsur kerugian negara dalam perkara yang diperiksa itu. Ada tidaknya kerugian negara didasarkan keterangan ahli atau sebuah lembaga. Keterangan ahli, seperti dari Bakorsurtanal dan lainnya, mungkin saja bermanfaat dalam rangka penyelidikan sebagaimana dimungkinkan dan diatur dalam KUHAP, yaitu untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat-tidaknya dilakukan penyidikan, dan tidak mempunyai nilai sebagai pendapat ahli dalam pemeriksaan penyidikan yang wajib mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik bahwa ia akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya.
Tindakan penyidikan tentu tidak dapat hanya bergantung pada keterangan sebuah instansi atau institusi tertentu saja yang juga tidak luput dalam rangkaian kejahatan korupsi. Apalagi, keterangan itu tidak diberikan dalam kerangka penyidikan melalui prosedur menurut ketentuan KUHAP, antara lain keterangan ahli harus dilakukan dengan pengangkatan sumpah di muka penyidik.
Penerbitan SP3 amat berkait dengan tindakan penyidikan, yaitu karena tidak terdapatnya cukup bukti atau peristiwa itu ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum (Pasal 109 Ayat 2 KUHAP). Ketentuan itu merupakan prinsip dan menjadi dasar hukum suatu tindakan penghentian penyidikan dengan menerbitkan SP3. Dengan demikian, penghentian penyidikan suatu dugaan tindak pidana tidak dapat didasarkan pada alasan selain tersebut di atas.
Betapa ironisnya jika penerbitan sebuah SP3 dalam suatu perkara korupsi yang justru oleh publik dipandang serius hanya didasarkan keterangan ahli secara sederhana, yang notabene bukan keterangan ahli yang dilakukan berdasar ketentuan KUHAP dengan prosedur di bawah sumpah.
Mengamati penerbitan SP3 oleh kejaksaan dan beberapa peristiwa yang menyangkut kewajiban hukum kejaksaan dalam perkara pidana sebagaimana diuraikan di atas dimaksudkan sebagai catatan dalam rangka meningkatkan kinerja kejaksaan guna meningkatkan profesionalisme selaku penegak hukum, khususnya dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi.
Seperti dikatakan Juan Linz, transisi demokrasi tak otomatis beres hanya dengan berlangsungnya pemilu. Untuk berlanjut dengan konsolidasi demokrasi, disyaratkan adanya penataan birokrasi atau reformasi birokrasi serta tegaknya rule of law. Birokrasi memegang peran dalam penegakan hukum. Namun, berkait dengan penegakan hukum itu, justru di sinilah letak kelemahan transisi di Indonesia. Birokrasi, termasuk birokrasi kejaksaan, tak pernah tersentuh reformasi.
Lahirnya lembaga baru, semacam Komisi Pemberantasan Korupsi, mungkin sedikit akan memberi harapan meski tidak terlalu signifikan.
Di akhir tulisan saya kembali mau mengutip apa yang dikatakan Sanchez, skandal-skandal korupsi yang berkepanjangan akan mengecewakan hati rakyat. Perlawanan rakyat dapat saja muncul. Partai politik yang merupakan benteng utama sistem demokrasi sedang digoyang oleh kebobrokannya dan kian dikutuk oleh warga yang ingin menjauhkan diri dari pengambilan keputusan politik. Tatkala partai politik ditinggalkan, demokrasi menghadapi risiko menjadi suatu sistem yang lumpuh.(T Gayus Lumbuun Wakil Ketua Umum DPP Ikadin)
Tulisan ini diambil dari Kompas Selasa, 02 September 2003