Pembenahan Birokrasi Saja Tak Cukup...
Terkait maraknya korupsi, harus diakui pemerintah tidak berdiam diri. Selain membentuk berbagai lembaga untuk memerangi korupsi, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi dan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pemerintah juga merevisi undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Undang-undang (UU) tentang pemberantasan korupsi di Indonesia sudah empat kali berubah. Selain itu, posisi UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juga masih diperkuat dengan UU Nomor 15 Tahun 2002—yang diubah dengan UU Nomor 25 Tahun 2003— tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Selain itu, masih ada UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bahkan, pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ini, ia secara khusus mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi dan membuat Rencana Aksi Pemberantasan Korupsi Tahun 2004-2009. Saat ini pun sedang dibahas Rancangan UU tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan RUU tentang Perampasan Aset Kejahatan.
Pada saat bersamaan, pemerintah pun mencanangkan pembenahan birokrasi, yang disebutkan sebagai reformasi birokrasi. Sejumlah instansi dijadikan proyek percontohan reformasi birokrasi itu, termasuk Departemen Keuangan. Pada institusi negara yang dijadikan percontohan itu, karyawannya memperoleh insentif yang lebih besar dibandingkan dengan pegawai lembaga pemerintah lainnya.
Namun, realitas yang muncul ternyata sungguh berbeda dengan harapan terwujudnya pemerintahannya yang bersih. Pada pengawasan mendadak di jajaran Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Departemen Keuangan, khususnya di Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, jajaran KPK dan Tim Kepatuhan Internal Ditjen Bea dan Cukai, Mei lalu, bukan menemukan peningkatan kualitas pelayanan. Justru yang ditemukan adalah sejumlah amplop dana dari pengusaha yang menyogok aparat Bea dan Cukai. KPK sudah menetapkan pula tiga karyawan Bea dan Cukai sebagai tersangka korupsi.
Teten Masduki, Koordinator Badan Pekerja Indonesian Corruption Watch (ICW), dalam diskusi yang diadakan Indonesian Legal Roundtable (ILR) dan harian Kompas, 28 Juli lalu, menegaskan, reformasi birokrasi dengan memberikan insentif yang besar kepada pegawai negeri sipil tak sepenuhnya menjawab tantangan korupsi. Temuan KPK di Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tanjung Priok menjadi realitas yang menisbikan pembenahan birokrasi yang dilakukan pemerintah.
”Sekarang coba lihat di Bea Cukai. Ketika gaji dinaikkan, lalu digebrak KPK, mereka juga melakukan slow down. Pengusaha teriak, karena sekarang pelayanan di Bea dan Cukai lambat sebab mereka malas-malasan,” ujarnya.
Teten menyebutkan, kenaikan gaji yang diterima karyawan Bea dan Cukai tak sebanding dengan besarnya ”suap” yang bisa diperoleh dalam sebulan. Karena itu, pemberian insentif tak menjamin korupsi, terutama suap-menyuap di Bea dan Cukai, atau instansi pemerintah lainnya, langsung hilang. Jadi, sebenarnya harus dicari titik ekuilibrium antara nilai suap dan biaya cukai itu.
Belum lagi dugaan korupsi di instansi pemerintah, meski menjadi proyek percontohan reformasi birokrasi, yang sulit diungkapkan, karena ketiadaan saksi. Misalnya, di Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan. Teten mengakui, dugaan korupsi di lingkungan pajak memang sulit diungkapkan karena masuk dalam trans speed corruption.
”Kedua belah pihak merasa diuntungkan sehingga tak mungkin ada whistle blower (saksi yang mengungkapkan kasus korupsi pertama kali). Ombudsman pajak tak mungkin berhasil pula. Jadi, kalau di pajak memang harus dilacak, disadap seluruh teleponnya. Kekayaan mereka juga harus dipantau terus, termasuk melalui penelusuran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan,” kata Teten lagi.
Guru besar hukum pidana internasional Universitas Padjadjaran, Bandung, Romli Atmasasmita, juga mengakui, reformasi birokrasi yang digulirkan pemerintah tidak akan sepenuhnya mampu menekan pertumbuhan korupsi di negeri ini. Bahkan, berbagai langkah pemberantasan korupsi di negeri ini, dari sisi implementasi, masih jauh dari memadai. Justru suap dan korupsi, serta penyalahgunaan wewenang semakin berkembang secara signifikan dan konstan.
Kerugian negara pun belum bisa dikembalikan secara signifikan ke negara. Romli mengutip laporan triwulan Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2007, yang menunjukkan Kejaksaan Agung belum mengembalikan uang pengganti perkara korupsi sebesar Rp 6 triliun. Biaya perkara di Mahkamah Agung sebanyak Rp 31 miliar juga belum disetorkan ke Kas Negara.
”Inpres percepatan pemberantasan korupsi belum dapat mencegah kenaikan angka korupsi yang melibatkan penyelenggara negara,” tegas Romli, yang juga mantan Ketua Tim Penyusun RUU KPK. Langkah dan agenda pemberantasan korupsi di Indonesia masih belum secara menyeluruh diikuti seluruh penyelenggara negara, baik eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Penyelesaian berbagai kasus korupsi sejak era reformasi masih belum mempola secara komprehensif dengan sasaran yang terarah dan jelas.
Selain itu, langkah pemberantasan korupsi masih terkesan berkembang secara sporadis di antara penegak hukum, dengan pengawasan kalangan lembaga swadaya masyarakat dan media yang bergerak dan peduli terhadap pemberantasan korupsi. Respons dari kalangan penyelenggara negara pun masih beragam, belum satu kata dan perbuatan. ”Perasaan jera untuk tidak melakukan korupsi belum merata. Bahkan, masih banyak penyelenggara negara yang berpendapat bahwa terungkapnya kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara negara merupakan ’kelengahan’ semata-mata dari penyelenggara negara itu. Bukan karena kelebihan teknik penyidik,” kata Romli lagi.
Berbagai skandal korupsi yang melibatkan penyelenggara negara juga terjadi karena Kejaksaan Agung belum menerapkan prinsip good governance atau pemerintahan yang bersih, sesuai perintah UU Nomor 6 Tahun 2004 tentang Kejaksaan dan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Perilaku yang koruptif di lingkungan aparatur negara, terutama di lingkungan penegak hukum, juga diperkuat dengan maraknya makelar kasus (markus) di berbagai level.
Wakil Ketua KPK M Yasin juga mengakui, reformasi birokrasi belum sepenuhnya berhasil untuk menekan perilaku koruptif di kalangan penyelenggara negara. Karena itu, KPK membantu sejumlah pemerintah daerah untuk membenahi birokrasinya.
Perang menyeluruh
Teten, Romli, Yasin, dan anggota Komisi III DPR, Benny K Harman, yang menjadi narasumber diskusi itu sepakat pemberantasan korupsi di negeri ini harus melibatkan seluruh komponen bangsa. Harus ada perang menyeluruh terhadap korupsi. Tak cukup mengandalkan KPK dan penataan birokrasi.
Namun, ini memang tak mudah. Apalagi, dukungan khalayak pun belum sepenuhnya solid. Di satu sisi masyarakat geram dengan korupsi, tetapi di sisi lain tidak sedikit di antara mereka yang permisif dengan perilaku koruptif, misalnya dalam pengurusan kartu tanda penduduk atau surat perizinan lainnya. Kaum agamawan pun masih jarang yang menyuarakan antikorupsi, termasuk dalam khotbah mereka di tempat peribadatan.
Nahdlatul Ulama bersama Muhammadiyah pernah menggaungkan gerakan antikorupsi. Tetapi, suara itu tinggal sayup- sayup. Padahal, harus ada yang menjaga moralitas antikorupsi di masyarakat akar rumput. Jangan sampai justru kaum agamawan beranggapan, pemberian (gratifikasi) yang diterima masyarakat, entah dari mana pun datangnya, adalah rezeki. Bukan pemberian yang mesti hati-hati dan kritis disikapi, apakah ada ”udang di balik batunya”...?
Tri Agung Kristanto
Sumber: Kompas, 13 Agustus 2008