Pelayanan Publik: Enam "Tambang" PT Kereta Api
Japan Railway East dalam Global 500: The World’s Largest Corporations 2008 menempati peringkat ke-343, dengan laba 1,67 miliar dollar AS (kinerja 2007). Kapankah perusahaan kereta api satu-satunya di negeri ini, PT Kereta Api, bisa sedigdaya itu?
Bila melihat aset yang dimilikinya, sulit memahami PT KA tak bisa maju dan kaya raya. Di Jawa saja, PT KA memiliki 1.512 kantor dengan luas total 61 hektar dan 10.459 rumah dinas yang luas totalnya 66,8 hektar.
Di Sumatera, PT KA memiliki 980 kantor dengan luas total 24,7 hektar serta 6.421 rumah dinas dengan luas total 32,4 hektar.
Aset PT KA tidak hanya kantor dan rumah dinas, tetapi juga ribuan hektar tanah. Di Pulau Jawa, PT KA mempunyai tanah seluas 11.673,1 hektar. Di Sumatera, PT KA menguasai lahan seluas 8.523 hektar.
PT KA menyebut bahwa lahan yang dikuasainya, yang paling potensial ”hanya” 1.000 hektar di 140 lokasi. Meski hanya 1.000 hektar yang dinilai potensial, nilainya sangat luar biasa, contohnya lahan seluas 80 hektar di kawasan Manggarai dan Bukit Duri, Jakarta, yang merupakan kawasan utama ibu kota DKI Jakarta.
Keuntungan sebesar Rp 40 miliar tahun 2008 relatif tidak sebanding dengan kekayaan yang dimiliki badan usaha milik negara itu. Apalagi, kebutuhan untuk investasi perusahaan tersebut, seperti meremajakan lokomotif, kereta penumpang, dan gerbong barang, sangatlah besar.
Kesuksesan Jepang mengembangkan transportasi KA dan menjadikan Japan Railway East (JR East) perusahaan terkemuka layak untuk menjadi bahan renungan para pemangku kepentingan perkeretaapian di negeri ini. Apa yang salah dengan perkeretaapian negeri ini?
JR East mulai memacu diri mengembangkan perusahaan yang andal saat menyadari bahwa Jepang tak lagi memberi subsidi kepada industri KA. Perusahaan tersebut lantas mengembangkan bisnis noninti agar dapat menunjang tugas pelayanannya kepada masyarakat.
Ada tiga segmen bisnis noninti JR East, yakni utilisasi stasiun, pengembangan pusat perbelanjaan dan perkantoran, serta jasa lain, seperti hotel, periklanan, klub kebugaran, dan kerja sama kartu kredit. Bisnis noninti inilah yang justru menyelamatkan JR East!
Tahun 2007-2008, tatkala pengeluaran operasi JR East mencapai 2,56 triliun yen, pendapatan dari transportasi hanya 1,86 triliun yen. Bisnis noninti menjadi penolong. Dari utilisasi stasiun diperoleh 404 miliar yen, perbelanjaan dan perkantoran 205,35 miliar yen, serta dari jasa lain 236,46 miliar yen.
Pengembangan bisnis noninti juga dilakukan produsen KA Nippon Sharyo. Tahun 2007, Nippon Sharyo membukukan pendapatan 87,55 miliar yen dan hanya 50,60 miliar yen atau 57,8 persen yang berasal dari bisnis pembuatan gerbong dan kereta.
Tambahan pendapatan Nippon Sharyo dari proyek konstruksi perkantoran dan apartemen adalah 20,48 miliar yen (23,4 persen) dan proyek struktur baja, seperti jembatan tol dan pintu air, 9,06 miliar yen (10,3 persen).
Bisnis noninti Nippon Sharyo terus berkembang. Ini tampak dari porsi pendapatan dari bisnis noninti yang terus meningkat. Tahun 2006, misalnya, kontribusi pendapatan proyek konstruksi, seperti tiang pancang dan fondasi, 18,37 miliar yen dan tahun 2007 naik 11,4 persen dibandingkan dengan 2006.
Enam tambang
Keinginan mengembangkan bisnis noninti juga ada pada PT KA. Menurut Direktur Pengembangan Usaha PT KA Julison Arifin, dalam lima tahun ke depan porsi pendapatan PT KA dari bisnis noninti diproyeksikan 25-30 persen. ”Kini, pendapatan bisnis noninti masih 6-8,5 persen,” ujarnya.
Bisnis noninti itu diharapkan dapat menutup kerugian bisnis inti. Apalagi, pada 2007, pendapatan PT KA hanya Rp 3,73 triliun atau 81 persen dari target. Ini akibat persaingan antarmoda transportasi, yang ”merontokkan” okupansi KA eksekutif.
Guna meraih target penerimaan yang lebih tinggi dari bisnis noninti, menurut Julison, setidaknya ada enam ”tambang” yang bisa digali potensinya.
Enam ”tambang” itu adalah tiket penumpang; pengembangan bisnis di stasiun berupa penyewaan kios atau kamar hotel; bisnis yang dibangun sepanjang jalur KA, misalnya penanaman jaringan serat optik XL; pemanfaatan ruang di atas jalur KA yang dapat dibangun perkantoran atau jalan layang tol; pemanfaatan ruang di bawah jalur KA, misalnya pusat perbelanjaan di bawah jalan layang KA; dan ruang iklan di dinding KA.
Sejauh ini tinggal pemasangan iklan di dinding KA dan pemanfaatan ruang di atas rel sepanjang 4.675 km yang belum dikerjakan oleh PT KA.
Adapun bisnis lain, seperti pengangkutan barang dan penjualan makanan, telah dikerjakan meski belum optimal.
Pengembangan bisnis di stasiun sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar. Pada sembilan daerah operasi dan tiga divisi regional, PT KA menguasai 571 stasiun, yang 33 stasiun di antaranya adalah stasiun besar yang layak dikerjasama-operasikan (KSO).
Bentuk KSO PT KA yang sudah dilakukan, antara lain, adalah pembangunan superblok di emplasemen Stasiun Bandung berupa gudang (13,5 hektar), superblok di Stasiun Bandung (6,5 hektar), mal di Stasiun Jakarta Kota (1,75 hektar), dan kompleks gudang di Tanah Abang, Jakarta, seluas 3 hektar.
Tahun 2007, PT KA menjalankan 26 KSO, yakni tahap perjanjian 13 KSO, penandatanganan nota kesepahaman 5 KSO, dan studi kelayakan 8 KSO. Pendapatan dari KSO baru 77 persen dari target Rp 92 miliar.
Hambatan
Menyimak Julison Arifin, tersirat bahwa PT KA menguasai sarana sekaligus prasarana. Padahal, ruang tempat serat optik dan pipa minyak ditanam di sepanjang ruang jalan rel seharusnya ”dikuasai” pemerintah atau Direktorat Jenderal Perkeretaapian. Ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, yang memisahkan antara sarana dan prasarana.
Namun, menurut Sekretaris Ditjen Perkeretaapian Departemen Perhubungan Nugroho Indrio, pada prinsipnya saat ini lahan di ruang milik jalan boleh dimanfaatkan. ”Meski harus seizin pemerintah,” ujarnya.
Pemerintah mengizinkan pemanfaatan ruang itu. Hanya, syaratnya, pemasukan dari sewa langsung masuk kas negara berbentuk Pendapatan Negara Bukan Pajak atau PNBP. ”Dana PBNP itu dikembalikan untuk perkeretaapian,” ujar Nugroho.
Pengamat KA, Taufik Hidayat, berpendapat, enam ”tambang” yang disebut Julison hanya berumur tiga tahun setelah UU Perkeretaapian disahkan. Sesuai dengan Pasal 214, saat masa transisi berakhir, prasarana ditangani pemerintah atau badan usaha terpisah.
Memang, kata Taufik, sebaiknya dibentuk badan usaha prasarana baru. Ditjen Perkeretaapian jelas tak memilih ”darah” wirausaha. Ini setidaknya tampak dari semakin menyusutnya prasarana saat dikelola PT KA.
Selain itu, keberadaan badan usaha prasarana mungkin akan lebih menarik minat operator KA baru dibandingkan bila prasarana dikelola sebuah entitas bisnis di bawah PT KA. ”Siapa dapat menjamin tidak ada perlakuan diskriminasi terhadap operator KA baru,” kata Taufik.
Badan usaha prasarana juga dituntut kreatif menggalang pemasukan, bukan sekadar menerima track access charges (TAC). Tujuannya, mengembangkan lebih panjang jaringan rel dan dibangun di pulau-pulau yang belum ada jaringan rel KA.
Koordinator Forum Transportasi Perkeretaapian Masyarakat Transportasi Indonesia Djoko Setijowarno menyarankan, ketika masalah prasarana dan sarana diperdebatkan, PT KA harus membuktikan diri mampu memberdayakan asetnya. ”PT KA kan masih mempunyai banyak lahan tanah, itu dulu dimanfaatkan untuk mendukung operasional mereka,” ujarnya.
Dalam buku Kisah Sukses, Privatisasi Japanese National Railways, Mantan Presiden Utama JR East Shoji Sumita menyatakan, ”revolusi mental (di JR East) adalah kunci kesuksesan”.
JR East menyadari bahwa kesuksesannya adalah buah dari kontribusi para eksekutif dan karyawan terhadap pengembangan perusahaan yang didasarkan pada tanggung jawab dari tiap-tiap individu.
Kita bersyukur PT KA menguasai banyak ”tambang”. Akan tetapi, tanpa ”revolusi mental”, tambang itu hanya akan menjadi beban....[Haryo Damardono]
Sumber: Kompas, 27 Januari 2009