Pejabat Setneg Mulai Diperiksa; Yusril Siap Bantu Timtastipikor

Sangat banyak aset negara yang menjadi ladang korupsi di Sekretariat Negara (Setneg). Mulai pengelolaan Senayan, lahan Kemayoran, hingga rumah-rumah dinas para menteri. Bukan hanya itu. Timtastipikor juga akan menyelidiki dugaan korupsi anggaran rumah tangga dan dana nonbujeter bantuan presiden (banpres).

Ya, termasuk itu. Pokoknya semuanya, kata Hendarman Supandji, ketua Timtastipikor (Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), kepada wartawan di teras Gedung Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta, kemarin.

Penanganan dugaan korupsi di Setneg, kata Hendarman, masih dalam tahap penyelidikan. Namun, segera ditingkatkan ke tahap penyidikan. Kemarin tim penyelidik Timtastipikor yang dipimpin Bambang Setyo Wahyudi memeriksa pejabat dan mantan pejabat Setneg. Namun, karena masih dalam tahap penyelidikan, identitas mereka dirahasiakan.

Ini memang perintah langsung Pak Presiden, jelasnya.

Namun, Hendarman menolak menjelaskan lebih jauh. Malah, dia meminta wartawan tidak terus-menerus memberitakan penanganan dugaan korupsi Setneg. Ini kan baru tahap penyelidikan. Kalau diberitakan terus-menerus, kasihan penyelidiknya. Saya tahu berita ini akan membuat geger orang, katanya.

Wartawan koran ini sempat mewawancarai salah satu anggota tim penyelidik yang menangani penyimpangan keuangan di Gelora Bung Karno, Ali Mukartono. Menurut dia, tim penyelidik masih mengumpulkan berbagai temuan BPK terkait pengelolaan GBK yang selama ini terkesan tertutup.

Tim masih menyelidiki berbagai alat bukti sebagai bahan penyidikan kelak, kata Mukartono.

Ditanya ***secara detail apa dugaan penyimpangan keuangan negara di GBK, jaksa dari Kejati DKI itu hanya menjawab terkait kasus mark up anggaran.

Bondan Gunawan, mantan Sesneg di era Abdurrahman Wahid, mengaku mempunyai dokumen terkait berbagai penyimpangan dugaan korupsi Setneg. Bondan pernah menyerahkan ke Kejagung. tetapi tidak dilanjutkan ke tahap penyidikan. Sebelum diganti Djohan Effendi, aktivis LSM itu juga pernah menertibkan dana nonbujeter Setneg seperti bantuan presiden (banpres) Rp 500 miliar agar dimasukkan ke kas negara alias APBN.

Yusril Siap
Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Yusril Ihza Mahendra menegaskan, Setneg akan kooperatif terhadap aparat yang melakukan penyelidikan di lembaga yang dipimpinnya.

Saya mendukung upaya penyelidikan korupsi di Setneg. Silakan kepolisian dan kejaksaan menjalankan kewenangannya untuk memeriksa atau melakukan penyelidikan, terang Yusril di kantor Setneg kemarin. Yusril juga mempersilakan pengusutan oleh Timtastipikor.

Saya kira normal saja penyelidikan ini. Kalau ada staf Setneg yang melanggar, tentu harus ditindak, paparnya.

Saat ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit penggunaan anggaran Setneg mulai 2004 dan tahun-tahun sebelumnya. Audit direncanakan selesai pertengahan Agustus. Dari audit sementara itu, telah ditemukan indikasi terjadinya korupsi.

Menurut Yusril, dirinya sama sekali tidak pernah menghalangi BPK. Dari awal saya setuju Setneg diaudit BPK. Hasilnya nanti ditindaklanjuti oleh penegak hukum, tegas mantan ketua umum Partai Bulan Bintang ini.

Dihubungi terpisah, mantan juru bicara kepresidenan di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Adhie M. Massardi, mengatakan, indikasi korupsi memang ada di setiap departemen pemerintah. Termasuk di Setneg. Hanya, kata Adhie, korupsi di Setneg menjadi sulit dibuktikan karena jarang yang memperhatikan.

Adhie menambahkan, luputnya bidikan korupsi terhadap Setneg antara lain karena publik belum paham akan tugas Setneg dan sekretaris kabinet (Seskab). Misalnya, masyarakat tidak paham bahwa Setneg membawahkan persoalan kesekretariatan negara, termasuk mengurusi aset-aset negara.

Sedangkan Seskab hanya mengurusi persoalan administratif. Jadi, mungkin publik masih rancu. Dikira Setneg hanya mengurusi persoalan administratif negara, kata Adhie.

Padahal, tambahnya, lumbung korupsi oleh Setneg itu bisa terjadi pada pengelolaan aset-aset negara, seperti kawasan Senayan, lahan Kemayoran, hingga rumah-rumah dinas menteri.

Soal Senayan, misalnya, kan lebih baik dikelola pemerintah DKI. Tapi, mengapa Setneg atau negara seakan tidak rela melepas pengeloaan Senayan. Karena ya itu, tadi, penerimaan dari Senayan bisa saja dikorupsi, bebernya.

Kuatnya peran Setneg, sambungnya, karena pada zaman Soeharto, Setneg seperti negara dalam negara. Karena itu, pada era Presiden Habibie dan Gus Dur, peran Setneg dikurangi dengan lebih mengaktifkan Seskab.

Di kemudian hari, fungsi Setneg dan Seskab kembali tidak jelas. Yang jadi masalah, walau fungsi tidak jelas, kan anggarannya tetap ada dan jelas. Ini yang bisa diselewengkan, tuturnya.

Selain penyelewengan aset, Adhie tidak membantah jika banpres juga rawan dikorupsi. Tapi, menurut pengakuannya, sepanjang dirinya menjadi juru bicara kepresidenan, Gus Dur sama sekali tidak pernah berbicara masalah banpres. Kalau ada yang mengeluarkan dokumen ada penyelewengan banpres zaman Gus Dur, Adhie beranggapan bisa saja dokumen itu dibuat dengan muatan politis. Setahu saya, Gus Dur nggak pernah bicara banpres, tegas Adhie.

BPK sendiri, saat melakukan pemeriksaan pada 2000, menemukan 12 indikasi
penyimpangan. Pemeriksaan itu antara lain inventarisasi kekayaan yang dimiliki Setneg, yakni pengelolaan Badan Pengelola Kompleks Kemayoran (BPKK). Pengelolaan badan ini adalah Pelaksana Pengendalian Pembangunan Kompleks Kemayoran (DP3KK).

Soal Gelora Bung Karno yang dikelola Direksi Pelaksana Gelora Bung Karno (DPGBK), BPK menemukan bahwa direksi yang mengelola aset Setneg tersebut belum jelas. BPK juga mencatat keganjilan lain. Misalnya, pada periode 1988 hingga 1994, BPKK sebenarnya telah memberikan hak penggunaan tanah kepada Perum Perumnas dan tiga yayasan, yaitu Yayasan Jakarta Fair, Yayasan Pengembangan Olahraga Tenis (Yaporti), dan Yayasan Gamatis. Namun, pelaksanaannya masih saja menimbulkan berbagai penyimpangan.

Intinya, berdasar audit dari 1996 hingga 2000 saja, terdapat temuan senilai Rp 30,130 miliar. Rinciannya, penyimpangan berindikasi kerugian negara Rp 138,41 juta, kekurangan penerimaan Rp 25,186 miliar, uang tidak dapat dipertanggungjawabkan Rp 4,704 miliar, dan pemborosan Rp 101,12 juta. (yog/yun/agm)

Sumber: Jawa Pos, 3 Agustus 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan