Patrialis Bantah Lemahkan KPK
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar membantah bahwa Rancangan Undang-Undang Antikorupsi yang tengah diajukan untuk melemahkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun, ia mengakui bahwa ada sejumlah perbuatan yang semula masuk dalam kategori korupsi, dalam RUU itu justru tidak masuk.
”RUU antikorupsi ini banyak hal baru yang harus diserasikan lagi. Misalnya orang salah dalam mengisi LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara), dalam RUU itu kategorinya tidak korupsi,” kata Patrialis, Rabu (6/4) di Istana Negara.
Ia mencontohkan, seorang pejabat tidak melakukan tender dalam pengadaan barang dan jasa, tetapi sama sekali tidak menikmati uang itu, dalam RUU tidak dianggap korupsi. Perbuatan tersebut lebih dikategorikan sebagai kesalahan prosedur dalam administrasi pemerintahan.
Di sisi lain, orang yang mengelola keuangan yang bersifat swasta, tetapi hal tersebut untuk kepentingan umum, dalam RUU dikategorikan korupsi. Namun, Patrialis menegaskan, hukuman mati dalam RUU antikorupsi yang baru tetap ada. Ancaman hukuman itu khusus bagi mereka yang korupsi pada saat negara dalam keadaan bencana alam.
Terkait dengan kewenangan penyidikan, menurut dia, tetap ada pada tiga pilar penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi, yakni polisi, jaksa, dan KPK. Ia juga menegaskan, jaksa KPK tetap memiliki kewenangan melakukan penuntutan. ”Kalau ada orang yang bilang melemahkan KPK, kok bisa berkesimpulan seperti itu? Itu hanya memanas-manasi saja,” ujarnya.
Saat disinggung penarikan RUU antikorupsi dari Sekretariat Negara, menurut Patrialis, karena RUU itu masih memerlukan harmonisasi aturan. Selain itu, saat menyerahkan RUU antikorupsi ke Setneg, dirinya belum melaporkan ke Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. ”Harusnya secara administrasi saya melapor dulu ke Menko Polhukam. Tetapi, karena terlalu semangat, saya langsung serahkan ke Setneg,” katanya.
Aktivis Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro), Iskandar Saharudin, mengatakan, pemerintah harus melibatkan orang atau lembaga yang berintegritas dalam tim penyusun draf RUU antikorupsi itu. Tanpa itu, pemerintah gagal mengeluarkan draf yang mendukung penguatan pemberantasan korupsi.
Dikatakan, sedikitnya ada tiga anggota tim penyusun draf RUU dinilai tidak layak untuk ikut menyusun RUU. ”Tiga orang itu dinilai memiliki latar belakang dan sikap bertentangan dengan agenda nasional pemberantasan korupsi,” kata Iskandar.
Anggota tim penyusun RUU antikorupsi yang telah ditarik terdiri atas akademisi dan pengacara. Jika dilihat latar belakang mereka, keberpihakan terhadap pemberantasan korupsi patut dipertanyakan. Menurut Iskandar, tim ini dipimpin Andi Hamzah, ahli hukum pidana dengan anggota, seperti Indriyanto Seno Adjie, I Ktut Sudiharsa, Oka Mahendra, dan Muhammad Yusuf.
”Dari catatan dan monitoring Pattiro, Andi Hamzah adalah saksi ahli dalam persidangan judicial review UU Nomor 30 Tahun 2002 di Mahkamah Konstitusi yang berpendapat korupsi bukan extraordinary crime, melainkan kejahatan biasa,” ujar Iskandar.
Terkait dengan Indriyanto, Iskandar menyebutnya sebagai pengacara sejumlah tersangka korupsi. Masyarakat sipil pernah menolaknya sebagai anggota panitia seleksi anggota Komisi Yudisial. Sementara Ktut Sudiharsa, lanjut Iskandar, adalah Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang dipecat terkait kasus Anggodo Widjojo dan Anggoro Widjojo. (WHY/RAY)
Sumber: Kompas, 7 April 2011