Paspor Dicabut, Nunun Terancam Dideportasi
Kementerian Hukum dan HAM kemarin resmi mencabut paspor Nunun Nurbaeti, tersangka kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom. Pencabutan dilakukan setelah pihaknya menerima surat permohonan dari KPK.
“Hari ini sudah resmi dicabut. Surat KPK lima menit lalu baru menuju kantor. Hari ini langsung kami laksanakan. Pencabutan tidak ada masalah,” ungkap Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar sebelum mengikuti rapat kabinet paripurna di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Kamis.
Menurut Patrialis, pihak imigrasi sudah berkomunikasi dengan perwakilan Indonesia di luar negeri, khususnya negara-negara yang diduga menjadi tempat persembunyian Nunun. Dengan penarikan paspor itu, Nunun tidak bisa bepergian ke luar negeri lagi. Negeri tempatnya bersembunyi juga akan mendeportasinya. Untuk kembali ke Indonesia, Nunun membutuhkan Surat Pengganti Laksana Paspor (SPLP).
Sebelumnya, suami Nunun, anggota Komisi II DPR Adang Daradjatun, membenarkan istrinya berada di Singapura. Mantan Wakapolri yang dikritik karena dianggap tidak mendukung penegakan hukum itu mempersilakan KPK memeriksa Nunun.
Ketua KPK Busyro Muqoddas mengatakan, pihaknya tak akan kesulitan membawa Nunun ke Tanah Air, apalagi setelah paspornya dicabut. Busyro menegaskan bahwa keterangan Nunun amat penting untuk mengungkap kasus suap terhadap sejumlah anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004. Keterangan Nunun dinilai dapat melengkapi unsur pemberi suap.
”(Keterangannya) sangat penting. Dia kan dalam posisi melengkapi unsur pemberi (suap),” kata Busyro, kemarin.
Batasi Gerak
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmawanto Juwana berpendapat, agar upaya pemulangan Nunun berhasil, KPK diharapkan dapat meyakinkan keluarga Nunun untuk menyerahkannya kepada KPK. ”Kita lihat saja bagaimana Satgas Pemberantasan Mafia Hukum meyakinkan Gayus Tambunan untuk pulang ke Indonesia dari Singapura,” katanya.
Ia menambahkan, penarikan paspor Nunun bisa menjadi contoh penegakan hukum bagi seseorang yang diduga pelaku kejahatan korupsi dan lari ke luar negeri. Menurutnya, opsi yang dipilih KPK untuk menarik paspor sebenarnya tidak untuk mengekstradisi Nunun ke Indonesia, melainkan memperkecil ruang gerak dan menghindari overstay Nunun di Singapura. “Itu untuk memperkecil ruang gerak Nunun agar tidak bepergian ke negara lain selain Singapura,” kata Hikmahanto.
Penarikan paspor diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Dalam Pasal 31 ayat (3) huruf (a) disebutkan bahwa penarikan paspor biasa (buku paspor berwarna hijau) dilakukan jika pemegangnya melakukan tindak pidana atau melanggar peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Tindak pidana dimaksud adalah perbuatan yang merugikan negara dan/atau pelanggaran perundang-undangan yang diancam pidana lima tahun atau lebih.
Dalam penjelasan itu juga disebutkan bahwa penarikan paspor biasa terhadap tersangka yang telah berada di luar negeri harus disertai dengan pemberian Surat Perjalanan Laksana Paspor Republik Indonesia yang akan digunakan dalam rangka mengembalikan si pelakunya ke Tanah Air. (J13,dtc,ant-59)
Sumber: Suara Merdeka, 27 Mei 2011
---------------
Paspor Nunun Dicabut
Kementerian Hukum dan HAM kemarin mencabut paspor milik tersangka kasus dugaan suap Nunun Nurbaeti Daradjatun. Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Patrialis Akbar menyatakan, pencabutan paspor Nunun atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Nunun Nurbaeti diketahui adalah istri mantan Wakapolri Komjen Pol (Purn) Adang Daradjatun. KPK sebelumnya telah menetapkan Nunun sebagai tersangka kasus suap cek pelawat terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) Bank Indonesia Miranda S Goeltom. Belum diketahui di negara mana Nunun berada saat ini.
Namun berdasarkan informasi yang berkembang, perempuan sosialita itu dikabarkan tengan berada di Singapura. ”Sudah dicabut (paspornya). Surat itu ditujukan ke Dirjen Imgrasi ditandatanan oleh Pak Busyro (Ketua KPK).Kami melaksanakan tugas itu,untuk pencabutan tak ada masalah. Hari ini (kemarin) sudah resmi dicabut,” ujar Patrialis Akbar sebelum Sidang Paripurna di Kantor Presiden, Jalan Medan Merdeka Utara, kemarin.
Setelah menerima surat KPK,Dirjen Imigrasi langsung berkoordinasi dengan perwakilan Kementerian Hukum dan HAM yang berada di luar negeri, termasuk dengan negara-negara yang tempat Nunun diduga berada, terutama di negara yang bergabung dalam ASEAN. ”Hari ini (kemarin) kita langsung laksanakan, termasuk pengganti urusan paspor. Soal target dan perihal teknis, itu urusan KPK,” katanya.
Dengan pencabutan paspor tersebut, Nunun tidak punya izin untuk tinggal di luar negeri, melakukan perjalanan atau pindah ke negara lain. Patrialis menjelaskan, berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan Dirjen Imigrasi, yang bersangkutan diduga masih berada di Singapura.
Mantan anggota Komsi III DPR itu mengaku, kendati antara Indonesia dan Singapura tidak memiliki perjanjian ekstradisi, kedua negara tetap melakukan komunikasi intensif. Apabila ada kesepakatan dan Singapura berkenan untuk memulangkan Nunun, hal itu bisa dilakukan. ”Ekstradisi itu tidak segala-galanya.
Untuk kepulangan, kalaupun Indonesia tidak memiliki ekstradisi, ada MoU bilateral. Itu juga bisa dilakukan, jadi tidak harus ekstradisi.Kalau memang dibicarakan antara menteri Indonesia dan Singapura,kemudian berkenan,itu bisa,”bebernya. Untuk membantu pemulangan tersebut,Kementerian Hukum dan HAM akan mengeluarkan surat perjalanan laksana paspor (SPLP).
Surat tersebut hanya bisa digunakan untuk one way kembali ke negara Indonesia. ”Bukan ke negara lain. Soal teknis diserahkan sepenuhnya kepada KPK. Bisa saja KPK Indonesia dengan KPK Singapura bekerja sama,”tandasnya. Juru Bicara KPK Johan Budi SP mengatakan, permintaan pencabutan paspor Nunun dilakukan karena KPK sulit mengembalikan Nunun ke Tanah Air.
Sebelumnya Ketua KPK Busyro Muqoddas juga mengatakan surat permohonan pencabutan paspor milik Nunun Nurbaeti telah dia tanda tangani dan telah dikirim ke Kementerian yang dipimpin Patrialis Akbar tersebut. Di tempat terpisah Wakil Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin mengatakan,KPK harus menindaklanjuti kasus Nunun lebih dalam.
Dalam kasus tersebut patut dipertanyakan dugaan adanya aktor yang berperan di balik Nunun. “KPK masih punya beban (tugas) untuk mengusut siapa aktor dari kasus tersebut,”kata politikus Partai Golkar itu di Gedung Komisi Yudisial (KY) kemarin.Menurut Aziz,dugaan adanya aktor dalam perkara tersebut dapat dicermati dari peran Nunun. ”Misalnya, apa kepentingan Nunun memberikan cek perjalanan (cek pelawat),” kata Aziz.
Peran Nunun menurutnya sangat janggal karena Nunun tidak dalam kompetensi untuk memberikan cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Dia menduga ada aktor yang menyuruh Nunun melakukannya. Pengacara Nunun Nurbaeti, Ina Rahman, mengaku kaget mendengar penarikan paspor kliennya oleh Kementerian Hukum dan HAM berdasarkan permohonan KPK. “Tentu saja kami sangat kaget mendengar kabar ini (penarikan paspor).
Ibarat seperti terkena serangan jantung.Sebelumnya kami juga membaca berita penetapan tersangka klien kami oleh KPK. Ini memang hak KPK dan kami menghormatinya,”kata Ina saat dihubungi di Jakarta kemarin. Ina menegaskan hingga saat ini dirinya dan pihak keluarga belum bisa memutuskan tindakan selanjutnya untuk merespons penarikan paspor tersebut.
Pihak keluarga Nunun tidak bisa memahami sikap penegak hukum yang menarik paspor kliennya mengingat Nunun dinyatakan masih sakit berdasarkan keterangan dokter. Sementaraitu,kemarinPengadilan Tipikor kembali menyidangkan terdakwa kasus dugaan suap cek perjalanan terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior BI tahun 2004. Salah satu terdakwa Max Moein,menyatakan tidak menyesali perbuatannya.
Politisi PDI Perjuangan itu bersikukuh bahwa sejumlah cek perjalanan yang dia terima bukanlah dana suap. Cek itu, kata Max,merupakan bantuan partai untuk dana kampanye kadernya. Terdakwa lainnya yang disidang bersama Max menyatakan menyesal. Agus Condro mengaku menyesal menerima cek perjalanan senilai Rp 500 juta dari Dudhie. Sucipto/kholil/ nurul huda
Sumber: Koran Sindo, 27 Mei 2011