Pasang Surut Komisi Antikorupsi
Bagi sebagian penguasa di dunia, barangkali termasuk di Indonesia, pembentukan komisi antikorupsi adalah kecelakaan sejarah. Upaya penguatan komisi antikorupsi pun selalu mendapat perlawanan keras ketika sudah mulai menyentuh lingkar dalam kekuasaan.
Seperti diingatkan penulis dan novelis Amerika pemenang Nobel Sastra 1962, John Steinbeck; kekuasaan barangkali tidak korup. Tetapi, ketakutan itu sendirilah yang korup.... Takut kehilangan kekuasaan.
Maka, penguasa biasanya akan bereaksi keras ketika ada pihak yang dianggap bisa merongrong wibawa mereka. Dalam konteks inilah keberadaan lembaga antikorupsi yang independen selalu dianggap sebagai ancaman penguasa dan menjadi target pelemahan ketika sudah menyinggung lingkungan elite penguasa.
Tren global untuk melemahkan komisi antikorupsi oleh pemegang kuasa dan aparat hukum di bawahnya disampaikan oleh pimpinan komisi antikorupsi sejumlah negara dan NGO antikorupsi pada Konferensi Internasional Antikorupsi ke-14 di Bangkok, Thailand, pekan lalu.
Pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia menjadi salah satu contoh yang dibahas dalam konferensi yang diikuti perwakilan lebih dari 100 negara itu.
Wakil Ketua KPK M Jasin memaparkan tentang rekayasa perkara pemerasan dan penyalahgunaan wewenang yang disangkakan kepada dua unsur pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. ”Dua unsur pimpinan KPK, Bibit dan Chandra, dipenjara Polri dengan sangkaan yang direkayasa,” kata Jasin.
Menurut Jasin, rekayasa perkara terhadap Bibit dan Chandra itu terjadi karena banyak pihak yang merasa terancam dengan penindakan yang dilakukan KPK. Jasin menyebutkan, lembaganya telah memenjarakan 42 anggota parlemen, 8 menteri, 7 gubernur, 20 bupati/wali kota, 8 anggota KPU, 4 duta besar, 1 gubernur Bank Indonesia (BI), dan 4 deputi gubernur BI, termasuk salah satunya besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Panthep Klanarongan, Presiden National Anti-Corruption Commission Thailand, mengemukakan adanya tekanan dan ancaman terhadap anggota komisinya, terutama ketika menginvestigasi korupsi yang melibatkan politisi dan pimpinan pemerintahan. ”Kami juga mendapat ancaman. Saya yakin ini juga terjadi di negara lain dengan detail yang berbeda,” katanya.
Dragos Kos, Presiden Group of States Against Corruption (GRECO), menyatakan adanya tekanan yang dialami oleh lembaga antikorupsi di Eropa. ”Kerja komisi antikorupsi memang selalu dalam bahaya. Semakin sukses komisi antikorupsi, semakin tinggi ancaman dan upaya pelemahannya,” ungkapnya.
Dia merumuskan, modus pelemahan itu dilakukan dengan mengubah undang-undang untuk mengurangi kewenangan komisi antikorupsi. Modus berikutnya dengan merestrukturisasi lembaga untuk mengurangi independensinya hingga mengurangi sumber daya atau anggaran. Bahkan, terkadang juga terjadi ancaman hingga pembunuhan terhadap anggota komisi antikorupsi.
Kasus penyerangan kantor komisi antikorupsi Hongkong (Independent Commission Against Corruption/ICAC) oleh aparat polisi menjadi contoh nyata intimidasi itu. Serangan itu terjadi setelah ICAC membongkar satu kasus korupsi yang dilakukan petinggi kepolisian di Hongkong. Terjadi konflik yang cukup keras. Namun, akhirnya terbukti di persidangan bahwa memang polisi di Hongkong saat itu korup.
Dragos Kos menyarankan agar dasar hukum yang mengatur keberadaan komisi antikorupsi diperkuat, misalnya dengan dimasukkan dalam konstitusi dasar sehingga tidak bisa diubah dengan mudah oleh kepentingan koruptor.
Kasus lain yang menjadi sorotan adalah yang menimpa Nuhu Ribadu, mantan Ketua Economic and Financial Crimes Commission Nigeria. Dia dipaksa mundur dari jabatannya oleh Pemerintah Nigeria karena mengungkap korupsi di kalangan politisi Nigeria.
Salah satu yang pernah dijebloskan oleh Nuhu Ribadu adalah mantan Gubernur Negara Bagian Delta yang dikenal memiliki kedekatan dengan Presiden Nigeria Umaru Yar’Adua. Nuhu Ribadu kemudian terpaksa melarikan diri ke Amerika Serikat karena kuatnya ancaman dari dalam negeri.
Dibubarkan
Pelemahan juga dilakukan terhadap komisi antikorupsi Korea Selatan, Korea Independent Commission Against Corruption (KICAC). Pada 2008, KICAC secara resmi dibubarkan dan dilebur dengan komisi negara lainnya menjadi ACRC oleh Lee Myung-bak, presiden terpilih yang pro terhadap kalangan pengusaha. Lee juga merupakan mantan CEO Hyundai.
Dalam pandangan Pemerintah Korea Selatan, KICAC dianggap mengganggu hubungan antara pemerintah dan pengusaha. Bahkan, selanjutnya salah seorang komisioner KICAC, Kim Geo Sung, juga mengalami kriminalisasi oleh pemerintahan Lee. Kim juga pernah mengalami nasib yang sama sebagaimana Bibit dan Chandra di Indonesia, dijadikan sebagai tersangka karena dianggap terlalu dekat dengan kalangan LSM di Korea Selatan. Kim mengungkapkan kepada koalisi bahwa dibubarkannya KICAC oleh pemerintahan Lee disebabkan oleh lemahnya dukungan politik dari parlemen yang ketika itu dikuasai oleh partai mayoritas pendukung pemerintah.
Gerakan sipil
Juree Vichit, Sekretaris Jenderal Transparency International Thailand, mengatakan bahwa kasus yang dialami KPK di Indonesia menjadi contoh mengenai pentingnya
dukungan gerakan sipil untuk mempertahankan keberlanjutan komisi antikorupsi. Dengan dukungan sipil, komisi antikorupsi yang dilemahkan penguasa ataupun aparat hukum lainnya bisa bertahan.
Dia berharap masyarakat sipil bergerak melampaui peran tradisional sebagai ”pengawas” dan melakukan peran yang lebih luas sebagai ”pelindung” komisi antikorupsi. ”Ada beberapa contoh saat masyarakat sipil, melalui mobilisasi dukungan publik, telah memberikan komisi antikorupsi untuk tahan terhadap serangan politik. Di Indonesia, misalnya, ketika KPK berada di bawah ancaman, lebih dari satu juta pengguna Facebook datang keluar untuk mendukung KPK. Masyarakat sipil adalah alat yang ampuh untuk menjaga keberadaan dan pekerjaan komisi antikorupsi,” katanya. [Oleh Ahmad Arif]
Sumber: Kompas, 24 November 2010