Parpol Tak Lepas dari Jerat Korupsi
Marwan Jafar: Korupsi untuk Kepentingan Pemilih
Partai politik ternyata tidak lepas dari kasus korupsi, seperti yang terjadi pada instansi pemerintah. Bahkan, korupsi juga dinilai menggurita di tubuh partai politik dan parlemen, seperti terungkap dalam hasil survei Barometer Korupsi Global Transparansi Indonesia.
Data hasil survei Barometer Korupsi Global Transparansi Indonesia, selama empat tahun, yakni 2003, 2004, 2007, dan 2008, menempatkan partai politik dan parlemen pada peringkat ketiga besar lembaga terkorup dalam persepsi publik di Indonesia.
Dalam tiga tahun terakhir, sejak tahun 2008, secara berturutturut Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap sejumlah politisi yang diduga terlibat korupsi. Penangkapan pertama dilakukan tahun 2008 terhadap Al Amin Nur Nasution dari Partai Persatuan Pembangunan. Kejadian itu terus berlanjut dan melibatkan politisi dari partai politik lainnya.
Mengutip data Transparency International, hasil survei pada 2003 menempatkan partai politik pada posisi kedua sebagai lembaga terkorup di negeri ini setelah lembaga peradilan. Tahun 2004, partai politik dan parlemen menjadi lembaga terkorup pertama. Bahkan, pada tahun yang sama, Transparency International mengumumkan, sebanyak 36 dari total 62 negara sepakat menyatakan partai politik adalah lembaga terkorup.
Tahun 2007, posisi partai politik membaik, yaitu berada di urutan ketiga setelah polisi dan lembaga pengadilan. Namun, pada tahun berikutnya, posisi partai politik turun kembali, berada di urutan kedua, sebagai lembaga terkorup setelah parlemen.
Secara terpisah, Koordinator Indonesia Corruption Watch Danang Widoyoko dan Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang, Minggu (11/4) di Jakarta, sepakat, parpol sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam menumbuhsuburkan korupsi di negeri ini. Partai yang menjadi sarana terpenting mencapai kekuasaan politik menjadi episentrum korupsi. Dalam partai, koruptor dididik dan kemudian membangun jaringan untuk melakukan korupsi politik secara beramai- ramai.
”Korupsi politik di negeri ini seperti lingkaran setan, dan parpol berada di titik pusatnya,” kata Danang.
Proses deparpolisasi
Namun, Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR Marwan Jafar menyangkalnya. ”Ada proses untuk melakukan deparpolisasi secara masif. Kami sangat meragukan survei semacam itu (terkait persepsi korupsi). Kita semua tahulah, kadang ada survei yang benar, kadang rekayasa, dan kadang dibuat-buat. Itu proyek saja, untuk dijual ke luar negeri,” ujarnya di Jakarta.
Hasil survei semacam ini, kata Marwan, menyebabkan masyarakat dibuat menjadi tidak percaya kepada partai dan DPR, pemerintah, atau lembaga lain.
Ia mengakui, penyalahgunaan kewenangan memang terjadi di sana-sini. ”Namun, yang dibutuhkan adalah perbaikan. Bukan diremuk institusinya, dihajar institusinya,” katanya.
Marwan juga mengajak semua pihak melihat perbedaan perilaku korupsi antara eksekutif dan legislatif. Korupsi yang dilakukan oleh pejabat/pegawai pemerintah (eksekutif) selalu dinikmati sendiri. Berbeda dengan Senayan, kata Marwan, uang itu (kalaupun benar ada korupsi) tidak dinikmati sendiri.
”Kalau toh ada yang dianggap nyolong (mencuri), itu bukan untuk pribadi, melainkan juga dipakai untuk kepentingan konstituen,” ujarnya.
Benahi parpol
Sebastian menambahkan, untuk membereskan korupsi di Indonesia, yang pertama harus dilakukan adalah membenahi parpol karena proses perekrutan terhadap pejabat publik dimulai dari parpol. ”Nah, kalau parpolnya tidak bersih, berarti proses kaderisasi pejabat publik juga pasti korup,” katanya.
Posisi partai sebagai pusat korupsi itu, tutur Danang, berawal dari kegagalan partai dalam menggalang dana dari publik. ”Partai butuh sumber dana yang besar untuk memenangi pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah,” katanya.
Masalahnya, partai tak memiliki kemampuan keuangan secara mandiri sehingga jalan pintasnya adalah mereka meminta dari penyumbang besar, baik dari kalangan pengusaha maupun kader yang mau masuk ke birokrasi.
”Ketika kader itu menjadi penguasa, ia terobsesi untuk mengembalikan modal yang ditanamkannya dengan menyetor ke partai. Demikian halnya jika kemenangannya didanai dari pihak ketiga, ia pun harus mengembalikan utang ke pemodal itu. Di situ peluang terjadi korupsi,” kata Danang.
Sebastian menambahkan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebenarnya telah menggariskan sumber pendanaan parpol bisa berasal dari anggota, pendapatan yang sah, dan dari negara. ”Tetapi, berharap dari negara sepertinya tidak mungkin karena sangat kecil jumlahnya. Pendapatan yang sah juga nilainya kecil. Akibatnya, parpol mengandalkan kadernya yang duduk di lembaga pemerintahan. Dari sinilah korupsi terjadi,” katanya.
Danang menambahkan, kasus korupsi di Indonesia, khususnya yang berskala besar, kebanyakan bersinggungan dengan kepentingan parpol. Ia mencontohkan korupsi berupa suap cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang dimenangi Miranda Swaray Goeltom pada tahun 2004, yang saat ini ditangani Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
”Hampir semua pihak yang menerima suap itu mengaku menggunakan sebagian uangnya untuk kepentingan kampanye partai. Beberapa kasus lain, termasuk Bank Century, juga berasal dari tidak transparannya pendanaan parpol,” kata Danang.
Terhadap maraknya korupsi politik ini, tutur Sebastian, parpol sangat sulit diharapkan mau membenahi diri. ”Saya tidak percaya parpol memiliki komitmen untuk membereskan pembusukan ini,” katanya. Anggota parpol yang jelas-jelas dinyatakan bersalah oleh pengadilan tetap dipertahankan partainya. (ANA/AIK/WHY/DWA/NWO/MZW)
Sumber: Kompas, 12 April 2010