Parpol, Demokrasi, dan Civil Society

Global Corruption Barometer yang dilakukan Gallup International (2005) menemukan bukti bahwa partai politik di Indonesia merupakan lembaga terkorup dengan nilai 4,2 dengan kisaran 1-5. Hasil survei itu sama dengan hasil riset yang dirilis Transparency International Indonesia (TII) yang dipimpin Todung Mulya Lubis.

Ya, meski dibantah para pimpinannya, memang begitulah realitas partai di negeri ini, buruk nian wajahnya. Maka, wajar belaka jika rakyat merasa terus-menerus dikhianati partai-partai, termasuk partai yang menjadi pilihannya dalam pemilu.

Kondisi tak sehat ini tidak bisa dibiarkan. Seburuk apa pun citranya, secara generik, parpol tetap berfungsi sebagai sendi demokrasi. Demokratisasi sulit berjalan tanpa parpol. Indonesia sebagai negara yang sedang bertransisi menuju demokrasi telah memiliki sendi itu. Bahkan, ada musim semi parpol di negeri ini. Sayangnya, berseminya parpol tidak (belum) paralel dengan berseminya demokrasi. Artinya, dalil bahwa parpol merupakan sendi demokrasi ibarat jauh panggang dari api. Bahkan, ada kecenderungan parpol-parpol yang ada sekarang ini destruktif bagi perkembangan demokrasi.

Mengapa demikian? Sebab, dalam kasus Indonesia, sebagaimana dilaporkan TII itu, parpol merupakan ladang subur bagi tumbuhnya korupsi. Ungkapan kasus Indonesia sengaja saya beri tanda petik untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya parpol bukanlah ladang korupsi. Mengapa parpol menjadi ladang korupsi? Pertama, adanya gejala korupsi yang bersifat sistemik. Artinya, karena sistem yang ada secara umum koruptif, institusi apa pun yang tumbuh di dalamnya (tak terkecuali parpol) akan sulit menghindari korupsi.

Kedua, menguatnya gejala misinterpretasi (sesat pikir) mengenai parpol. Ada sejumlah fakta yang menunjukkan bahwa parpol bukan dianggap sebagai sarana, melainkan sebagai tujuan segala aktivitas politik. Adanya tuntutan loyalitas tanpa batas terhadap parpol atau loyalitas terhadap parpol melebihi loyalitas pada negara merupakan bukti misinterpretasi tersebut.

Ketiga, ada kecenderungan, berparpol atau mendirikan parpol merupakan satu jenis profesi alternatif untuk mengais rezeki di tengah krisis multidimensi di mana ladang pekerjaan konvensional yang bisa menghasilkan uang sangat sulit didapatkan. Dalam rumusan formal, memang tidak akan ada satu pun di antara parpol-parpol itu merumuskan tujuannya atau motivasinya sebagai sarana menjadi pekerjaan atau uang.

Tapi, faktanya, toh kita menemukan adanya parpol yang menjalin kontrak dukungan terhadap elite politik dengan imbalan sejumlah uang yang dengan uang itu pula parpol bersangkutan mendirikan infrastruktur di tingkat wilayah dan daerah serta menggaji para pengurusnya.

Keempat, mudahnya regulasi pendirian parpol. Demokratisasi memang menghendaki kebebasan seluas-luasnya bagi siapa pun untuk mendirikan parpol. Kondisi tersebut lalu dimanfaatkan politisi petualang untuk mendirikan parpol baru dengan prinsip waton sulaya (asal beda) dari partai-partai yang sudah ada.

Dan, kelima, umumnya parpol dijadikan mesin cuci oleh para kapitalis kroni dan elite militer yang memiliki sejarah tukang memeras atau menumpahkan darah rakyat.

Dengan adanya kelima sebab (baca, kecenderungan) tersebut, umumnya parpol yang tumbuh di Indonesia bukannya menjadi sarana conflict management (pengelola konflik), tapi malah menjadi faktor signifikan dalam menciptakan, memperluas, serta meningkatkan bobot konflik. Bukannya menjadi sarana kontrol sosial, namun malah menjadi institusi yang sulit dikontrol. Dan, ujungnya, parpol menjadi sarana yang buruk, baik untuk sosialisasi maupun penyalur aspirasi rakyat.

Jika demikian halnya, tentu nasib demokratisasi di negeri ini benar-benar berada di ujung tanduk. Tak mampu berdiri tegak (apalagi berjalan) karena sendinya amat rapuh. Agar bisa terus berjalan, tidak ada jalan lain, kecuali harus dipapah atau ditandu segenap warga masyarakat (rakyat).

Karena itu, setiap warga masyarakat seyogianya memiliki kesadaran politik, minimal mengetahui bahwa dirinya berfungsi signifikan dalam proses demokratisasi dan memiliki kekuatan yang (kurang lebih) sama dengan pemerintah dalam menentukan maju mundurnya negara. Sehingga, mereka layak disebut sebagai civil society atau yang diistilahkan John Locke dengan civilian government. Sebab, civil society memang bukan hanya sendi, melainkan syarat mutlak terbangunnya demokrasi.

Civil society selama ini bukannya tidak ada. Ada, tapi dalam tekanan luar biasa, sehingga lupa bahwa dirinya ada dan bisa berperan. Memang, seperti yang disinyalir Milan Kundera, otoritarianisme bisa membunuh ingatan masyarakat. Pada era reformasi ini, pemerintah bukannya tidak otoriter, tetap otoriter meski tidak memiliki legitimasi yang cukup untuk memanifestasikan otoritarianismenya. Kasus merebaknya terorisme akhir-akhir ini bisa jadi akan menjadi pintu masuk kembalinya otoritarianisme tersebut. Waspadalah.

Pemerintah, sejak dulu hingga kini, tampaknya, masih tetap menjadi instrumen dari kelas dominan, terutama militer dan para kapitalis kroni. Model pemerintah yang disebut O

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan