Pahlawan Antikorupsi
Bali tetap indah seperti sedia kala ketika saya kembali mengunjunginya beberapa waktu lalu. Namun, di tengah kesesakan hati mengenang korban bom Bali di depan monumen yang baru saja didirikan di kawasan Legian, saya terkenang percakapan dengan seorang sopir taksi yang mengantar perjalanan kami dari Denpasar menuju Tabanan.
Di tengah obrolan ngalor ngidul tentang pariwisata di Bali yang mulai bangkit, tiba-tiba obrolan menyentuh masalah korupsi yang sangat gawat perkembangannya dari tahun ke tahun. Dalam bahasa sederhana, kawan sopir taksi itu bercerita tentang nasib seorang mantan gubernur dan menteri Orde Baru asal Bali.
Di pulau dewata, ikatan kekerabatan dan kekeluargaan di lingkungan banjar masih sangat kuat dan berpengaruh. Kehidupan masyarakat dalam banjar sangat guyub, penuh tepo seliro, dan saling membantu mempertahankan solidaritas sosial. Jika ada anggota banjar diketahui melakukan perbuatan tercela, misalnya mencuri, seluruh banjar bisa terkena getahnya. Atau karma, dalam bahasa sang sopir taksi yang orang Bali asli.
Jadi, tidak peduli Anda bekas menteri atau gubernur, jika semasa hidup Anda dikenal sombong, tidak mau menyatu dengan adat banjar, dan belakangan diketahui sebagai koruptor pula, jangan harap anggota banjar peduli pada nasib jenazah Anda. Apalagi jika semasa hidup anda rajin menindas rakyat, berkuasa sewenang-wenang, dan melakukan hal-hal tercela seperti merampas tanah rakyat.
Anggota banjar di Bali punya cara sendiri untuk membalas perilaku tercela semacam itu. Mereka bisa melakukan sanksi sosial. Dan itulah yang terjadi pada sang tokoh asal Bali itu, ketika dia meninggal dunia.
Orang masih mengingat perbuatannya semasa berkuasa. Rakyat anggota banjar menolak terlibat dalam segala upacara yang berkaitan dengan kremasi (ngaben) dan prosesi kematiannya. Menolak sama sekali. Padahal, urusan prosesi kematian alias ngaben yang penuh tata upacara yang rumit, memerlukan keterlibatan seluruh anggota banjar. Di samping, kerap juga memiliki gengsi sosial yang tinggi jika mampu melibatkan ribuan orang.
Perlunya Sanksi Sosial
Saya merenung mendengar cerita kawanku sang sopir taksi. Alangkah menyedihkannya jika jenazah kita tidak ada yang mau mengurus secara layak karena kita ketahuan korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan, meskipun di masa hidup kita pernah menggenggam kekuasaan atas orang lain. Saya teringat nasib mantan diktator Rumania Ceacescu dan istrinya yang serakah. Mereka mati digantung rakyat, dan dihinakan pula. Rakyat membiarkan jenazah mereka tergantung membusuk.
Mantan diktator Korea Chun Doo-hwan tetap dikejar-kejar untuk mengembalikan harta hasil korupsinya. Meskipun keluarganya sudah habis-habisan melelang hartanya dan Chun Doo-hwan sendiri menebus dosa dengan menyepi di kuil Buddha. Rakyat Korea yang teguh memegang etik Konfusianisme tetap mempertahankan sanksi sosial.
Misalnya dengan menghinakan para koruptor, meskipun mereka datang dari keluarga terhormat. Anak-anak Presiden Kim Dae-jung yang ketahuan menerima suap (yang jumlahnya masih jauh di bawah kasus L/C fiktif BNI) disorot kamera televisi memakai seragam penjara dan diborgol, meskipun Kim Dae-jung saat itu masih berkuasa penuh. Sebagai kepala keluarga, sang presiden terpaksa meminta maaf langsung kepada rakyat dan mengaku gagal dalam mendidik anak-anaknya.
Teman saya orang Korea yang bekerja di Departemen Pendidikan di Seoul, mengaku heran melihat tingginya tingkat korupsi di Indonesia. Sebagai pegawai negeri, ia mengaku gajinya cukup. Kalau ada yang berani korupsi, potong leher saja, katanya. Angka korupsi di Korea bisa diminimalisasi karena tegaknya hukum dan rakyat tidak pernah lupa perbuatan buruk para koruptor. Mereka terus melakukan sanksi sosial terhadap koruptor.
Itulah sanksi sosial dari masyarakat yang sekilas terasa kejam, tapi diperlukan, misalnya untuk mengurangi korupsi di Indonesia yang sudah sampai pada taraf genting. Faisal Basri juga pernah mengusulkan, jika institusi penegakan hukum masih lemah dalam memberantas korupsi, rakyat masih bisa bertindak sesuai kemampuan. Jika sang koruptor di KTP-nya mengaku beragama Islam, rakyat sah jika menolak untuk memandikan dan menyolatkan jenazahnya. Mungkin bahkan perlu dibuatkan fatwa dari Majelis Ulama Indonesia tentang hukum memandikan dan menyolatkan jenazah koruptor. Dan apakah tindakan semacam ini bisa dibenarkan terhadap koruptor level kacangan sampai koruptor kelas kakap.
Kita juga bisa meniru model gerakan kaum samin, yang memalingkan muka, meludah, dan memberikan pantat kita membelakangi sang koruptor yang lewat di depan kita. Bayangkan, jika model-model sanksi sosial yang selama ini sudah ada di berbagai etnis di Indonesia, kemudian kita modifikasi untuk bisa diberlakukan terhadap para koruptor yang telah membuat negeri ini terpuruk ke dalam keranjang sampah kehinaan.
Merusak Sistem
Korupsi merusak sistem dan menipiskan kepercayaan rakyat pada hukum. Hukuman maraknya korupsi, seperti disitir Cak Nur, adalah laknat Tuhan kepada suatu bangsa.
Hal ini terjadi karena rakyatlah yang merasakan kerugian akibat rusaknya sistem karena korupsi.
Di sinilah sanksi sosial masyarakat terhadap koruptor dibutuhkan dan relevan. Kita yang tidak korupsi ikut menanggung azab lantaran rusaknya sistem. Apa tidak memalukan jika sebuah negara yang penduduknya mengaku beragama, ternyata berada di peringkat keenam terkorup di dunia. Peringkat Indonesia pada 2003 sama dengan Kenya.
Di antara negara-negara di Asia yang disurvei, hanya Bangladesh dan Myanmar yang lebih korup dari Indonesia. Artinya, di antara negara-negara anggota ASEAN, Indonesia negara ke-dua terkorup setelah Myanmar yang masih dikuasai diktator rezim militer.
Sedihnya lagi, nilai IPK (Indeks Persepsi Korupsi) Indonesia yang 1,9 ternyata lebih rendah dari negara-negara tetangga seperti Papua New Guinea (2,1), Vietnam (2,4), Filipina (2,5), Malaysia (5,2), dan Singapura (9,4).
Para elite politik Indonesia dinilai masih gagal melakukan upaya-upaya pemberantasan korupsi dan malah asyik berebut kekuasaan. Menarik mengutip pendapat Sekretaris Jenderal TII (Transparency International-Indonesia) Emmy Hafild, bahwa kegagalan elite politik Indonesia melakukan upaya serius memberantas korupsi dapat membahayakan demokrasi. Karena rakyat akan menyalahkan demokrasi atas kesulitan yang dihadapinya. Padahal kesulitan itu disebabkan karena korupsi. Demokrasi yang baru berkembang sekitar lima tahun terakhir seiring dengan munculnya gerakan proreformasi, kini berada dalam bahaya.
Seperti nasion-nasion lainnya, Indonesia lahir dari semangat kebersamaan di tengah pluralitas jatidirinya. Perjalanan itu akhirnya berujung kepada cita-cita mendirikan negara modern dan demokratis, lebih 50 tahun lalu. Sayangnya, cita-cita itu pupus bersama waktu. Elit kekuasaan di masa kemerdekaan yang muncul silih berganti menentukan pilihan politiknya sendiri yang otoriter dan mempraktikkannya melalui sistem yang korup dan represif. Selama 32 tahun, Pemerintah Orde Baru menciptakan tafsir tunggal bahasa kekuasaan yang hanya bisa dipahami dan dibenarkan sang penguasa. Tindakan bertahun-tahun ini mengakibatkan krisis multidimensional dan ancaman disintegrasi yang kini harus kita tanggung bersama. Parahnya, korupsi justru semakin marak. Tentu saja kondisi buruk ini hanya melahirkan bom waktu yang bisa melenyapkan nama Indonesia dari buku besar sejarah bangsa-bangsa.
Paradigma baru yang berkembang selama perjuangan menegakkan reformasi di berbagai bidang dalam beberapa tahun terakhir, membuat kita tidak bisa menyerahkan begitu saja penyelesaian persoalan-persoalan besar bangsa ini kepada pemerintah semata. Apalagi, reformasi ternyata memiliki ironinya sendiri.
Jebolnya sumbat demokrasi yang sudah bertahan sekian lama, membuat kita sulit melakukan kanalisa- si terhadap membanjirnya aspirasi yang muncul. Rakyat, dalam makna yang luas, ternyata juga berbakat men-jadi tiran dan mengembangkan otoritarianismenya sendiri.
Menyambut Hari Pahlawan 10 Nopember, marilah kita mengukuhkan kembali tekad untuk memerangi korupsi di Indonesia. Rakyat pun bisa menjadi pahlawan dalam kehidupan sehari-hari, yakni pahlawan antikorupsi. Caranya gampang. Kita bisa mulai belajar menegakan sanksi sosial bagi para koruptor, sebagaimana dicontohkan saudara-saudara kita di Bali. Dengan begitu, kita pun tergolong sebagai pahlawan pembangunan masa depan Indonesia. (Rachmat H. Cahyono, pengarang dan pemerhati masalah sosial budaya.)
Tulisan ini diambil dari Suara Pembaruan, Tanggal 6/11/2003