NU Larang Ulama Salatkan Jenazah Koruptor
Nahdlatul Ulama menegaskan bahwa fatwa larangan mensalatkan jasad koruptor sebenarnya tak berlaku bagi semua muslim. Larangan tersebut hanya berlaku bagi pemimpin agama, yakni ulama dan kiai. "Para ulama sebaiknya tidak ikut. Cukup keluarganya saja," kata Sekretaris Jenderal Katib Aam Nahdlatul Ulama Malik Madani kepada Tempo kemarin.
Menurut Malik, di kalangan Nahdlatul Ulama, larangan mensalatkan koruptor oleh kiai telah menjadi keputusan musyawarah nasional. Tujuannya, kata dia, sebagai sanksi sosial bagi keluarga almarhum, yang dianggap melakukan pidana berat.
Malik menjelaskan, di sejumlah tempat yang warna Islamnya kental, tak ikut sertanya pemimpin umat mensalatkan jenazah merupakan pukulan tersendiri bagi keluarga. "Keluarga bisa malu kalau kiai tak ikut mensalatkan."
Keputusan tersebut, kata Malik, tidak diambil tanpa dasar kuat. Para ulama Nahdlatul Ulama meniru Nabi Muhammad, yang enggan ikut mensalatkan salah seorang sahabatnya yang wafat dalam Perang Khoibar.
Saat itu, kata Malik, Nabi mengetahui bahwa sahabat tersebut menggelapkan harta rampasan perang atau ghulul. "Ghulul itu korupsi dalam pengertian sekarang," ujarnya. Akhirnya Nabi menyuruh para sahabat mensalatkan almarhum, tapi dia tak ikut mensalatkannya.
Setelah menunaikan salat, Malik melanjutkan, para sahabat memeriksa saku almarhum, dan menemukan manik-manik seharga 2 dirham yang berasal dari rampasan perang. "Bahkan, karena mencuri 2 dirham saja, Nabi tak mau mensalatkan," ujar dia. Menurut Malik, sikap ini berarti tidak menoleransi korupsi sekecil apa pun.
Sikap Nahdlatul Ulama itu diungkapkan menyusul terbitnya buku berjudul Koruptor Itu Kafir: Telaah Fiqih Korupsi dalam Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama, yang diluncurkan Rabu lalu. Editor buku ini adalah salah satu kandidat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni Bambang Widjojanto.
Mantan Ketua Umum Muhammadiyah Buya Ahmad Syafi'i Ma'arif menilai fatwa Nahdlatul Ulama itu merupakan tindakan yang berani. "Mungkin tidak semua orang setuju, tapi itu berani," katanya.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar enggan mengomentari fatwa itu dengan alasan tak terlalu paham soal keagamaan. "Supaya tidak salah, saya tidak mau komentar," ujarnya. "Sudahlah, jangan terlalu membenci suatu kelompok. Belum tentu kita lebih baik dari orang itu." ANTON SEPTIAN | ADISTI DINI | MUTIA RESTY
Sumber: Koran Tempo, 20 Agustus 2010