Nasib Program Pemberantasan Korupsi
Agenda pemberantasan korupsi sedang berada di ujung tanduk.Setidaknya, hal itu dapat ditelisik dari tidak jelasnya nasib Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Pengadilan Tipikor).
Bahkan setelah pertemuan antara unsur pimpinan DPR dengan pemerintah (27/5), ketidakjelasan tersebut semakin nyata karena RUU Tipikor tidak termasuk di antara RUU yang dikonsultasikan untuk disahkan sebelum berakhirnya masa bakti DPR 2004–2009. Padahal, jika dibandingkan dengan RUU yang dikonsultasikan, RUU Tipikor jauh lebih urgen untuk diselesaikan pada periode sekarang.
Akankah tahun ini menjadi petaka dalam agenda pemberantasan korupsi yang ditandai dengan matinya lembaga extraordinary yang lahir sebagai anakanak Reformasi? Pertanyaan itu begitu masuk akal karena keniscayaan pemberantasan korupsi menjadi ternisbikan dengan melelehnya komitmen untuk mempertahankan, misalnya Pengadilan Tipikor. Tidak hanya itu, dalam rangka revisi UU Tindak Pidana Korupsi, muncul gagasan untuk menerapkan hukuman percobaan bagi pelaku korupsi.
Pengadilan Tipikor
Sejauh ini,Pengadilan Tipikor menjadi fenomena baru pemberantasan korupsi. Memang, tidak semua pihak yang peduli dan fokus terhadap agenda pemberantasan korupsi puas dengan performa Pengadilan Tipikor.Namun bagaimanapun Pengadilan Tipikor mampu memberikan pesan bahwa tidak ada toleransi bagi mereka yang menjadi terdakwa korupsi.
Dibandingkan dengan pengadilan umum, Pengadilan Tipikor jauh lebih menakutkan. Buktinya, tidak ada pelaku korupsi yang bisa berkelit dari hukuman. Bahkan menilik hukuman yang dijatuhkan, Pengadilan Tipikor lebih memberikan rasa takut dibandingkan pengadilan umum.
Karena merasa tidak nyaman dan terancam, sejak semula banyak kalangan mulai mempersoalkan keberadaan Pengadilan Tipikor ke Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu isu pokok yang dipersoalkan menyangkut dasar pembentukan Pengadilan Tipikor yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No 30/2002).
Sebagaimana dinyatakan Pasal 53, atas dasar UU No 30/2002 dibentuk Pengadilan Tipikor yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan KPK. Celakanya, argumentasi yang mempersoalkan dasar hukum Pengadilan Tipikor diamini MK.
Benar adanya,putusan MK yang dibacakan pada 19 Desember 2006 tersebut tidak serta-merta membunuh eksistensi Pengadilan Tipikor karena dalam tenggat waktu paling lama tiga tahun (batas akhir pada 19 Desember 2009) DPR dan Presiden harus membuat Pengadilan Tipikor dengan undang-undang tersendiri.Sekiranya dalam tenggat waktu itu DPR dan Presiden gagal membentuk undang-undang tersendiri, penyelesaian kasus-kasus korupsi yang disidik KPK akan ditangani pengadilan umum.
Pada awalnya, tenggat waktu tiga tahun tersebut dinilai cukup untuk menuntaskan atau menindaklanjuti putusan MK. Namun karena political will Presiden dan DPR yang makin tergerus dalam agenda pemberantasan korupsi, sampai saat ini tidak terlihat tandatanda bahwa RUU Pengadilan Tipikor akan selesai sampai garis waktu menyentuh tapal batas akhir masa jabatan DPR periode 2004–2009.
Dalam kasus ini, saya sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa Presiden dan DPR merupakan pihak yang paling bertanggung jawab. Rasanya, tidak mungkin Presiden dan DPR tidak menyadari dan mengetahui bahwa menghilangkan eksistensi Pengadilan Tipikor sama dengan membunuh KPK.
Bisa jadi,meluruhnya keinginan memenuhi tenggat waktu tiga tahun yang diamanatkan MK secara umum mencerminkan ketidaknyamanan pemerintah dan anggota DPR dengan sepak terjang Pengadilan Tipikor. Membaca kondisi yang ada saat ini, sulit berharap DPR untuk menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor.
Selain meluruhnya political will, mayoritas mereka yang diberi tugas menyelesaikan RUU Pengadilan Tipikor mendapat hukuman dari masyarakat, yaitu dengan tidak dipilih lagi sebagai anggota DPR periode 2009–2014.Dengan kondisi seperti itu, anggota DPR periode 2009–2014 seharusnya menempatkan RUU Pengadilan Tipikor sebagai agenda pertama dan utama yang harus diselesaikan dalam bulan pertama mereka dilantik.
Jika mereka mau melakukan langkah itu, tentu kita boleh berharap bahwa akan ada semangat baru dalam agenda pemberantasan korupsi di DPR. Selain itu, penyelesaian RUU Pengadilan Tipikor dapat menjadi rujukan awal untuk membedakan antara anggota DPR periode 2004–2009 dan anggota DPR periode 2009–2014 dalam kelanjutan agenda pemberantasan korupsi.
Rujukan awal tersebut begitu penting karena dukungan lembaga legislatif menjadi salah satu faktor penting dalam keberhasilan agenda pemberantasan korupsi. Sekiranya anggota DPR periode 2009–2014 tidak mampu menyelesaikannya selama bulan pertama mereka dilantik, nasib Pengadilan Tipikor harus diserahkan kepada ruang darurat yang disediakan dalam UUD 1945.Pasal 22 UUD 1945 menyatakan:
dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa,Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (perppu). Menilik bahaya korupsi, klausul “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” amat sangat terpenuhi untuk menerbitkan perppu guna menyelamatkan Pengadilan Tipikor.
Hukuman Percobaan
Selain RUU Pengadilan Tipikor, sedang dipersiapkan pula revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).Salah satu argumentasi dasar, revisi dimaksudkan untuk menyesuaikannya dengan beberapa substansi yang terdapat dalam United Nation Convention Agains Corruption (UNCAC).
Namun dari draf versi pemerintah terlihat adanya upaya untuk mengurangi kewenangan KPK dengan cara merumuskannya secara tersamar.Kalau hal ini tidak diwaspadai, revisi UU Tipikor bisa menjadi jalan lain untuk mengamputasi KPK. Selain itu, yang cukup mencengangkan, munculnya gagasan untuk menerapkan hukuman percobaan dalam penanganan kasus korupsi. Gagasan ini sulit diterima akal sehat.
Di samping tidak menumbuhkan efek jera (deterrence effect) dalam pemberantasan korupsi, hukuman percobaan juga berpotensi menimbulkan “perselingkuhan” antara yang tersangkut kasus korupsi dengan penegak hukum (seperti jaksa dan hakim) untuk menjatuhkan hukuman itu.
Selama ini, tidak diberi ruang saja, ada hakim yang berani menjatuhkan hukuman percobaan.Dari hasil penelusuran awal yang dilakukanICW, setidaknya sembilankasus korupsi telah divonis hakim dengan hukuman percobaan.Artinya,kalau gagasan tersebut diakomodasi, jangan-jangan hakim lebih memberikan prioritas pada hukuman percobaan dibandingkan dengan hukuman lain yang lebih menjerakan.
Dengan demikian,gagasan hukuman percobaan seharusnya dibaca sebagai cara lain membiarkan praktik korupsi semakin meruyak di negeri ini. Penjelasan di atas mengisyaratkan kepada kita, negeri ini sedang berhadapan dengan kekuatan yang menggunakan institusi negara untuk melanggengkan praktik korupsi.
Oleh karenanya, jangan pernah lengah dan menyerah dan selalu rapatkan barisan menghadapi mereka yang telah lama berupaya hendak menghancurkan agenda pemberantasan korupsi.(*)
Saldi Isra, Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Tulisan ini disalin dari Seputar Indonesia, 3 Juni 2009