Moratorium Kunjungan Kerja DPR

Kunjungan kerja kerja anggota Komisi IX DPR RI ke Australia yang menuai cemooh masyarakat luas, semakin menurunkan kepeercayaan publik terhadap agenda studi banding ke luar negeri. Namun anggota DPR sepertinya sudah kebal terhadap kritikan, karena di tengah meluasnya penolakan, mereka tetap saja mengagendakan plesiran dengan uang rakyat berkedok studi banding guna pembahasan legislasi.

"Harus diberlakukan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri. paling tidak, sampai DPR mampu merumuskan akuntabilitas dan transparansi pertanggung jawaban hasil studi banding," ujar peneliti Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan, di sekretariat ICW, Kalibata Timur IV/D Jakarta, Rabu (11/5/2011).

Menurut Abdullah, selama ini banyak terjadi penyimpangan anggaran studi banding karena minimnya akuntabilitas kinerja dan anggaran. Berikut petikan wawancara Farodlilah dari antikorupsi.org dengan Abdullah:

DPR tidak transparan dalam hal apa?

Minimnya transparansi dapat dilihat dari tidak terbukanya informasi mengenai hasil dan anggaran studi banding. Anggota DPR yang melakukan kunjungan kerja ke luar negeri tidak menyampaikan hasilnya secara terbuka ke publik. Untuk mendapatkannya, publik harus mengajukan surat permintaan kepada DPR. Pengalaman ICW, agak sulit mengakses data itu. Surat permintaan informasi sempat ditolak, dan perkara itu akhirnya dibawa ke ranah sengketa informasi publik ke Komisi Informasi Pusat (KIP). Setelah proses mediasi, DPR akhirnya memberikan salinan hasil kunjungan kerja ke Inggris, Turki, dan sejumlah negara lainnya, tapi tidak memberikan laporan penggunaan anggaran.

Setiap kunjungan ke luar negeri, DPR selalu terlihat "kucing-kucingan", seakan tak ingin diketahui publik?

Ya, hal itu terjadi akibat transparansi juga sangat minim dalam perencanaan. Tidak ada semacam standar operasional yang mengatur tentang rencana kerja itu. Seharusnya, DPR bersikap terbuka dalam rencana kunjungan kerja, di dalam maupun luar negeri, dengan cara, misalnya, mengumumkan agenda kunjungan sejak beberapa minggu sebelumnya.

Di beberapa negara, DPR juga seringkali tidak mempertimbangkan waktu kunjungan. Misalnya, kunjungan ke parlemen Australia di masa reses...

Inilah salah satu dampak tidak adanya prosedur itu. Pada akhirnya, kunjungan kerja seakan-akan tidak direncanakan dengan baik.

Selain itu, seringkali pemilihan negara tujuan studi banding tidak relevan dengan dengan legislasi yang sedang dibahas. Mendiskusikan RUU fakir miskin, mengapa menengok ke Australia yang kaya?

Nah, pada akhirnya, publik kemudian mempertanyakan motif kunjungan keluar negeri. Apalagi, dalam berbagai pemberitaan disebutkan para anggota dewan itu turut membawa anak-istri mereka.

Dari sisi anggaran?

Dilihat dari dimensi anggaran, biaya untuk studi banding ini sangat besar dan tidak efisien. Hitung saja, berapa anggaran negara yang dikuras jika setiap kunjungan kerja menghabiskan biaya antara Rp 800 juta hingga Rp 1 miliar. Dan tidak tertutup kemungkinan, terjadi penyelewengan anggaran memalui kodus penggandaan mata anggaran (double budget). ICW telah melaporkan dugaan korupsi dalam kunjungan kerja anggota Komisi VIII DPR periode lalu ke Makkah menggunakan dana jamaah yang terkumpul dalam Dana Abadi Umat (DAU) kepada Badan Kehormatan. Bukan tidak mungkin modus semacam ini kembali terjadi.

Selain itu, semakin seringnya kunjungan ke luar, akan semakin mengurangi waktu kerja anggota dewan dalam kerja terkait pembahasan legislasi.

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan