MK Harus Segera Sidangkan Uji Materi UU No 20/2003
Jakarta, antikorupsi.org –Negara seharusnya memperhatikan taraf serta kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, sepertinya mandeknya pengujian materi pasal 6 ayat (1), UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas) di Mahkamah Konsitusi (MK) menjadi potret ketidakseriusan negara dalam memperhatikan pendidikan bagi generasi bangsa.
Uji materi ini dimaksudkan untuk memperluas cakupan pendidikan yang harus didapatkan oleh generasi bangsa dalam mengemban pendidikan, yaitu 12 tahun, jelas koordinator nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Abdul Waidl saat menggelar konferensi pers di Kantor Indonesia Corruption (ICW) Kamis, 20/8/2015.
Pendidikan adalah investasi negara, dan bukan menjadi hak segelintir konsumen melainkan seluruh warga Indonesia. Karena pendidikan adalah hak dasar yang seharusnya diselenggarakan negara dan difasilitasi negara sesuai amanat UUD 1945 pasal 31.
Menurut Abdul, pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan. Padahal, pendidikan merupakan bentuk penguatan sumberdaya manusia (sdm), karenanya pendidikan wajib sembilan tahun saja tidak cukup. Oleh karena itu JPPI meminta agar negara dapat mewajibkan setiap warga negaranya untuk mengemban pendidikan dasar 12 tahun, yaitu sampai ke tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA).
“Harapan ini kami tunjukan dengan mengajukan uji materi UU Sisdiknas ke MK, agar ada legalitas dari negara dan jaminan dari negara atas hak pendidikan warga negaranya,” ucapnya.
Rendahnya taraf pendidikan di Indonesia dapat berimplikasi terhadap persaingan ekonomi global. Dalam menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), masyarakat Indonesia tidak memiliki nilai tawar yang baik. Jika diperhatikan jarang ada lowongan pekerjaan yang menerima lulusan SMP, minimal SMA atau sederajat.
Jika dilihat data yang dimiliki JPPI pada tahun ajaran 2012/2013 sebanyak 352.673 siswa, SMP 134.824 siswa, dan SMA 167.262 siswa mengalami putus sekolah. Demikian pula siswa yang tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya. Sebanyak 1.070.259 lulusan SD tidak melanjutkan ke SMP (24,68%), sebanyak 40.000 siswa lulusan SMP tidak melanjutkan ke SMA/SMK, dan sebanyak 1.303.768 lulusan SMA/SMK tidak melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
Data siswa sekolah di Indonesia
No. |
Keterangan |
JenjangPendidikan |
||
1 |
Putus Sekolah |
SD |
SMP |
SMA/SMK |
Jumlah |
352.673 siswa |
134.824 siswa |
167.262 siswa |
|
Persentase |
1,28% |
1,44% |
2,13% |
|
2 |
LulusanTidakMelajutkan |
SMP |
SMA/SMK |
PT |
Jumlah |
1.070.259 |
40.000 |
1.303.768 |
|
Persentase |
24,68% |
1,38% |
53,23% |
Di sisi lain, dalam kurun 3 tahun (2011-2013), anak-anak dengan rentang usia dibawah 15 tahun memiliki angka buta huruf berkisar antara 5,46-7,56%. Sedangkan usia di atas 45 tahun memiliki angka buta huruf yang sangat besar dari 18,15% tahun 2011 menjadi 15,15% pada tahun 2013. Dan di atas usia 45 tahun tentu di dalamnya ada angkatan kerja produktif.
Selain faktor tingginya angka putus sekolah baik itu SD, SMP, dan SMA yang menjadi potret pendidikan di Indonesia, ketersediaan lembaga sekolah juga harus diperhatikan oleh pemerintah. Saat ini, ketersediaan sekolah yang difasilitasi negara (sekolah negeri) hanya 30%, sedangkan swasta beranjak dua kali lipatnya yaitu 60%.
“Faktor struktural itulah yang membuat banyak warga negara tidak bisa bersekolah atau melanjutkan sekolah. Karena biaya sekolah sangatlah mahal,” tuturnya.
Selain itu, letak geografis juga menjadi kendala yang tidak terpecahkan khususnya bagi mereka yang berada di pelosok kabupaten. Bukan hanya itu, faktor sosial budaya juga masih terbentur oleh ego para orang tua yang berfikir bahwa dengan sekolah tidak akan membawa perbaikan ekonomi dan akhlak yang mumpuni.
Sementara itu kuasa hukum JPPI Ridwan Darmawan, menyatakan bahwa dalam pasal 6 ayat 1 wajib belajar adalah 7-15 tahun, sehingga mungkin keluar kebijakan wajib belajar sampai SMP. Dalam hal ini JPPI ingin mengubah wajib belajar menjadi 7-18 tahun. “Jika dilihat dari rata-rata umur maka pendidikan yang harusnya diwajibkan adalah sampai jenjang SMA,” tegasnya.
Dia menyayangkan jarak antara sidang pendahuluan terhadap sidang lanjutan dalam uji materi ini memakan waktu hampir setahun lamanya. MK dinilai terlalu bermuatan politis dalam memilah uji materi yang berkaitan dengan partai, pilkada, dan kasus sengketa lainya. Seharusnya hal ini tidak terjadi melihat urgenisitas perubahan pasal tersebut sangat berpengaruh terhadap hajat hidup warga negara.
“Kita masih menunggu. Jika ditolak, MK biasanya menjelaskan bahwa hal ini menjadi kewenangan pembuat UU atau bukan ranah konsitusi membahas hal ini. Tapi sampai saat ini masih menggantung,” keluhnya.
Salah satu wali murid, Ibu Ela, menyatakan, pemerintah telah memiliki program Pendidikan Menengah Universal (PMU) yang didalamnya juga menekankan wajib belajar 12 tahun. Namun belum ada payung hukum yang menjadi landasan negara untuk menjamin hal tersebut.
Tentunya sebagai orang tua dirinya sangat mendukung dan berharap negara segera mengimplementasikannya. Kualitas pendidikan di Indonesai masih sangat rendah, wajib belajar sembilan tahun saja tidak cukup untuk menjadikan anak sebagai produk yang mampu bersaing dalam situasi global. (Ayu-Abid)