Meruntuhkan Korupsi Parlementer
Ditangkapnya anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Al Amin Nasution oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berujung pada upaya penggeledahan ruang kerja Al Amin di gedung DPR. Penggeledahan itu baru terlaksana Senin (28/3) setelah pekan lalu keinginan KPK tersebut terpaksa diurungkan karena ditolak DPR.
Ditangkapnya anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Al Amin Nasution oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berujung pada upaya penggeledahan ruang kerja Al Amin di gedung DPR. Penggeledahan itu baru terlaksana Senin (28/3) setelah pekan lalu keinginan KPK tersebut terpaksa diurungkan karena ditolak DPR.
Aksi cleaning dilakukan KPK untuk menggeledah DPR sebagai lembaga terhormat yang sejak lama dikenal sebagai lembaga yang tak tersentuh hukum. Namun, ada anggota DPR yang sempat menginginkan kekuasaan KPK yang dinilai sudah menjadi lembaga super body itu ditinjau kembali. Bahkan, muncul juga wacana pembubaran KPK.
Dalam era keterbukaan sejak reformasi bergulir, sudah jelas bahwa tak ada lembaga yang sakral dan kebal hukum, termasuk lembaga setingkat parlemen. Sebuah keharusan digeledah guna mewujudkan sebuah sistem negara yang bebas dari tindak penyelewengan berupa korupsi, kolusi, dan transaksi kekuasaan.
Berdasarkan data yang tercatat di Transparansi Internasional (TI), parlemen memang salah satu lembaga yang paling subur dengan tindakan korupsi. Sangat logis kiranya, parlemen sebagai sebuah lembaga yang memiliki kekuasaan dalam melakukan fungsi legislasi dan kontrol atas kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan lembaga eksekutif.
Usaha yang dilakukan KPK selama ini untuk memusnahkan korupsi cukup tepat. Parlemen yang memiliki kekuasaan dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan publik tentu menjadi medium bagi terbukanya keran suap dan budaya sogok, baik dari pihak swasta maupun lembaga eksekutif. Upaya KPK untuk menggeledah parlemen adalah langkah strategis untuk memberantas korupsi yang dikenal surga para koruptor. Parlemen dengan segala kekuasaannya adalah episentrum dari segala tindakan penyelewengan dan penggelapan dana negara.
Kasus suap yang dilakukan anggota DPR atau parlemen tersebut bukanlah yang pertama tercium media. Masih banyak kasus korupsi yang dilakukan anggota dewan di daerah dengan melakukan secara massif dan terorganisasi melalui penyelewengan dana APBD.
Sungguh ironis negeri ini. Di tengah keterpurukan, keterbelakangan, dan kebodohan yang melanda sejagat negeri ini, perilaku elite kita disibukkan pengurasan kekayaan dan harta rakyat untuk kepentingan pribadi. Di manakah moralitas dan sensibilitas kekuasaan akan realitas politik yang kian terpuruk? Bilakah sistem multipartai mengakhiri kebisuan akan ke-jalut-an kuasa?
Metamorfosis Lembaga
Berdasarkan catatan yang ada, secara nasional, tidak kurang dari 300 anggota DPRD terlibat penyelewengan dana APBD, berupa tindak pidana korupsi dan suap. Di antara jumlah itu, sebagian besar sudah berada dalam tahap penyidikan dan penuntutan.
Hampir dapat dipastikan, peran parlemen bermetamorfosis dan fungsi pengawasan menjadi instrumen akumulasi kekayaan semata. Tidak mengherankan jika saat pencalonan, para caleg rela menghamburkan uang dengan harapan saat terpilih mereka bisa mendapat untung yang lebih besar.
Seorang ilmuwan politik berkebangsaan Argentina Atilio Boron pernah menggambarkan bahwa hilir sejarah percaturan politik adalah uang. Hal itulah yang terlihat dalam percaturan politik kita kini. Apalagi menjelang perebutan singgasana kekuasaan April tahun mendatang.
Berpolitik di Indonesia memang ibarat dagang, Bukan politik dalam pengertian modern bahwa politisi hadir sebagai negarawan yang rela bekerja untuk rakyat banyak. Lebih fatal lagi, perilaku korup wakil rakyat seolah diterima sebagai sesuatu yang wajar dan dipertontonkan secara kasar di mata rakyat.
Pasca jatuhnya rezim Orba, suara demokratisasi menjadi tuntutan yang tak tertawarkan sebagai antitesa sistem otoriter. Jika pada masa Orba yang terjadi adalah monovocal, artinya kesatuan sumber kuasa di tangan eksekutif. Parlemen hanya menjadi lembaga dalam kebisuan dan cengkeraman eksekutif belaka.
Sebaliknya Orde reformasi, kekuasaan menjadi polyvocal, yaitu kekuasaan menjadi hak milik semua. Semua pihak berhak menyuarakan kepentingannya di mata publik. Optimalisasi peran trio kuasa adalah tuntutan dari demokrasi sebagai pilar terwujudnya demokrasi yang sehat. Yang menyuguhkan check and balance dalam setiap kebijakan publik.
Tetapi, sewindu lebih orde reformasi yang terjadi adalah pembusukan trio kekuasaan lewat perilaku korupsi dan suap dalam rahim ketiga lembaga kekuasaan. Akhirnya, yang terjadi bukanlah mekanisme check and balance, tapi sharing dan pembagian komisi atau uang transaksi dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan publik. Itulah yang dilakukan Al Amin Nasution.
Singkatnya, tak ada legislasi di tingkat parlemen, tiadanya yudikasi di tingkat lembaga hukum, serta absennya eksekusi di tingkat eksekutif untuk kepentingan rakyat.
Sebaliknya, yang tampak nyata hanyalah transaksi dan eksekusi untuk kepentingan komunal dan elite. Memang, terjadi komunikasi politik di antara ketiganya, tapi sebatas untuk mengabadikan kepentingan masing-masing.
Untuk mengakhiri episode keterpurukan yang diakibatkan hilangnya kredibilitas dan akuntabilitas trio kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), hendaknya bangsa ini menyadari akan kekeliruan laku dan perannya yang didasarkan pada keserakahan dan ketamakan sesaat atas nama diri.
Optimalisasi dan revitalisasi peran kelembagaan adalah sebuah keharusan bagi terbentuknya tatanan kenegaraan yang berkeadilan sosial. Jika tidak, apatisme publik akan menyelimuti hari-hari bangsa ini.
Sukardi Hasan, associate director Freedom Foundation, Jakarta
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 30 April 2008