Menpora: Usut Tuntas Wafid
Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng berharap kasus dugaan penyuapan terhadap sekretarisnya, Wafid Muharam, dapat segera diusut tuntas. Ia dan seluruh jajaran Kemenpora siap bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menuntaskan kasus itu.
”Saya dan jajaran Kemenpora siap bertemu KPK. Kami berharap diusut secara tuntas sehingga jelas mana yang salah dan mana yang benar,” kata Andi, Rabu (27/4) di Istana Negara.
Menurut Andi, yang terpenting dan terkait dengan tugas Kemenpora saat ini adalah memastikan semua persiapan SEA Games tetap berjalan. Semua lini organisasi keolahragaan dapat berjalan baik dengan prinsip-prinsip good governance (tata kelola pemerintahan yang baik). Untuk itu, ia telah mengangkat Deputi Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Kemenpora Joko Pekik Irianto sebagai Pelaksana Harian Sesmen.
Pada Kamis (21/4) KPK menangkap Wafid karena diduga menerima suap dari pejabat PT Duta Graha Indah Mohammad El Idris (MEI) dan Mirdo Rosalina Manulang yang diduga berperan sebagai perantara. PT DGI merupakan pelaksana pembangunan wisma atlet di Palembang, Sumatera Selatan, untuk keperluan SEA Games 2011. Barang bukti tiga lembar cek senilai Rp 3,2 miliar, uang tunai 128.148 dollar AS, 13.070 dollar Australia, 1.955 euro, dan uang Rp 73,171 juta, disita KPK dari ruang kerja Wafid.
Andi menyatakan, sejauh ini persiapan SEA Games tetap berjalan, baik pembangunan sarana pertandingan, penyelenggaraan, maupun persiapan atlet yang akan bertanding. ”Semua persiapan, baik penyelenggaraan maupun persiapan kontingen, kita upayakan sukses,” ujarnya.
Rabu kemarin KPK memeriksa Mohammad El Idris dan Mirdo Rosalina Manulang. Juru Bicara KPK Johan Budi SP mengatakan bahwa keduanya diperiksa sebagai tersangka.
Rosalina datang terlebih dahulu ke Gedung KPK pukul 10.00 dan diperiksa selama enam jam. Ia tidak mau berkomentar. Demikian juga El Idris yang datang pukul 12.45 hanya membisu saat memasuki Gedung KPK.
Mentalitas dan integritas
Ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, berpendapat, tindak pidana korupsi, khususnya suap kepada pejabat, sulit dihilangkan. Pasalnya, suap telah menjadi budaya kekuasaan yang wajar, apalagi didukung mentalitas dan integritas pejabat yang tidak berubah meskipun era terus berganti.
”Sejak Orde Lama sampai era reformasi, integritas/mentalitas suap pejabat negara tidak berubah. Ketaatan regulasi dianggap lebih rendah dengan tradisi upeti kepada pejabat negara. Ini semua yang disebut institutionalized corruption yang merajalela,” kata Indriyanto, Rabu.
Senada dengan Indriyanto, ahli korupsi UI, Akhyar Salmi, juga menilai masih bercokolnya korupsi lebih disebabkan faktor manusia. Sistem yang diperlukan untuk mengenyahkan korupsi sebenarnya sudah memadai, yaitu ada penyidik, penuntut, dan pengadilan khusus untuk menangani korupsi. Bahkan rumah tahanan (rutan) khusus pelaku tindak pidana korupsi pun sudah ada. Namun, ia menilai bukan hanya faktor aparat penegak hukum yang bermasalah, faktor masyarakat yang permisif, sanksi moral yang longgar, dan pergeseran nilai (dari nilai yang abstrak/ideal ke nilai yang bersifat materialistis) memengaruhi hal tersebut.
”Masyarakat memperlakukan orang yang terbukti korupsi dengan hormat. Misalnya, masyarakat tak malu mempersilakan koruptor duduk di depan dalam sebuah acara hanya karena orang tersebut memiliki uang/materi yang disumbangkan. Sanksi moral kita sangat longgar,” ujarnya.
Di tingkat teknis, Akhyar menilai proses hukum yang tidak menimbulkan efek jera lebih disebabkan oleh rendahnya vonis yang diberikan hakim. Vonis yang sudah rendah itu kembali dikorting dengan remisi yang diberikan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena itu, ia mendesak agar remisi untuk pelaku tindak pidana korupsi segera dihapuskan.
Khusus mengenai putusan hakim, ia melihat dalam menjatuhkan vonis, hakim tidak mampu meresapi rasa keadilan yang berkembang di masyarakat. Hakim tidak melihat dampak korupsi yang sedemikian hebat seperti kemiskinan.
Ia menilai hakim cenderung mengedepankan hal-hal yang bersifat yuridis formal, yaitu menjatuhkan hukuman sesuai dengan undang-undang. Mereka lebih mengedepankan kepastian hukum, tetapi mengabaikan keadilan. ”Padahal keadilan jauh lebih tinggi dibandingkan kepastian hukum,” katanya.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Emerson Yuntho mengungkapkan, terulangnya kasus-kasus korupsi, seperti dalam pengadaan barang dan jasa (procurement), ialah wujud kegagalan pemerintah saat ini dalam merumuskan strategi pemberantasan korupsi secara nasional. Akibatnya, pemberantasan korupsi yang terjadi saat ini hanya seperti pemadam kebakaran.
Artinya, penegak hukum akan terus disibukkan dengan penanganan kasus-kasus yang akan terus bermunculan. Ini terjadi akibat tidak adanya upaya pencegahan yang maksimal melalui perbaikan sistem.
Menurut dia, sudah waktunya pemerintah, DPR, dan penegak hukum duduk bersama untuk membicarakan satu paradigma bersama dalam pemberantasan korupsi. (WHY/RAY/ANA)
Sumber: Kompas, 28 April 2011