Menkeu Agus Martowardojo; Lebih Transparan Soal Wajib Pajak Nakal
Menteri Keuangan Agus Martowardojo bertekad melanjutkan reformasi pada Kementerian Keuangan. Munculnya kasus korupsi yang melibatkan aparat Direktorat Jenderal Pajak menunjukkan masih ada yang perlu diperbaiki di sana. Namun, Agus bertekad akan lebih transparan soal wajib pajak yang nakal.
Menkeu Agus Martowardojo sebelumnya adalah Presiden Direktur dan Chief Executive Officer (CEO) PT Bank Mandiri (Tbk). Sejak bergabung lagi tahun 2005 (mundur dari Bank Mandiri tahun 2002), Agus sukses melakukan reformasi dan membuat Mandiri yang tadinya nyaris bangkrut menjadi salah satu yang bank terbaik di Indonesia.
Sejak 20 Mei 2010, Agus ditunjuk sebagai menkeu menggantikan Sri Mulyani Indrawati. Berikut petikan wawancara Menkeu Agus dengan Kompas di ruang kerjanya di Jakarta, Kamis (24/6) lalu.
Belakangan muncul kasus korupsi pajak melibatkan aparat pajak (Gayus Tambunan), terapi apa yang akan dilakukan?
Perpajakan itu sangat penting karena seluruh kegiatan kenegaraan membutuhkan dukungan dana dari perpajakan. Apalagi setengah dari pegawai di Kemenkeu ada di Ditjen Pajak. Transformasi dan reformasi birokrasi di Ditjen dan Kemenkeu dalam lima tahun terakhir sudah berjalan dengan baik.
Kalau ternyata muncul kasus Gayus itu menunjukkan bahwa sistem di pajak ada yang tidak berjalan semestinya dan harus diperbaiki. Itulah yang sedang saya lakukan, yakni meyakinkan bahwa reformasi birokrasi itu masih akan tetap dilanjutkan. Kami akan mengidentifikasi masalahnya lalu melakukan perbaikan, baik dalam sistem, prosedur, maupun sumber daya manusia (SDM). Dan ternyata kasus itu bukan hanya Gayus, tetapi ada juga di Bandung dan Surabaya. Dan saya menegaskan kepada internal di Ditjen Pajak, aparat di Depkeu, lalu semua wajib pajak (WP) bahwa semua kasus ini kami tangani. Kami tidak ingin menutup-nutupi karena ini negara hukum. Orang yang salah harus kita tindak secara hukum dan orang yang tidak salah kami yakinkan bahwa kami menggunakan asas praduga tak bersalah.
Jadi secara umum aparat pajak itu masih oke?
Setelah saya dilantik pada 20 Kamis (20/5), pada hari Senin saya sudah bertemu dengan semua kepala kantor dan direktur di Ditjen Pajak. Saya tegaskan bahwa kasus-kasus seperti Gayus akan diselesaikan hingga tuntas. Kalau ada yang melanggar, harus langsung distop karena kami tidak ingin dalam Ditjen Pajak terus-menerus terjadi penipuan. Kalau pesan itu muncul, maka akan muncul kesan kuat bahwa reformasi akan terus berlanjut.
Sebab ketika saya masih di luar Kemenkeu, saya melihat reformasi birokrasi yang dijalankan sudah mengarah ke tujuan yang benar. Sehingga saya mengajak seluruh aparat di Kemenkeu dan seluruh pemangku kepentingan untuk meneruskan reformasi ini.
Tapi selalu ada intervensi yang menghambat dari luar sistem, terutama dari politik?
Itulah mengapa target pertama saya adalah membangun komunikasi dan memperkuat kepercayaan. Apalagi saya sangat sadar bahwa menkeu adalah jabatan politik. Dengan demikian, sangat penting untuk mengutamakan komunikasi dengan pemeriksa, DPR, hingga penegak hukum. Jadi walaupun dilakukan secara politik, kebijakan yang dibuat saya yakin akan menghasilkan yang positif juga.
Sewaktu di Bank Mandiri, kita harus terus menjaga ketat ketaatan pada peraturan, taat asas, sedangkan di Kemenkeu ini kebetulan fungsi-fungsi koordinasi itu sangat kental. Jadi kami memberikan laporan kepada Presiden, Wakil Presiden, dan untuk fungsi-fungsi tertentu kami juga melaporkan kepada Menko Perekonomian
Hubungan dengan DPR?
Memang prioritas saya adalah memperbaiki komunikasi, diutamakan di dalam internal Depkeu juga. Komunikasi ini akan diperbaiki untuk membangun kepercayaan termasuk dengan DPR
Kini fase sulit dalam penagihan pajak karena mulai menagih pajak dari WP besar. Ada kiat khusus?
Salah satu dari enam fungsi Kemenkeu adalah memastikan penerimaan negara baik. Indonesia ini memiliki potensi yang sangat besar untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di atas yang sudah dicapai saat ini. Bahkan tahun 2014 sudah diputuskan bahwa target pertumbuhan ekonomi 7 persen.
Kalau iklim usaha membaik, para pelaku usaha akan mudah membayar pajaknya. Jadi yang harus dilakukan adalah membangun pajak yang baik, membangun perekonomian yang baik, sehingga WP merasa bahwa institusi dan diri pribadinya bertambah sejahtera. Pada akhirnya dia akan dengan senang hati membayar pajak. Itu pertama.
Kedua, kami ingin menegakkan hukum sehingga tidak perlu ada pengusaha yang satu kakinya disimpan di dalam negeri dan satu kakinya di luar negeri. Dia harus percaya pada sistem di negara kita sehingga semuanya dikonsentrasikan di dalam negeri. Bahwa untuk ke sana kita harus memperbaiki aturannya, cek and balance-nya dan sistem teknologi informasinya. Itu semua akan kami lakukan.
Nah, kalau di saat itu ada WP yang berusaha menghindar (nakal), kami akan memberikan peringatan agar dia kembali taat asas. Namun kalau sudah diingatkan tidak juga mengubah sikapnya, kami harus tindak. Karena kalau tidak ditindak, WP lain merasa tidak fair.
Saya optimistis kalau bisa membangun komunikasi dan kepercayaan, maka WP akan dengan senang hati memenuhi kewajiban pajaknya.
Waktu di Bank Mandiri, nasabah yang nakal diumumkan di media massa, apakah ini akan dilakukan juga di Kemenkeu?
Sekarang saya bekerja di ranah publik sehingga nanti kalau saatnya saya tidak mendapatkan kerja sama yang baik dari beberapa WP, saya malah akan jauh lebih transparan lagi. Karena saya ingin menjunjung asas keadilan dan ini adalah lembaga publik yang memang harus jauh lebih transparan.
Saya ingin tegaskan lagi bahwa tugas mengamankan penerimaan pajak bukan hanya tugas Kemenkeu saja, melainkan tugas semua orang, mulai dari legislatif hingga lembaga swadaya masyarakat.
Berapa rasio pajak yang ideal?
Kalau dilihat APBN 2010, penerimaan pajak itu sebagian besar untuk belanja rutin, sementara belanja modalnya hanya sedikit. Pajak hanya habis untuk membayar anggaran belanja terikat. Padahal sebagian besar kebutuhan yang lebih penting, infrastruktur dan memastikan kenaikan kesejahteraan rakyat masih kekurangan.
Kita baru memiliki tax ratio 11-12 persen, padahal kita punya potensi untuk menaikkannya. Caranya dengan meningkatkan pembayar pajak. Di Indonesia, WP berbadan hukum ada 1,5 juta, tetapi WP pribadi mencapai 16 juta. Dengan demikian, masih banyak pajak individu yang belum tergali. Kalau kita bisa memastikan tidak ada penerimaan pajak yang bocor, tidak ada penipuan, dan kita bisa meningkatkan tax based dengan ekstensifikasi maka perekonomian bisa naik. Infrastruktur bisa dibangun, maka swastanya akan berkembang juga.
Begitu juga sebaliknya, bagi WP yang menghindari pajak (nakal), melakukan pelanggaran restitusi, memanfaatkan kelemahan tax treaty, melakukan transfer pricing, maka kami tidak hanya perlu memberinya peningkatan kompetensi, juga menyuntikkan nilai-nilai dan etika sehingga bisa memiliki dedikasi yang tinggi.
Insentif pajak dan penerimaan pajak dua kebijakan yang berlawanan. Apa yang bisa dilakukan?
Kita harus melihat apa yang sudah dapat kita capai selama ini, misalnya pertumbuhan ekonomi 5 persen, lalu masalah fiskal yang sehat dilihat dari pengelolaan utang, di mana debt ratio turun dari 90 persen ke 27 persen. Lalu lihat cadangan devisa yang mencapai 70 miliar dollar AS, institusi perbankan memiliki rata-rata modal 19 persen, dan NPL yang rata-rata di bawah 5 persen. Kami menjaga agar ini berkesinambungan. Artinya jangan sampai hanya 2-3 tahun dan jatuh lagi.
Jadi keseimbangan antara insentif pajak dan penerimaan pajak harus dilakukan secara seimbang. Dengan menjaga agar tidak ada kebocoran, maka penerimaan pajak kita akan baik. Kami akan meyakinkan semua WP ke depan tidak ada lagi pelanggaran pajak sehingga mereka bersedia membayar pajak secara patuh. Tidak ada lagi transfer pricing, menjual ke suatu negara dengan harga murah, lalu dijual ke pembelinya dengan harga lebih mahal. Ini sudah berlangsung lama, apa kita tidak bisa memberikan keyakinan kepada WP agar tidak lagi melakukannya. Kita punya aturan pajak yang baik.
Jadi kita boleh saja memberikan stimulus, tapi jangan korbankan fiskal dan moneter.
Oleh Orin Basuki dan Pieter P Gero
Sumber: Kompas, 29 Juni 2010