Menimbang Kualitas Politis Anggota DPR
Meskipun kualitas sosiologis anggota DPR periode 2009-2014 cukup tinggi, sosok baru anggota Dewan ini belum menunjukkan kualitas politis yang memadai.
Menyitir penjelasan Daniel Dhakidae di dalam buku Wajah DPR Pemilu 1999, kualitas politis di sini menunjuk pada tingkat pencapaian fungsi legislatif DPR sebagai lembaga yang bekerja untuk rakyat. Dalam fungsi menghasilkan undang-undang, misalnya, tingkat pencapaian DPR tak hanya dilihat dari jumlah UU yang telah dikeluarkannya, tetapi juga perlu diperiksa apakah isi UU itu telah membuka peluang bagi demokrasi dan pemberdayaan masyarakat atau belum.
Setali tiga uang dengan fungsi mengawasi kinerja pemerintah. Kualitas politis bisa ditunjukkan dengan kemampuan anggota DPR menguasai persoalan yang sedang dikerjakan pemerintah dan mengolahnya untuk memenuhi kepentingan, tidak hanya partai politik yang diusungnya tetapi juga nasib bangsa dan konstituen yang memilihnya.
Kajian Litbang Kompas memperlihatkan bahwa kualitas sosiologis anggota Dewan periode ini cukup tinggi. Kualitas sosiologis ini ditunjukkan oleh bingkai makro, seperti tingkat pendidikan, komposisi jender, komposisi umur, dan pekerjaan mereka sebelum terpilih sebagai anggota DPR. Pada level pendidikan, sebagian besar (90,6 persen) anggota berpendidikan tinggi setingkat sarjana, bahkan 41,1 persen telah mencapai pascasarjana, baik tingkat master maupun doktoral.
Sementara itu, komposisi usia memberi gambaran bahwa bagian terbesar anggota DPR bertumpu pada usia sangat produktif, 25-50 tahun. Identitas produktif ini masih diperkuat dengan latar belakang pekerjaan yang mereka geluti sebelumnya. Bagian terbesar (56,7 persen) anggota DPR saat ini merupakan wajah baru yang berasal dari sektor swasta dengan ragam pekerjaan seperti kaum profesional, wiraswasta, hingga karyawan swasta. Sektor swasta ini dalam beberapa hal kerap diidentikkan dengan kalangan independen dari penguasaan pemerintah.
Namun, kualitas sosiologis yang tinggi tersebut tampaknya belum diiringi dengan kualitas politis anggota DPR dalam mengontrol kinerja pemerintah ataupun mengemban amanat menyuarakan aspirasi masyarakat yang diwakilinya.
Pansus Century
Persoalan paling aktual untuk menimbang kualitas politis anggota DPR saat ini adalah pembahasan skandal Bank Century yang dilakukan Panitia Khusus DPR tentang Hak Angket Century (Pansus Century). Melalui berbagai sidang Pansus yang menghadirkan beberapa pejabat negara ataupun pemilik bank dan disiarkan langsung oleh stasiun televisi, memungkinkan masyarakat menilai kapasitas dan keseriusan anggota Pansus mengungkap skandal Century.
Signifikansi persoalan ini tergambar dari intensitas masyarakat dalam mengikuti pemberitaan kasus Bank Century di media massa. Jajak pendapat Litbang Kompas terhadap 808 responden di 10 kota memperlihatkan bagian terbesar responden (93,1 persen) mengikuti pemberitaan kasus ini di media massa dengan tingkat intensitas berbeda, mulai dari selalu mengikuti, sering, dan jarang mengikuti.
Antusiasme masyarakat untuk mengikuti pembahasan kasus ini diperkuat dengan persetujuan sebagian besar responden atas pembentukan Pansus Century. Seperti ditunjukkan hasil jajak pendapat ini yang memperlihatkan bagian terbesar responden (81,6 persen) menyetujui pembentukan Pansus Century. Hal ini menunjukkan masyarakat berharap anggota Pansus Century dapat melakukan fungsinya sebagai pengawas kinerja pemerintah.
Sayangnya, harapan masyarakat ini tampaknya belum dapat dipenuhi secara maksimal oleh anggota Pansus. Terbukti, lebih dari separuh responden (63,4 persen) menyatakan ketidakpuasannya atas kinerja Pansus. Ketidakpuasan ini sangat mungkin berkait erat dengan perilaku dan kapasitas anggota Pansus.
Dalam beberapa kali sidang, beberapa anggota Pansus memperlihatkan perilaku yang bertentangan dengan kedewasaan berdemokrasi. Alih-alih mempertajam pembahasan materi, beberapa orang justru saling memaki dengan kalimat tidak pantas. Wajar jika kemudian separuh responden (54,6 persen) menyatakan perilaku anggota Pansus selama sidang ini buruk.
Selain perilaku, kapasitas anggota Pansus dalam penguasaan persoalan dan memperjelas kasus ini pun masih diragukan. Pernyataan ini juga tecermin dari penyikapan responden terhadap sidang pembahasan anggota Pansus dari tiap partai politik, apakah telah memperjelas atau justru mengaburkan pengungkapan kasus ini. Hasil jajak pendapat ini menunjukkan bahwa proporsi responden yang lebih besar menyatakan anggota Pansus dari tiap partai politik justru mengaburkan pengungkapan kasus Century. Baik partai pendukung utama pemerintah seperti Partai Demokrat maupun partai-partai pendukung lain, yang dalam Pansus ini mencoba bersikap kritis seperti PKS, PAN, PKB, dan PPP, dinilai cenderung mengaburkan pengungkapan skandal ini. Bahkan, partai oposisi seperti PDI-P pun dianggap memiliki kualitas yang serupa (lihat Grafik).
Kepentingan uang
Citra anggota DPR yang kerap terpuruk karena kasus-kasus KKN masih melekat di benak masyarakat, terutama sejak Komisi Pemberantasan Korupsi gencar melaksanakan operasinya. Tentang kasus korupsi, tiga perempat responden (76,1 persen) menyatakan tegas bahwa anggota DPR belum terbebas dari praktik KKN.
Dalam kaitan dengan kasus Century, responden jajak pendapat ini bersikap pesimistis bahwa Pansus Century nantinya akan menghasilkan keputusan yang bebas dari kepentingan uang ataupun politik sempit. Kualitas politis anggota Pansus dan anggota DPR umumnya dinilai publik masih sebatas memperjuangkan kepentingan diri pribadi ataupun partai pengusungnya.
Seperti dinyatakan oleh separuh lebih responden (59,5 persen), mereka tidak yakin Pansus ini akan membuat keputusan yang bebas dari kepentingan uang. Selain uang, anggota Pansus juga dinilai sarat dengan kepentingan politik sempit, sebagaimana diutarakan oleh 63,5 persen responden.
Bagaimanapun, sepak terjang Pansus dapat menjadi jendela bagi masyarakat untuk menilai kembali apakah aspirasi mereka telah disuarakan oleh wakilnya. Dalam kaitan ini, jajak pendapat ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden (76,1 persen) tidak merasa terwakili aspirasinya. (LITBANG KOMPAS-Oleh BI PURWANTARI)
Sumber: Kompas, 25 Januari 2010