Mendiknas Tak Perlu Wakil
Usulan Kebijakan Strategis untuk Mendiknas baru
Teka-teki terjawab sudah. Untuk masa pemerintahan 2009-2014 presiden SBY telah memilih Muhammad Nuh sebagai menteri pendidikan nasional. Mantan menteri komunikasi dan Informatika ini akan menentukan haru birunya departemen yang sangat bertanggungjawab dalam membangun karakter bangsa dan memajukan negara. Berpijak pada anggapan itulah koalisi pendidikan mencoba menyusun rekomendasi dan semacam pekerjaan rumah titpan agenda dan kebijakan dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia selama lima tahun ke depan.
Melalui konferensi pers yang bertempat di kantor Indonesian Corruption Watch (ICW) di Kalibata Timur Selasa, 27 Oktober 2009, Koalisi Pendidikan yang diwakili oleh Lodi Paat selaku koordinator, Bambang Wisudo (Sekolah Tanpa Batas), Roy Salam (Indonesian Budget Center), Jumono (Aliansi Orangtua Peduli Pendidikan), Ade Irawan (ICW) dan Fitri Sunarto (Lembaga Advokasi Anak Marjinal), mengajukan usulan-usulan kebijakan strategis pendidikan nasional guna meningkatkan pendidikan di Indonesia dalam kinerja Menteri Pendidikan yang baru, Muhammad Nuh.
Usulan tersebut setidaknya menyoroti delapan permasalahan di dalam dunia pendidikan di Indonesia, antara lain usulan mengenai komersialisasi pendidikan, pengkajian ulang mengenai standardisasi, anggaran pendidikan, penyelenggaraan sekolah gratis, kesejahteraan guru, korupsi di dunia pendidikan pendidikan, reformasi birokrasi, serta kekerasan dan hak anak dalam pendidikan. Usulan tersebut diajukan kepada menteri pendidikan yang baru terkait dengan kinerja Menteri Pendidikan Nasional yang lalu, yang dinilai gagal setidaknya dalam delapan hal tersebut di atas.
Salah satu hal utama yang dinilai penting untuk segera dilakukan di bidang pendidikan adalah reformasi birokrasi. Mendukung hal ini Koalisi Pendidikan juga tidak menyarankan adanya seorang wakil menteri. “Tidak perlu ada wakil menteri, karena strukturnya sudah gemuk. Pengadaan wakil menteri hanya pemborosan. Yang penting adalah keterbukaan informasi publik karena menteri yang lalu cenderung untuk tidak membuka ruang bagi masukan publik.” tutur Ade Irawan.
Mengenai pendidikan gratis, pemerintah diharapkan jangan hanya membangun imaji yang baik dalam menyelenggarakan pendidikan gratis melalui iklan di media massa, namun kenyataannya pendidikan yang terjangkau pun tak berhasil terlaksana di Indonesia. “Anggaran jangan untuk iklan saja. Sebaiknya diprioritaskan terutama agar pendidikan tidak membebankan peserta didik, untuk membangun gedung sekolah yang baik, penyediaan buku-buku, tanpa melupakan kesejahteraan guru juga.”, demikian diungkapkan Roy Salam. Selain itu, alokasi anggaran pendidikan agar jangan mendukung penguatan birokrasinya, tetapi juga secara riil harus berjalan keberlangsungannya bagi seluruh stakeholder dalam dunia pendidikan, seperti guru maupun sekolah. Tentunya disertai dengan akuntabilitas, transparansi dan bebas korupsi, serta sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah.
Selain itu, mengenai standardisasi pendidikan, sebaiknya Koalisi Pendidikan mengusulkan agar Ujian Nasional dihapuskan. Ujian Nasional harus dikaji ulang dengan lebih rasional dengan standar yang beragam dan kesukarelaaan karena karakteristik peserta didik yang beragam sehingga tidak bisa diukur dengan sebuah tes. Namun, ujian-ujian seharusnya digunakan untuk pemetaan kemampuan peserta didik yang beragam tersebut”, kata Bambang Wisudo.
Dalam 100 hari ke depan, Koalisi Pendidikan memprioritas pentingnya pendidikan yang bebas dari kekerasan, termasuk di dalamnya antara lain kekerasan guru terhadap murid, senior kepada junior, dan sebagainya. Selain itu juga perlu dituntaskannya agenda wajib belajar dengan menjamin aksesibilitas pendidikan oleh peserta didik. Hal ini juga terkait dengan fokus yang ketiga, mengenai komersialisasi pendidikan. Menteri Pendidikan Muhammad Nuh diharapkan menempatkan kembali pendidikan sebagai barang publik yang bisa diakses oleh semua kelompok warga. Hal-hal yang menghambat aksesiblitas pendidikan seperti pembiayaan sebaiknya diambil alih oleh pemerintah. Selain itu kebijakan yang mengarah kepada komodifikasi pendidikan, seperti UU BHP, tata niaga buku teks pelajaran, dan kastanisasi sekolah, agar dihapuskan. [Olivia Hutagalung-Abid]