Menanti Golden Period KPK
Setelah beberapa hari mengundang pertanyaan berbagai pihak,akhirnya Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diketahui ditahan.Awalnya, Kejaksaan Agung mengumumkan surat pencekalan untuk Antasari karena menurut Bareskrim Mabes Polri,Antasari sudah berstatus tersangka.
Apakah dengan demikian, pemberantasan korupsi dan KPK berarti kiamat? Tunggu dulu. Antasari adalah satu hal, sedangkan KPK merupakan aspek lain yang jauh lebih besar dan jauh lebih penting dibanding perorangan mana pun. Di titik inilah publik harus disadarkan bahwa kasus yang menimpa Ketua KPK nonaktif tersebut hanyalah persoalan personal.Apalagi, kita sangat mengerti, ada empat pimpinan lain di institusi tersebut dan ratusan pegawai yang dapat membuat KPK tetap berdiri di garis depan dalam pemberantasan korupsi.
Penumpang Gelap
Dalam pembicaraan ICW dan Koalisi ketika menyambangi Pimpinan KPK, Senin (4/5), kerisauan dan kekhawatiran proses hukum AA akan ditelikung oleh berbagai pihak menjadi persoalan krusial. Sejumlah pihak yang sangat berkepentingan dengan “kematian KPK”, tentu sangat mungkin melakukan upaya delegitimasi dan pelemahan. Ada dua skenario sederhana yang patut dicermati. Pertama, dengan merusak kepercayaan publik.
Wacana diarahkan pada perusakan citra KPK. “Ternyata, institusi seperti KPK pun bahkan diisi oleh orang yang mentalitas dan moralnya dipertanyakan,” kurang lebih demikian. Hal ini akan menjadi satu titik awal proses pembusukan KPK. Trust atau kepercayaan publik menjadi sasaran terbesar bagi kelompok yang menginginkan KPK tiada. Karena itulah, ICW memintas potensi “penumpang gelap” tersebut. Kunjungan dan sharing dengan pimpinan KPK pada Senin lalu merupakan satu bentuk penegasan bahwa KPK tidak sendiri.
Dan publik masih terus membutuhkan institusi seperti ini untuk tetap tegar dan konsisten memberantas korupsi. Bahkan, bukan tidak mungkin KPK lebih baik tanpa Antasari Azhar. Kedua, ”penumpang gelap” diduga justru berada di kubu Antasari Azhar. Hal ini sempat mengemuka ketika pihak pengacara menyatakan terdapat skenario besar dibalik proses hukum terhadap Ketua KPK tersebut.Argumentasi yang ingin dibangun, penangkapan Antasari justru ditujukan untuk menghancurkan KPK. Hal itu dilakukan oleh gerakan yang disebut ”Corruptor Fight Back”.
Ketika KPK sedang giat memberantas korupsi,menyeret sejumlah anggota DPR, maka ada pihak yang tidak senang dengan KPK dan kemudian menyerang ketua institusi ini.Mereka ingin mengatakan, Antasari Azhar adalah pahlawan dibalik kasus-kasus korupsi yang dibongkar KPK Jilid II sejak Januari 2008. Sepintas dua skenario di atas masuk akal.Namun,ICW mencoba tidak mempercayai bahkan melawan kedua deskripsi di atas.Karena pada dasarnya, dua pihak tersebut ingin KPK hancur.
Atau khusus yang kedua,mereka ingin Antasari Azhar diselamatkan karena ia pernah menjadi Ketua KPK. Ketenaran KPK dan harapan publik terhadap institusi ini dimanfaatkan untuk menguntungkan klien mereka. Padahal, kalaupun pemberantasan korupsi sempat cukup baik di KPK,tidak adil rasanya jika penghargaan tersebut diberikan pada satu orang. Karena berdasarkan UU 30/2002 tentang KPK, sangat jelas disebutkan bahwa kepemimpinan KPK bersifat kolektif.Posisi Ketua KPK lebih pada fungsi administratif dan formil, bukan membawahi dan bukan pengambil keputusan mutlak.
Atas dasar itulah, kepolisian tidak boleh ragu dan takut memproses otak dibalik pembunuhan Nasruddin. KPK pasti akan tetap mampu berjalan di garda depan, dan masyarakat sipil menyatakan telah mendukung KPK untuk lebih keras dalam pemberantasan korupsi. Semua hal di atas dilakukan oleh Koalisi untuk mencegah upaya penghancuran KPK. Belajar dari sejarah dan preseden legitimasi lembaga antikorupsi, bukan tidak mungkin hal yang sama diterapkan pada KPK.
Bentuk delegitimasi bisa berujud dua hal,yaitu membatalkan undang-undang sebagai dasar hukum institusi dan menggerogoti kepercayaan publik terhadap KPK. Untuk poin pertama, ancaman tersebut sudah nyata.UU KPK dan Tindak Pidana Korupsi tercatat sebagai aturan hukum yang paling sering di-judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Setidaknya, sudah delapan kali UU ini dimintakan batal.Meskipun tidak secara keseluruhan, salah satu putusan MK ternyata membatalkan eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Padahal, pengadilan ini adalah ujung tombak semua kasus yang ditangani KPK. Bahkan di tengah skeptisme dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengadilan umum, institusi ini menjadi tumpuan harapan publik. Akan tetapi, justru dua lembaga inilah yang menjadi titik tembak para mafia koruptif. Lebih dari itu, sejarah legitimasi secara riil sangat dekat dengan institusi pemberantasan korupsi.
Dari tahun 1967 ketika Tim Pemberantasan Korupsi pertama kali dibentuk melalui Keppres No 228/1967, sampai saat ini sudah tujuh lembaga sejenis yang terbunuh ketika mulai meresahkan para koruptor. KPK tentu tidak boleh bernasib sama. Mempertahankan eksistensi lembaga ini dan Pengadilan Tipikor sebagai ujung tombak pemberantasan kejahatan korupsi adalah harga mati.
Tantangan ke Depan
Bagaimana masa depan KPK minus Antasari Azhar? Belajar dari rekam jejak AA yang pernah kami serahkan ke Panitia Seleksi dan Komisi III DPR, tentu seharusnya KPK lebih baik dengan empat komisioner seperti saat ini.Namun, memang hal itu harus tetap dikawal secara terus-menerus. Fenomena tebang pilih dan bermuatan politis di era Antasari sebaiknya dijawab oleh KPK era baru ini dengan menuntaskan perkara yang ditangani.
Kasus Agus Condro dan Aliran Dana BI merupakan tantangan terbesar. Strategi perang terhadap korupsi yang sepertinya menekankan pada aspek pencegahan sebaiknya ditinjau ulang. Karena di era lalu,kebijakan ini sangat potensial disimpangi.Konsep pencegahan dikhawatirkan justru berimplikasi melindungi pelaku tindak pidana.Untuk kasus seperti upah pungut pajak dan korupsi dana haji,prediksi itu hampir terbukti.
Kasus ini ternyata ditangani bagian pencegahan, padahal sejumlah bukti menunjukkan adanya dugaan tindak pidana korupsi. Jika empat pimpinan KPK mampu menjawab tantangan tersebut, bukan tidak mungkin era setelah KPK minus Antasari akan mencapai ”Golden Period” dalam pemberantasan korupsi.(*)
Febri Diansyah, Peneliti Hukum, Anggota Badan Pekerja ICW
Tulisan ini disalin dari Seputar Indonesia, 9 Mei 2009