Menangkap Kakap tanpa Melepas Teri
Perlindungan yang parsial bisa membuat orang enggan bersaksi.
Vincentius Amin Sutanto tiba di Bandara Supadio, Pontianak, Kalimantan Timur, sekitar pukul 13.00 waktu setempat Kamis pekan lalu. Dikawal seorang polisi tak berpakaian dinas, pembobol uang Asian Agri Abadi Oil and Fats Ltd sebesar US$ 3,1 juta atau senilai Rp 28 miliar itu bergegas keluar dari pintu kedatangan. Hanya 30 menit berselang, ia sudah kembali. Ia diantar lima petugas dari Lembaga Pemasyarakatan Pontianak, Imigrasi, dan Reserse Kepolisian Daerah Kalimantan Barat sampai ke pintu keberangkatan.
Alarm menjerit saat pria yang akrab disapa Vincent ini melewati alat pendeteksi metal di pintu masuk. Muhammad Antik, sang petugas jaga, memegang tangan Vincent yang ditutupi sweater kuning. Borgol di tangan Vincent yang membuat pendeteksi metal itu berbunyi. "Dia tahanan," kata lelaki yang mengawalnya kepada Muhammad. Mereka pun meneruskan langkah menuju pintu pesawat Garuda, maskapai yang kemudian menerbangkan keduanya kembali ke Jakarta.
Hari itu sejatinya Vincent akan dipindahkan penahanannya dari Rutan Kelas I Salemba, Jakarta, ke Rutan Kelas II-A Pontianak, Kalimantan Timur. Ia mendekam di Salemba karena kasus pembobolan uang Asian Agri Abadi Oil and Fats Ltd, salah satu anak perusahaan Asian Agri Group milik Sukanto Tanoto. Dalam kasus ini, ia diganjar 11 tahun penjara. Selain itu, ia dijerat kasus pemalsuan paspor di Nunukan, Kalimantan Timur, yang dipakainya untuk kabur ke Singapura pada akhir 2006. Soal paspor inilah yang membuat Vincent akan ditransfer mendadak ke Kalimantan Timur.
Persetujuan memindahkan Vincent keluar 10 September lalu, tapi Departemen Keuangan mencegahnya. Sumber Tempo menyebutkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang mengontak Kepala Polisi Jenderal Sutanto serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata agar pemindahan ditangguhkan. Vincent memang divonis bersalah dalam pembobolan uang dan menjadi tersangka pemalsuan paspor, tapi ia juga saksi penting Departemen Keuangan dalam kasus dugaan penggelapan pajak yang ditaksir merugikan keuangan negara Rp 1,3 triliun oleh Asian Agri Group. Direktur Intelijen dan Penyidikan Pajak Mochammad Tjiptardjo membenarkan permintaan itu. "Dia saksi mahkota yang penting bagi kami," kata Tjiptardjo kepada Gunanto dari Tempo.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Abdul Haris Semendawai berpendapat Vincent seharusnya dilindungi karena merupakan sanksi penting bagi pemerintah. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang disahkan 11 Agustus 2006, memberikan sejumlah perlindungan kepada saksi. Dari perlindungan keamanan pribadi, keluarga, sampai harta benda. Menurut dia, pemindahannya ke Pontianak juga berisiko menyebabkan Vincent tak bisa bersaksi dalam kasus dugaan penggelapan pajak.
Jalan cerita nasib orang-orang seperti Vincent bisa berbeda bila Lembaga Perlindungan Saksi, yang dipimpin Semendawai, telah efektif bekerja. Dengan kewenangan yang diberikan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, lembaganya bisa memberikan perlindungan, fisik, hukum, atau keduanya sekaligus. Jika nyawa saksi dalam ancaman, kata dia, bisa saja kesaksian dia dalam suatu kasus diberikan melalui teleconference.
Tentu saja, lembaga ini tak bisa serta-merta memberikan perlindungan. Sesuai dengan perintah undang-undang, terlebih dulu harus ada permohonan. Itu pun tak selalu dikabulkan. Setiap permohonan akan diteliti perlu-tidaknya saksi itu dilindungi. Selain itu, kata Semendawai, "Seberapa besar peran saksi dalam mengungkap kasus." Di Indonesia, setiap hari ada 1.000 hingga 1.500 orang diperiksa sebagai saksi. "Tak mungkin melindungi semuanya," ujarnya.
Konsep perlindungan saksi Indonesia mengadopsi sejumlah praktek di sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat. Tentu dengan perbedaan di sana-sini. Di Amerika, perlindungan saksi dilakukan oleh US Marshal Service. Melalui program yang dimulai pada 1960-an, dan disahkan awalnya dalam Undang-Undang Pengendalian Kejahatan Terorganisasi 1970, lebih kurang 7.500 saksi dan lebih dari 9.500 anggota keluarga dilindungi program ini, entah dengan direlokasi atau ganti identitas baru. Sekitar 89 persen kasus kejahatan bisa dituntut karena pengakuan saksi-saksi ini.
Amerika Serikat mencatat sejumlah kasus cukup fenomenal sebagai buah dari program perlindungan saksi. Ada Pascal Paddy Calabrese, salah satu anggota mafia Stefano Magaddino, yang dihukum lima tahun penjara karena merampok. Pada 1967, ia bersedia buka mulut dan melanggar omerta--hukum tutup mulut mafia, yang terbukti menyelamatkan mereka dari jerat pidana--dan membuka dosa-dosa bosnya. Pada tahun yang sama, anggota mafia Joseph Barbozza setuju untuk bersaksi melawan bos kriminal New England, Raymond L.S. Patriarca, setelah ia tahu Patriarca mencoba membunuhnya.
Kesaksian-kesaksian itu ada harganya. Petugas Seksi Kejahatan Terorganisasi dan Premanisme di Departemen Kehakiman setuju melindungi dia bersama teman wanitanya dengan menitipkannya di salah satu pos komando pangkalan Angkatan Udara di Maine. Biro Penyelidik Federal (FBI) setuju dengan permintaan Barbozza. Hasilnya tak sia-sia. Kesaksian-kesaksian ini menghancurkan omerta. Dari pengakuan Calabrese, dua bawahan utama Magaddino, Randaccio dan Natrelli, ditangkap dan diganjar 20 tahun penjara karena pembunuhan. "Nyanyian" Barbozza membuat FBI berhasil menangkap Patriarca dan menghancurkan geng mafia tersebut.
Menurut Semendawai, sejarah kelahiran perlindungan saksi di Amerika Serikat dan Indonesia memang berbeda. Di Amerika, inisiatif membuat program perlindungan saksi datang dari aparat penegak hukum yang berkepentingan membongkar kejahatan terorganisasi, mafia. Di Indonesia, program ini lebih banyak dipengaruhi oleh banyaknya saksi kasus korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan biasa yang terancam nasibnya (lihat: Saksi-saksi yang Terancam). Beda lainnya, program di Amerika hanya berlaku untuk saksi. Di Indonesia, ini juga untuk korban.
Tawar-menawarnya juga berbeda. Eva Kusumandari, penyusun Undang-Undang Perlindungan Saksi, mengatakan regulasi ini hanya memberikan perlindungan kepada pelapor (whistle blower) dari kasus yang diungkapkannya, tapi tidak dalam kasus pidana lain. Inilah yang sempat dikritik juru bicara Koalisi Perlindungan Saksi, Supriyadi, sebagai perlindungan yang bersifat parsial dan bisa membuat orang enggan "buka mulut". Menurut Supriyadi, di Amerika Serikat, perlindungan saksi memungkinkan whistle blower menegosiasikan kesaksiannya dengan pembebasan atau pengurangan hukuman atas tindak pidana lainnya. Di Indonesia, kesaksian itu hanya meringankan hukuman, tak bisa membebaskannya.
Semendawai mengibaratkan program perlindungan saksi di Amerika Serikat itu seperti "melepas teri untuk menangkap kakap". Ini berbeda dengan di Indonesia. "Di sini, prinsipnya seperti menangkap kakap tapi tanpa melepas yang teri," kata Semendawai. ABDUL MANAN | ANTON SEPTIAN | CHETA NILAWATY | HARRY DAYA
Saksi-saksi yang Terancam
Mereka menjadi korban akibat peristiwa yang diketahuinya atau laporan yang dibuatnya. Inilah beberapa di antaranya.
Pelanggaran HAM
Aceh, 1999
Pada 23 Juli 1999, di Beutong Ateuh, Aceh, terjadi penembakan oleh aparat yang menewaskan ulama Teungku Bantaqiah dan 56 santrinya. Setelah peristiwa itu, istri Bantaqiah, Man Farisyah, dan beberapa anggota keluarga yang menjadi saksi mata menerima teror dan intimidasi berupa pelemparan granat serta tembakan di sekitar rumah mereka. Merasa terancam keselamatannya, Farisyah dan beberapa saksi datang ke Jakarta untuk meminta perlindungan pemerintah. Pengadilan koneksitas kasus ini akhirnya digelar pada 19 April 2000.
Peledakan Bom
Medan, 2000
Kalep Situmorang merupakan satu-satunya saksi kasus peledakan bom di depan Gereja Kemenangan Iman Indonesia di Medan pada 20 Agustus 2000. Namun, Kalep tak diberi perlindungan yang memadai. Pada 16 September 2000, Kalep ditembak oleh orang tak dikenal. Dua hari kemudian ia meninggal. Kematian Kalep menyebabkan pengusutan insiden peledakan bom Medan tersendat.
Korupsi
Jakarta, 2001
Endin Wahyudi melaporkan kasus dugaan korupsi yang melibatkan tiga hakim agung, yakni M. Yahya Harahap, Supraptini Sutarto, dan Marnis Kahar, kepada Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada 2000. Para hakim agung itu kemudian melaporkan Endin dengan tudingan telah mencemarkan nama baik mereka. Endin lantas dihukum tiga bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Korupsi
Flores Timur, 2003
Romo Frans Amanue melaporkan kasus dugaan korupsi yang melibatkan Bupati Flores Timur Felix Fernandez. Tak terima dituding korupsi, Felix kemudian mengadukan Romo Amanue ke Polres Flores Timur di Larantuka dengan tuduhan telah melakukan pencemaran nama baik. Pada 15 November 2003, Romo Amanue divonis dua bulan penjara dengan masa percobaan lima bulan oleh Pengadilan Negeri Larantuka.
Sumber: Anton Septian | PDAT | Berbagai Sumber
Sumber: Koran Tempo, 15 September 2008