Memerangi Korupsi Yudisial

Oleh : Frans H. Winarta
Ketua Umum Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia

Sungguh keterlaluan, di tengah-tengah program pemberantasan korupsi yang tengah giat-giatnya dikampanyekan oleh pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono, korupsi yudisial masih saja berlangsung.

Bukan Indonesia saja yang memerangi korupsi yudisial. International Bar Association (IBA) dalam sidang dua tahunannya (biennial conference) di Amsterdam pada 2000 telah mendeklarasikan pemberantasan judicial corruption bagi semua negara anggota.

IBA merumuskan bahwa judicial corruption terjadi karena tindakan-tindakan yang menyebabkan ketidakmandirian lembaga peradilan dan institusi hukum (polisi, jaksa penuntut umum, advokat/pengacara, dan hakim). Khususnya kalau hakim atau pengadilan mencari atau menerima berbagai macam keuntungan atau janji berdasarkan penyalahgunaan kekuasaan kehakiman atau perbuatan lainnya, seperti suap, pemalsuan, penghilangan data atau berkas pengadilan, dan perubahan dengan sengaja berkas pengadilan. Korupsi juga dapat menyebabkan adanya campur tangan terhadap proses perkara yang telah diputuskan. Keputusan yang seharusnya diambil berdasarkan bukti-bukti dan hukum yang berlaku justru merupakan putusan yang dipengaruhi oleh pengaruhi yang tidak baik. Pengaruh itu misalnya berupa tekanan, ancaman, intervensi, baik secara langsung maupun tidak langsung, nepotisme, conflict of interest, favoritisme, sosialisasi dengan pembela, teman, atau suatu asosiasi ataupun institusi, kompromi dengan advokat atau calon advokat yang akan ditunjuk dalam suatu perkara, pertimbangan keliru dalam promosi dan pensiun, prasangka memperlambat proses pengadilan, serta tunduk kepada kemauan pemerintah atau penguasa dan partai politik.

Menurut pengamatan banyak kalangan, antara lain pengamat hukum, praktisi hukum, insan pers, pencari keadilan (justiciable), dan masyarakat pada umumnya, korupsi yudisial masih berlangsung meskipun pemerintah SBY sudah mencanangkan upaya pemberantasan korupsi.

Pembentukan tim pemberantasan korupsi
Pembentukan Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Yudisial, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, serta tim pemberantasan korupsi sebelumnya seolah-olah tidak ada artinya bagi para koruptor. Mereka semakin berani dan nekat dalam perilaku koruptifnya. Skandal di Mahkamah Agung baru-baru ini, yakni seorang advokat mantan hakim tinggi ditangkap bersama lima orang staf Mahkamah Agung RI, membuktikan bahwa pengamatan para praktisi, pengamat hukum, pencari keadilan, dan masyarakat selama ini benar. Sebelumnya, seorang advokat dan seorang panitera pengadilan tinggi tertangkap basah sewaktu menyerahkan uang transaksi.

Kalau korupsi yudisial dibiarkan terus dan tidak ditindak tegas, upaya pemulihan ekonomi tidak akan pernah tercapai. Soalnya, investor asing akan takut datang ke Indonesia dan investor lokal malah akan lari ke luar negeri karena tidak ada kepastian hukum, yang memang sudah terjadi. Hal ini akan menyebabkan upaya menekan angka pengangguran dan kemiskinan melemah.

Korupsi yudisial tidak dilakukan oleh hakim saja, tapi bisa juga oleh oknum advokat, panitera, jaksa, polisi, dan pihak lain dalam mencari keadilan, seperti para justiciable, pengusaha, dan bankir. Semua perbuatan yang menyebabkan pengadilan tak independen termasuk dalam korupsi yudisial. Ingat, kita masih menyimpan teka-teki rekening bank belasan perwira polisi yang belum dituntaskan sampai sekarang. Dalam setiap pemilihan pengurus organisasi advokat, diduga keras selalu digunakan taktik money politics untuk memenangi jabatan ketua umum. Hal ini sempat diingatkan dan diakui oleh seorang calon ketua umum suatu organisasi advokat baru-baru ini. Sampai-sampai, ada seorang calon ketua umum membuat center, seperti para politikus, untuk menggalang suara dari para anggota asosiasi advokat agar mereka memilihnya. Padahal, di Belanda saja, pemilihan Ketua Nederlands Orde van Advocaten berlangsung damai dan hanya advokat yang berintegritas tinggi, berpengalaman, bebas dari pelanggaran etika profesi, dan siap berkorban waktu yang dapat terpilih sebagai ketua. Tidak hanya itu, kedudukan ketua umum (president of the bar) digilir setiap dua tahun di antara para advokat senior dan bukan diperebutkan. Ini berlaku di bar association lain di -negara maju dan demokratis.

Peran organisasi advokat
Kembali ke perihal korupsi yudisial, upaya apa yang telah dilakukan organisasi advokat? Sebab, kedua peristiwa tadi melibatkan advokat dan ada peran advokat sebagai calo atau provokator. Boleh dikatakan tidak ada, sejak dulu sampai sekarang. Soalnya, kalau seorang mantan hakim agung sepuluh tahun lalu sampai pernah menyatakan 80 persen hakim nakal, persentase itu bisa berlaku pula untuk advokat.

Ketika semua orang berbicara tentang good corporate governance, organisasi advokat justru tidak melaksanakan prinsip tersebut. Ide keterbukaan, pertanggungjawaban, keadilan, dan akuntabilitas justru tidak dilaksanakan dalam pendirian Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) yang diamanatkan Undang-Undang Advokat (UU Nomor 18 Tahun 2003). Pemilihan pengurusnya tidak dilakukan terbuka dan tidak ada pencalonan ketua umum oleh para advokat seperti yang diatur Undang-Undang Advokat. Para advokat, yang menurut Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Advokat mempunyai hak suara berdasarkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga yang seharusnya disusun menjelang pembentukan pengurus, tidak diberi kesempatan untuk memilih Ketua Umum Peradi. Hal ini tidak adil bagi para advokat sebagai stakeholder organisasi advokat dan figur-figur yang potensial untuk mencalonkan diri sebagai calon pengurus (ketua umum) Peradi. Padahal, dalam keadaan seperti sekarang ini, ketika korupsi yudisial sedang marak, diperlukan orang-orang kuat, jujur, dan bersih untuk memimpin Peradi. Hal ini tidak berarti yang memimpin Peradi sekarang ini tidak baik, tapi proses pemilihannya tidak transparan.

Sedangkan menurut pasal 28 ayat 1, Peradi merupakan satu-satunya organisasi advokat di Indonesia. Tentunya ini berarti delapan organisasi yang diakui Undang-Undang Advokat harus menjadi satu dan tidak boleh eksis lagi.

Namun, semua ini kembali kepada para advokat Indonesia, apakah mau menerapkan good corporate governance atau terlelap dalam praktek yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan good corporate governance.

Bisa dibayangkan bagaimana upaya memerangi korupsi yudisial bisa berhasil kalau para penegak hukumnya, antara lain para advokat, tidak memegang teguh dan tak melaksanakan good corporate governance.

Koran Tempo, 13 Oktober 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan