Memburu Sosialita yang ''Amnesia''
Kasus Suap Cek Pelawat
Pada akhir Februari 2011, KPK menetapkan Nunun Nurbaeti Dorodjatun sebagai tersangka kasus suap dalam pemilihan deputi senior gubernur Bank Indonesia. Nunun disangka membagi-bagikan cek pelawat dengan nilai total Rp 24 miliar kepada sejumlah anggota Komisi IX DPR
periode 1999-2004. Namun, istri mantan Wakapolri Komjen Pol (Purn) Adang Dorodjatun itu telah pergi ke luar negeri sejak setahun lalu. Kini KPK harus memburu sang sosialita yang oleh dokter pribadinya dikatakan menderita amnesia.
SENIN, 23 Mei 2011, lima pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan jajarannya melakukan rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR. Rapat itu tidak berlangsung panas seperti biasanya, juga tidak ada pengusiran terhadap dua pimpinan KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah.
Padahal, dalam rapat sebelumnya, banyak anggota komisi yang membidangi hukum itu menolak status deponering yang diterima Bibit-Chandra, dan menolak rapat bersama dua pimpinan KPK itu karena mereka menilai keduanya masih berstatus tersangka.
Setelah melakukan istirahat untuk makan siang dan shalat dzuhur, rapat kembali dimulai untuk sesi tanya-jawab. Ketua KPK Busyro Muqoddas di luar dugaan mengumumkan status Nunun Nurbaeti Daradjatun, istri mantan Wakapolri Komjen Pol (Purn) Adang Daradjatun sebagai tersangka. Adang yang kini menjadi anggota Komisi III DPR dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak hadir dalam rapat tersebut.
”Berdasaran rapat pimpinan, maka kami menetapkan bahwa Ibu Nunun Nurhayati.. eh.. Nurbaeti. Saya ulangi, Ibu Nunun Nurbaeti sebagai tersangka. Kami sedang dalam proses melakukan upaya-upaya ekstradisi yang bersangkutan,”
kata Busyro menjawab pertanyaan anggota Dewan soal kelanjutan penanganan kasus suap cek perjalanan terkait pemilihan Miranda S Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI). Kasus ini telah menjerat 30 politikus anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004.
KPK menjerat Nunun dengan Pasal 5 ayat 1 huruf b dan atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Nunun diduga memberikan sesuatu yang tidak sah kepada anggota DPR periode 1999-2004 terkait pemilihan Miranda. Status Nunun sebagai tersangka sebenarnya telah ditetapkan sejak akhir Februari 2011.
Sebelumnya, dalam sidang kasus suap cek perjalanan dengan terdakwa Agus Condro, Max Moein, Rusman Lumban Toruan, Poltak Sitorus, dan Willem Max Tutuarima, Ketua Majelis Hakim Suhartoyo mengisyaratkan bahwa pengusaha Nunun Nurbaeti segera diseret ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Hal ini disampaikan Suhartoyo saat Miranda S Goeltom menjadi saksi pada Kamis, 12 Mei lalu.
Miranda mengaku biasa bertemu dengan Nunun, namun bukan dalam pertemuan resmi. Selain dalam acara pagelaran busana, Miranda juga pernah bertemu Nunun dalam pesta yang digelar sosialita.
”Kenal dengan Nunun, sebagai sesama sosialita,” kata Miranda.
Dia juga mengaku mengenal sosok Nunun karena anak Nunun dan Miranda sama-sama sekolah di San Fransisco, Amerika Serikat. ”Hubungan spesifik tidak ada,” ujar Miranda.
Lebih lanjut Miranda mengatakan, Nunun hanya sekali menemuinya secara khusus. Yakni, Juli 2004 atau setelah pemilihan Deputi Gubernur Senior BI, Nunun ke kantor Miranda untuk membicarakan posisi Sekjen Gabungan Bridge Indonesia yang kosong. Dalam pertemuan tersebut, kata Miranda, Nunun membawa cucu dan suster.
Ditanya majelis hakim apakah Nunun juga membawa Arie Malangjudo, Miranda mengaku tidak ingat. ”Saya tidak ingat,” katanya.
Memburu Nunun
Ternyata tidak hanya terhadap mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, KPK juga terlambat mengenakan pelarangan ke luar negeri terhadap Nunun. Kondisi yang sama juga terjadi terhadap Anggoro Widjojo, kakak Anggodo Widjojo, yang kabur sebelum dilarang ke luar negeri oleh KPK.
KPK baru mengeluarkan status cegah untuk Nunun pada 24 Maret 2010 dengan surat bernomor Kep-146/01/3/2010 yang ditujukan kepada Direktorat Jenderal Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM. Padahal, berdasarkan catatan Imigrasi, Nunun telah berada di Singapura sejak 23 Februari 2010. Nunun pergi menggunakan penerbangan Lufthanza Nomor 0779 pada pukul 19.00 WIB dari Bandara Soekarno-Hatta.
Suami nunun, Adang Darajatun, hingga ini masih enggan menyebut keberadaan istrinya. Dia mengaku, istrinya saat ini masih dalam perawatan dokter. Kondisinya lebih buruk dari sebelumnya.
Mantan dokter pribadi Nunun, Dokter Andreas Hari mengaku telah menangani Nunun sejak September 2006. Nunun terserang stroke sejak 25 Juli 2009 sekitar pukul 18.00. Sejak saat itu kondisi Nunun tidak ada perbaikan sama sekali. ”Akhirnya diambil keputusan (dirawat) ke Singapura pada 23 Februari 2010,” ujarnya.
Dokter Andreas menambahkan, Nunun dalam kondisi tidak boleh dalam suasana stres. Sebab, yang terganggu adalah memori. Andreas pun berani mendiskusikan hal ini dengan dokter lain secara ilmiah. ”Saya sudah presentasi di Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan juga di KPK,” katanya.
Keterangan berbeda disampaikan mantan sekretaris pribadi Nunun, Sumarni yang menyatakan, dirinya mengetahui mantan bosnya menderita penyakit vertigo bukan amnesia. Hal ini dikatakan Sumarni saat bersaksi di persidangan Ni Luh Cs di Pengadilan Tipikor, Jumat (27/5). Salah satu dokter yang memberikan resep adalah dr Jusuf Misbach yang merupakan dokter ahli syaraf.
”Vertigo, ibu suka mau jatuh. Dari Prof Jusuf Misbach, ada tiga obat. Di boks obatnya ada obat untuk seloyongan,” kata Sumarni.
Dia menyatakan ragu bila Nunun dikatakan menderita sakit lupa berat alias amnesia. Pasalnya, dia mengaku masih dikenali oleh mantan bosnya tersebut. Keduanya terakhir kali bertemu di Singapura pada Mei 2010.
Sumarni memaparkan, dalam pertemuan itu, dirinya bermaksud mengantarkan obat-obatan untuk Nunun. ”Pak Adang meminta saya menyampaikan obat-obatan tersebut. Pertemuan dilakukan di sebuah apartemen di Jalan Scott 28 Orchard Road. Saya sempat ngobrol sebentar. Tanya apa kabar, cuma itu saja,” katanya.
Saat ini KPK menyiapkan tiga opsi untuk membawa Nunun kembali ke Tanah Air. Langkah pertama, penyidik KPK akan meminta keluarga untuk menghadirkan Nunun. Jika langkah persuasif tersebut tidak berhasil, KPK akan bekerja sama dengan lembaga antikorupsi luar negeri dengan saling bertukar informasi untuk melacak keberadaan Nunun yang simpang siur.
Kepala Biro Humas KPK Johan Budi mengklaim, tim penyidik KPK sudah mulai bekerja sejak penetapan Nunun sebagai tersangka akhir Februari lalu.
Menurutnya, tim penyidik sudah dua kali diturunkan ke tempat-tempat yang diduga ditinggali Nunun. Namun, dia tidak bisa mengungkapkan tempat yang didatangi oleh timnya demi kepentingan penyidikan.
Pilihan terakhir yang akan ditempuh KPK adalah, bekerja sama dengan Interpol. Artinya, KPK akan mencantumkan Nunun dalam daftar pencarian orang (DPO) atau red notice di Interpol alias ditetapkan sebagai buronan. ”Tapi itu belum, nanti kalau memang diperlukan,” tandas Johan.
Masyarakat barangkali tidak begitu peduli bagaimana cara KPK mengembalikan Nunun ke Tanah Air. Yang lebih penting, KPK harus membongkar kasus suap senilai Rp 24 miliar ini dengan menghadirkan Nunun. Salah satu terdakwa yang sekaligus pelapor kasus ini, Agus Condro Prayitno, berharap KPK dapat mengungkap siapa penyandang dana suap dalam pemilihan deputi senior Gubernur BI ini. Semoga saja, KPK masih bisa memenuhi harapan, tidak hanya harapan Agus Condro, tapi masyarakat secara luas. (Mahendra Bungalan-35)
Sumber: Suara Merdeka, 31 Mei 2011