Majelis Kehormatan Hakim Disiapkan
Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) sedang menyiapkan pembentukan majelis kehormatan hakim dan hukum acara yang akan digunakan.
Majelis kehormatan hakim adalah majelis yang dibentuk sebagai tempat hakim yang diusulkan diberhentikan karena melakukan pelanggaran untuk membela diri sebelum yang bersangkutan benarbenar dijatuhi sanksi.Pasal 23 ayat 4 Undang-Undang (UU) Komisi Yudisial (KY) menegaskan, hakim yang akan dijatuhi sanksi diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan majelis kehormatan hakim.
”Sekarang lagi membentuk aturannya seperti apa dan orangorangnya seperti siapa,”ujar Ketua MA Harifin A Tumpa di Jakarta akhir pekan lalu. Menurut Harifin, hal lain yang terpenting dalam pembentukan majelis kehormatan adalah hukum acara yang akan digunakan nanti. Masalah wakil MA yang akan duduk di majelis kehormatan hakim tidak menjadi soal karena hanya bersifat ad hoc.Saat ini,jelas Harifin, tim dari MA tengah menyiapkan tata cara persidangan di majelis kehormatan hakim yang akan digunakan dalam persidangan.
Namun, dia belum bersedia menyebutkan hal-hal penting yang akan diatur dalam hukum acara persidangan majelis kehormatan tersebut. ”Baru dibentuk, panitia menyusun hukum acaranya,” ujar Harifin. Berdasarkan Pasal 11 A UU No 3/2009 tentang MA menjelaskan, keanggotaan majelis kehormatan hakim terdiri atas tiga orang hakim agung dan empat orang anggota KY. Majelis kehormatan hakim dibentuk MA dan KY paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya usul pemberhentian.
Majelis kehormatan hakim melakukan pemeriksaan usul pemberhentian paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal pembentukan majelis kehormatan hakim. Jika pembelaan diri hakim ditolak, majelis kehormatan hakim menyampaikan keputusan usul pemberhentian kepada Ketua MA dan KY. Menurut anggota KY Soekotjo Soeparto, lembaganya juga tidak terlalu mempermasalahkan wakil mereka yang akan masuk majelis kehormatan hakim. Senada dengan Harifin, Soekotjo menilai, hukum acara adalah masalah yang terpenting untuk disusun.
KY saat ini sudah menyiapkan konsep hukum acara majelis kehormatan hakim untuk kemudian didiskusikan dengan MA. Namun, dia juga enggan menyebutkan apa saja yang dibahas oleh tim KY tentang hukum acara majelis kehormatan hakim. Dia hanya memastikan, antara konsep yang dibuat KY tidak jauh berbeda dengan MA. ”Yang penting sudah ada persamaan persepsi,”ujar Soekotjo. Sebelumnya,MA dan KY membentuk kode etik dan perilaku hakim yang disusun sejak 12 Januari 2009.
Kode etik yang dikeluarkan melalui Surat Keputusan (SK) No 1/028/SKB/III/5 Maret 2009 ditandatangani Ketua MA Harifin A Tumpa dan Ketua KY Busyro Muqoddas. Kode etik hakim yang dibentuk MA dan KY mengatur hakim agar menangani perkara secara profesional dan transparan.
Kode etik itu juga memberi toleransi bagi hakim untuk bisa menerima pemberian maksimal Rp500.000. Namun, pemberian itu pun dipastikan berasal dari keluarga, saudara, atau teman yang tidak terkait penanganan perkara. (rijan irnando purba)
Sumber: Seputar Indonesia, 3 Mei 2009
{mospagebreak title=Alasan MA Dinilai Mengada-ada}
Alasan MA Dinilai Mengada-ada
Mahkamah Agung (MA) hingga saat ini belum mengumumkan perekrutan calon hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) secara terbuka dengan alasan tidak memiliki anggaran dana pemasangan iklan di media massa.
Alasan ini dinilai Indonesia Corruption Watch (ICW) tidak memiliki dasar dan terkesan mengada- ada. Jika memiliki kemauan yang besar, MA diyakini bisa memenuhi salah satu syarat dalam proses pengangkatan hakim Pengadilan Tipikor. ”Itu alasan yang dibikin-bikin saja,”kata Wakil Koordinator ICW Emerson Yuntho di Jakarta kemarin. Emerson menanggapi Ketua MA Harifin A Tumpa, Jumat (1/5), yang mengatakan bahwa MA masih menunggu ada biaya untuk mengumumkan perekrutan hakim Pengadilan Tipikor ke publik.
Harifin mengaku, selama ini MA tidak memiliki anggaran untuk mengumumkan perekrutan hakim di media massa. Dia malah mempersilakan masyarakat yang berniat menyumbang MA agar hal itu bisa terwujud. Menurut Emerson, berbagai cara bisa dilakukan untuk melaksanakan hal itu, apalagi anggarannya tidak terlalu besar di antaranya kerja sama dengan lembaga donor yang mendukung perbaikan lembaga peradilan, khususnya Pengadilan Tipikor.
Dia mengaku merasa heran dengan alasan dana, padahal MA bisa melaksanakan turnamen tenis dengan dana yang besar. ”Ini masalah komitmen saja. Segala cara yang benar bisa dilakukan untuk mewujudkan hal ini,”ujar Emerson. Pengumuman perekrutan calon hakim Pengadilan Tipikor di media massa salah satu tahapan dan syarat yang belum ditempuh MA.Padahal,syarat ini telah diatur dalam Pasal 56 Undang-Undang (UU) No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.Pasal itu menyebutkan, dalam menetapkan dan mengusulkan calon hakim Pengadilan Tipikor, Ketua MA wajib melakukan pengumuman kepada masyarakat.
Dalam penjelasan Pasal 56 ayat 4 UU KPK disebutkan, pemilihan calon hakim yang akan ditetapkan dan yang akan diusulkan kepada Presiden RI untuk menjadi hakim Pengadilan Tipikor dilakukan secara transparan dan partisipatif.Pengumuman dapat dilakukan baik melalui media cetak maupun elektronik guna mendapat masukan dan tanggapan masyarakat terhadap calon hakim Pengadilan Tipikor tersebut.Akibat belum dipenuhinya mekanisme perekrutan ini, MA telah membatalkan surat keputusan (SK) pengangkatan sembilan hakim Pengadilan Tipikor yang bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Saat ini MA masih mencari jalan keluar dari masalah ini. Namun, MA belum bisa memastikan apakah pengumuman bisa dilakukan tahun ini. Berhentinya perekrutan hakim dipastikan tidak menimbulkan kekosongan majelis hakim di Pengadilan Tipikor akibat mutasi sejumlah hakim lama yang sebelumnya bertugas di PN Jakarta Pusat ke sejumlah daerah. MA sebenarnya telah mengumumkan perekrutan hakim Pengadilan Tipikor di website MA, www.mahkamahagung.go.id.
Namun, Harifin khawatir pengumuman melalui websitetidak bisa diterima masyarakat, termasuk ICW sebagai salah satu lembaga masyarakat yang sebelumnya mendesak pembatalan SK pengangkatan sembilan hakim. Juru Bicara MA Hatta Ali telah menegaskan bahwa pengumuman perekrutan hakim Pengadilan Tipikor sebenarnya sudah cukup melalui website.Website salah satu media elektronik yang diatur di UU KPK.Hal terpenting,menurut Hatta, masyarakat yang memiliki masukan dalam seleksi hakim Pengadilan Tipikor supaya segera menyampaikan ke MA.
Masukan masyarakat akan menjadi pertimbangan bagi MA dalam menentukan hakim yang akan diangkat. (rijan irnando purba)
Sumber: Seputar Indonesia, 3 Mei 2009
{mospagebreak titel=Hakim Juga Harus Ahli di Bidang Keuangan}
Hakim Juga Harus Ahli di Bidang Keuangan
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Pengadilan Tipikor) disinyalir tidak akan rampung sesuai tenggat waktu yang ditentukan,19 Desember 2009.
Kalaupun dipaksakan rampung,dikhawatirkan hanya seumur jagung atau bertahan sesaat. ”Kalau yang saya sempat ikuti, itu berat,bisa selesai Desember.Kalau dipaksakan,saya yakin RUU itu akan seumur jagung.Nasibnya akan seperti banyak UU yang mengalami judicial review ke Mahkamah Konstitusi,” kata pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Rudy Satrio di Jakarta kemarin.
Menurut dia, pembahasan RUU tersebut masih mengalami pro dan kontra baik dalam pansus maupun masyarakat. Karena itu, jika draf RUU yang ada saat ini disahkan, penerapannya akan sangat mahal. ”Karena akan ada pengadilan tindak pidana korupsi di daerah-daerah sampai ke tingkat dua,”kata Rudy. Menurut dia, Pengadilan Tipikor saat ini lebih baik cukup berada di Jakarta.Namun,beberapa revisi perlu dilakukan antara lain soal hakim.
”Revisi yang paling urgen adalah hakim. Hakim seharusnya bukan cuma orang-orang yang ahli di bidang hukum, tapi juga orangorang yang ahli dalam bidang keuangan,” kata dia.Selama ini kasuskasus korupsi selalu berkaitan dengan kerugian keuangan negara. Jika pembahasan RUU mengalami tarik ulur berkepanjangan, menurut Rudy, solusinya adalah dengan peraturan pemerintah pengganti UU.”Sebaiknya perppu dikeluarkan dua sampai tiga bulan sebelum batas waktu berakhir.Kalau tidak September, ya Oktober,” kata dia.
Ketua Panitia Khusus RUU Pengadilan Tipikor Dewi Asmara optimistis RUU tersebut dapat diselesaikan sebelum masa tugas DPR 2004-2009 berakhir pada September 2009. ”Kita pasti bisa selesaikan pembahasan RUU ini,” kata Dewi Asmara kemarin. Dewi menegaskan bahwa seluruh fraksi telah sepakat akan mengoptimalkan waktu yang tersisa. ”Artinya, kita tidak ingin membahas RUU sampai RDPU selesai dulu. Waktu kita sudah sempit,”tukasnya.Saat ini delapan fraksi sudah menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM). Delapan fraksi itu terdiri atas FKB, FPPP, FPG, FPAN, FPKS, FPBR, FBPD,dan Fraksi Demokrat.
Soal target September 2009, Dewi memandang target itu wajar karena memang harus dilakukan sinkronisasi dengan RUU Komisi Yudisial,RUU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,RUU Kekuasaan Kehakiman, dan RUU Peradilan Umum.”Sinkronisasiinidiharapkan dapat membangun arsitektur peradilan secara integrated,”katanya. Politikus dari Golkar ini mengatakan, salah satu substansi pembahasan yang rumit antara lain keberadaan hakim di pengadilan itu.
”Misalnya hakim karier. Bagaimana jenjang mereka serta remunerasi yang berlaku nantinya dan masalahpemeriksaanpendahuluan kasus korupsi,”katanya. (m purwadi)
Sumber: Seputar Indonesia, 3 Mei 2009
{mospagebreak title=Paradigma Hakim Harus Berubah}
Paradigma Hakim Harus Berubah
Ketua Komisi Hukum DPR Trimedya Pandjaitan menilai masalah kapasitas lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan (rutan) yang tak mencukupi memerlukan tindakan yang lebih komprehensif, termasuk perubahan paradigma para hakim ”Sistem peradilan kita sudah jelas mengatur masalah hukuman.
Yang perlu diubah adalah paradigma para hakim yang menilai setiap kesalahan perlu dimasukkan dalam sel,padahal ada cara lain yang lebih bijak,” kata Trimedya Pandjaitan di Jakarta baru-baru ini. Menurut dia, tidak semua terpidana yang terbukti bersalah harus dimasukkan dalam tahanan. Ada beberapa kasus yang esensinya harus dipertimbangkan, salah satunya penanganan tindak pidana korupsi.
Yang terpenting dari penyelesaian kasus korupsi adalah pengembalian kerugian negara,bukan berapa lama hukuman penjara yang diterima. ”Tapi, selama ini persepsi masyarakat dan pers selalu mengedepankan hukuman penjara untuk memberikan efek jera. Jadi harus ada persamaan persepsi dahulu sebelum berbicara revisi KUHP,”jelasnya. Selain itu,Trimedya juga mengusulkan untuk memaksimalkan hukuman percobaan dalam menanggulangi persoalan kapasitas rutan yang tak mencukupi tersebut.
Dia menyebutkan, penerapan ini dapat dilakukan bagi pelaku tindak pidana umum yang bersifat ringan. Penindakan tersebut secara tidak langsung dapat mengurangi jumlah orang yang tinggal di rutan. Langkah yang sedang diusahakan saat ini oleh Komisi III terkait penanganan masalah tersebut adalah evaluasi dan revisi UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan. Hal ini terkait proses pemberian remisi sehingga secara efektif dapat menekan laju kelebihan kapasitas tersebut.
”Jika mereka mendapat pembebasan bersyarat, kemudian ada pembinaan secara efektif, tentunya akan menekan laju kapasitas yang dialami LP saat ini,”kilahnya. Di tempat terpisah, Ketua Komisi Hukum Nasional (KHN) JE Sahetapy mengatakan, apa yang terjadi di LP tak lepas dari kebobrokan penerapan hukum di sistem hukum sebelumnya.Karena itu, pemerintah perlu memikirkan kembali konsep pemasyarakatan dan tujuan penjeraan pemidanaan.
Dia menilai, efek jera sangat minim ditimbulkan oleh lembaga pemasyarakatan. ”Jadi, kalau mau ditanyakan perbaikan sistem korupsi di LP,saya harus berpikir dulu karena terlalu sulit, benang kusut yang sudah basah.Tak ada gunanya perubahan KUHP karena yang harus diperbaiki adalah hukum acaranya agar jaksa dan hakim bisa dihukum sanksi bila melakukan pelanggaran,” ujar guru besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga itu.
Sebelumnya, Dirjenpas Depkumham Untung Sugiyono mengatakan, saat ini populasi penghuni tahanan dan narapidana di LP meningkat signifikan. (m purwadi)
Sumber: Seputar Indonesia, 3 Mei 2009