Mahfud: Hukuman bagi Koruptor Terlalu Ringan
Hukuman bagi sebagian besar pelaku korupsi di Indonesia masih terlalu ringan. Padahal, tindakan korupsi memiliki efek yang sangat masif dan merugikan semua pihak.
Demikian diungkapkan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Sabtu (16/10), seusai orasi ilmiah ”Menggagas Ide Pluralisme dalam Bingkai Konstitusi” pada wisuda di Universitas Dr Soetomo, Surabaya.
”Selama ini koruptor yang dijatuhi vonis 20 tahun penjara hanya satu, yaitu (jaksa penuntut umum) Urip Tri Gunawan. Sedangkan sebagian besar koruptor lainnya hanya dihukum tiga tahun, empat tahun, atau lima tahun,” ucapnya.
Jaksa Urip ditangkap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2 Maret 2008 saat menerima uang 660.000 dollar AS dari pengusaha Artalyta Suryani. Pemberian tersebut berkaitan dengan kasus yang sedang dia tangani. Artalyta terlebih dahulu dijatuhi hukuman lima tahun penjara.
Namun, berbeda dengan pelaku korupsi, menurut Mahfud, vonis bagi terdakwa kasus kriminal sering kali justru lebih berat. Meskipun memiliki efek lebih sempit dan personal, hukuman bagi pelaku kriminal bisa belasan, bahkan puluhan tahun.
”Di China, koruptor bisa dihukum mati dan masyarakat senang terhadap proses itu. Karena itu, jika tak ada ketegasan sikap seperti ini, tak ada kata jera bagi koruptor,” kata Mahfud.
Mahfud menjelaskan, sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penerapan hukuman mati sebenarnya dimungkinkan di Indonesia. Namun, penerapannya dilakukan dalam kasus korupsi yang dinilai sangat merugikan negara.
Becermin dari menjamurnya kasus korupsi, Mahfud menyerukan perlunya reorientasi pendidikan di Indonesia. Pendidikan harus berlandaskan filsafat pendidikan, tak hanya mencerdaskan otak, tetapi juga memuliakan watak. Generasi penerus harus terhindar dari korupsi. (abk)
Sumber: Kompas, 18 Oktober 2010