MA Penuh Hakim Manula
Panja DPR Sepakati Masa Pensiun sampai 70 Tahun
Para hakim agung yang mendekati masa pensiun pantas tersenyum. Sebab, usul pemerintah dalam draf revisi UU Mahkamah Agung (MA) tentang perpanjangan masa pensiun sampai usia 70 tahun akhirnya disepakati panitia kerja (panja) DPR.
Itu keputusan rapat Panja DPR tentang Revisi UU MA dalam rapat di Wisma Kopo, Cisarua, Bogor, dini hari kemarin (21/9).
"Putusan di tingkat panja memang begitu (disepakati pensiun 70 tahun, Red),'' kata anggota Panja Revisi UU MA dari Fraksi PDIP Eva Kusuma Sundari di Jakarta kemarin. Panja yang dibentuk Komisi III DPR (membidangi hukum) tersebut menyelenggarakan rapat di wisma milik DPR itu sejak Kamis lalu (18/9).
Sesuai dengan draf revisi UU MA, DPR sebelumnya mengusulkan batas umur hakim agung adalah 65 tahun. Tapi, pemerintah punya usul lain dengan menaikkan batas maksimal menjadi 70 tahun. Sesuai dengan UU No 5 Tahun 2004 tentang MA, batas pensiun hakim agung adalah 65 tahun. Meski begitu, mereka dapat perpanjangan masa pensiun hingga 67 tahun dengan syarat mempunyai prestasi kerja luar biasa serta sehat jasmani dan rohani berdasar keterangan dokter.
Menurut Eva, dalam pembahasan, satu-satunya fraksi yang menolak usul pemerintah tersebut adalah FPDIP. "Sewaktu voting di panja, fraksiku (FPDIP, Red) sendirian yang mendukung 65 tahun,'' beber Eva.
Eva menegaskan, pembatasan usia pensiun 65 tahun sebenarnya sejalan dengan semangat regenerasi hakim agung dan percepatan pembaruan di MA. Harapannya, lanjut Eva, kinerja penegakan hukum kelak dapat lebih baik. ''Tapi, nggak apa-apa. Ini kan baru kesepakatan di tingkat panja yang masih harus dikembalikan ke komisi III sebagai pengambil keputusan final,'' tegas politikus PDIP tersebut.
Bukankah kesepakatan di tingkat panja biasanya sudah hampir bisa dipastikan bakal lolos sampai paripurna DPR? ''Ah, tidak juga. Presedennya sudah ada kok,'' jawabnya.
Eva mencontohkan, pembahasan RUU tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) yang sudah disahkan DPR. ''Waktu itu ada pasal yang sudah disepakati panja bisa dibatalkan di tingkat pansus,'' tutur Eva.
Di tempat terpisah, Wakil Ketua Komisi III Aziz Syamsuddin juga menegaskan, kesepakatan itu baru sebatas di tingkat panja. Meski fraksinya setuju perpanjangan masa pensiun, namun Aziz terkesan masih keberatan dengan keputusan panja tersebut. ''Masih jauh. Keputusan 70 tahun itu belum mengikat. Jadi, masih bisa dicabut ketika dibawa kembali ke rapat komisi III,'' tegasnya.
Di tengah pembahasan revisi UU MA, mencuat isu suap. Menurut anggota panja dari FPDIP Gayus Lumbuun, isu aliran uang itu berkaitan dengan balas jasa para pihak yang berkepentingan terhadap hakim agung yang akan memasuki masa pensiun. Mereka mendorong perpanjangan masa pensiun hakim agung menjadi 70 tahun.
Isu aliran uang ini, imbuh Gayus, juga melanda kubu yang mendukung pembatasan maksimal 65 tahun. ''Karena suasana ini, saya memilih mundur dari panja,'' kata wakil ketua Badan Kehormatan (BK) DPR tersebut. Selain itu, menurut Gayus, dirinya juga ingin menghindarkan diri dari konflik kepentingan karena dirinya kebetulan berlatar belakang advokat.
Ketua Fraksi PPP Lukman Hakim Saifuddin membantah hasil rapat Panja Revisi UU MA yang menyatakan masa tugas hakim agung telah disepakati hingga usia 70 tahun. "Kata siapa sudah disetujui?" tegasnya saat ditemui di acara buka bersama DPP PPP, di rumah dinas menteri UKM dan Koperasi, Jl Widya Chandra, Jakarta, kemarin.
Menurut dia, selain fraksinya, beberapa fraksi lain belum sepakat atas poin pertambahan umur tersebut. "Selain kami dan PDIP, kalau tidak salah, PKS juga termasuk," tambahnya.
Karena belum sepakat, menurut Lukman, panja akan melanjutkan agenda untuk mendengar dulu argumentasi pemerintah. "Yang jelas, belum ada pengambilan keputusan atau voting di tingkat panja," tandasnya.
Lukman menyatakan, pihaknya menolak karena usul menambah batasan tugas hakim MA sampai usia 70 tahun dinilai akan menghambat regenerasi di internal korps hakim agung tersebut. "Jangan sampai regenerasi itu dihambat dengan aturan seperti ini," katanya.
DPR Menutup Mata
Pada bagian lain, Indonesia Corruption Watch (ICW) memprotes keras putusan panja tersebut. ''Itu menunjukkan ada yang salah urus. Itu juga membuktikan DPR masih status quo,'' ujar anggota Badan Pekerja ICW Emerson Juntho di Jakarta kemarin.
Menurut dia, keputusan DPR tersebut hanya akan menguntungkan kelompok tertentu. Seharusnya, kata dia, DPR tidak mempertahankan hakim-hakim tua. ''Kondisi itu membahayakan kepentingan peradilan di Indonesia,'' tegasnya.
Dia menilai DPR menutup mata atas kondisi MA yang jauh dari kesan bersih. ''Pengelolaan peradilan buruk, anggaran tidak transparan, hubungan dengan BPK tidak baik, temuan rekening liar, dan tidak ada pembaruan peradilan. Kondisi MA seperti itu seharusnya menjadi catatan DPR. Tidak malah menyetujui masa pensiun 70 tahun,'' ungkapnya.
Emerson juga menduga keputusan panja DPR itu merupakan dukungan kepada Ketua MA Bagir Manan. Saat ini, usia Bagir sudah 67 tahun dan pensiun pada 6 Oktober mendatang. ''Keputusan DPR itu membahayakan MA. Akan muncul arogansi kekuatan tua di MA. Kami ingin DPR mengkaji ulang putusannya tersebut,'' katanya.
Sebelumnya, Ketua Komisi Yudisial (KY) Busyro Muqoddas juga menyayangkan sikap DPR yang mendahulukan kerja merevisi UU MA daripada UU No 2/2004 tentang KY. ''(Revisi) Undang-Undang KY seharusnya didahulukan karena fungsinya sebagai lembaga pengawasan eksternal untuk MA,'' jelasnya.
Dia menyatakan, UU KY yang ada sekarang masih menghambat fungsi serta tugas KY. Kondisi tersebut bisa membatasi proses reformasi peradilan di Indonesia. Misalnya, banyak rekomendasi dari KY yang terhenti di MA. ''Jadi, menurut saya, UU KY mesti didahulukan direvisi. Jangan malah terbalik,'' tegasnya.
Mengenai usul usia pensiun hakim agung 70 tahun, Busyro menduga hal itu merupakan strategi memperpanjang jabatan hakim agung. ''Kita cermati, usul usia pensiun 70 tahun itu tidak responsif terhadap agenda transformasi dan reformasi peradilan,'' ujarnya. (pri/yun/dyn/agm)
Sumber: Jawa Pos, 22 September 2008