LSM Desak DPR Prioritaskan Bahas RUU Perlindungan Saksi

Koalisi Perlindungan Saksi meminta agar DPR memprioritaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Saksi. Mereka beralasan, selain amanat Tap MPR, keberadaan RUU itu merupakan usulan inisiatif DPR dan sudah tersedianya bahan serta mitra kerja dalam pembahasannya.

Selama ini tidak ada perlindungan terhadap saksi pelanggaran pidana ataupun pelapornya, kata Koordinator Koalisi, Supriyadi Widodo Eddyono, dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat setelah melakukan audiensi dengan Komisi Hukum dan HAM di gedung MPR/DPR kemarin.

Ia juga meminta agar dalam aturan tersebut pelapor yang terlibat dalam suatu tindak pidana memperoleh keringanan, baik proses hukum maupun sanksi yang akan diberikan. Hal ini juga terkait dengan sejumlah kasus yang pelapornya juga terlibat. Pengamanan dan perlindungan pelapor itu perlu, katanya.

Namun, soal bentuk lembaga yang sepantasnya melindungi saksi, Supriyadi mengaku belum memiliki pandangan. Apakah berbentuk komisi atau lembaga lain yang berada di bawah Departemen Kehakiman atau di bawah kepolisian dan kejaksaan. Hanya, jika lembaga itu berada di bawah kepolisian dan kejaksaan, ia menduga kedua lembaga tersebut akan menolaknya. Mereka akan merasa keberatan karena harus menangani banyak hal, ujar Supriyadi.

Desakan agar pembahasan Rancangan Perlindungan Saksi ini, kata dia, karena banyak saksi kasus pidana menjadi korban akibat tidak dilindungi. Dengan keadaan ini, menurut dia, banyak saksi dan korban enggan menjadi saksi. Dalam kasus-kasus itu saksi enggan memberitahukan kebenaran karena tidak ada jaminan atas perlindungan saat bersaksi, katanya.

Koalisi Perlindungan Saksi terdiri dari Elsam, ICW, Komnas Perempuan, Komisi Hukum Nasional, Walhi, LBH APIK, KRHN, JARI Indonesia, AJI, KOPBUMI, Tapal, Perhimpunan Pembela Publik Indonesia, LeIP, PSHK, Kontras, BAKUBAE, LBH Jakarta, Jatam, LBH Pers, Mitra Perempuan, dan Solidaritas Perempuan.

Komisi III, menurut Lukman Hakim Syaifuddin dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, DPR sepakat dengan tuntutan Koalisi. Untuk mempercepat pembahasan, Komisi III akan mengumpulkan tanda tangan anggotanya agar mengusulkan pembahasan RUU tersebut. Tapi mekanismenya dari awal. DPR tak bisa take over pembahasan DPR periode lalu, kata dia.

Selain mempercepat pembahasan, DPR juga menerima masukan dari Koalisi tentang bentuk dan kelembagaan perlindungan saksi dan korban. Dalam pertemuan itu, menurut dia, komisi juga sepakat lembaga itu nantinya independen dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Kewenangannya, antara lain, dapat bekerja sama dengan lembaga lain, seperti Badan Intelijen Negara.

Soal keanggotaan, kata dia, DPR juga memperoleh masukan agar nantinya berasal dari kalangan independen dan eksekutif. Tiga orang dari eksekutif dan empat orang dari masyarakat, katanya. Namun, kata dia, belum bisa dipastikan bagaimana cara pemberhentian keanggotaannya.

Mantan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Romli Atmasasmita memandang RUU Perlindungan Saksi ini sangat penting, khususnya yang berkaitan dengan kasus-kasus korupsi, pencucian uang, narkotik, dan terorisme. Sebab, (Selama ini) Banyak saksi nggak berani lapor karena tidak ada jaminan keamanan, ujarnya.

Romli mencontohkan kasus Endin yang melaporkan tindakan penyuapan, tapi akhirnya malah dia sendiri yang menjadi terdakwa. Jaminan keamanan kepada korban dan saksi, kata dia, bisa berupa perlindungan fisik, nonfisik, identitas, relokasi, dan keamanan.

Dalam masyarakat berkembang, menurut guru besar ilmu hukum di Universitas Padjadjaran itu, RUU Perlindungan Saksi bisa menggali partisipasi masyarakat, terutama untuk empat kejahatan tersebut. Tanpa ada perlindungan saksi, bisa dipastikan partisipasi masyarakat akan mandul.

Jika dikaitkan dengan konvensi internasional, kata Romli, dunia sudah memulainya lama. Terutama dalam Konvensi Internasional Antikorupsi karena memuat perlindungan bukan saja kepada saksi dan korban, tapi juga kepada ahli.

Sementara itu, Dirjen Peraturan dan Perundang-undangan Abdul Ghani Abdullah menyatakan, pemerintah juga sudah menyiapkan draf RUU Perlindungan Saksi. Hanya untuk membahas hal itu, harus menunggu prosedur yang berlaku di DPR.

Dalam draf RUU yang dibuat pemerintah, menurut dia, terdapat komitmen dalam masa pemeriksaan, saksi tidak akan dipertemukan dengan pelaku dan identitas saksi dilindungi. Yang penting bagaimana saksi merasa aman untuk melaporkan tindak kejahatan, ujar Ghani. Dibanding dengan negara lain, kata dia, Indonesia termasuk ketinggalan. Sebab, di negara lain, keamanan dan pengawalan juga diberikan kepada hakim dan jaksa. purwanto/istiqomatul hayati

Sumber: Koran Tempo, 23 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan