Lobi-lobi Merebut Dokumen Anggaran Relokasi
Pembangunan gedung tiga lantai untuk tempat relokasi pedagang kaki lima di kawasan Malioboro, Daerah Istimewa Yogyakarta ditengarai rawan penyimpangan. Situs Opentender.net (selanjutnya disebut Open Tender), yang dikembangkan Indonesia Corruption Watch, mengkategorikan pembangunan gedung berbiaya Rp 62 miliar ini sebagai proyek berisiko tertinggi di Yogyakarta. Pembangunan ini juga bertengger di peringkat ke-8 pengadaan paling rentan korupsi secara nasional pada tahun anggaran 2018.
Berangkat dari indikasi itu, organisasi masyarakat sipil, salah satunya IDEA, dan sejumlah jurnalis berkolaborasi untuk menginvestigasi dugaan penyimpangan dalam proyek ini. Kolaborasi ini dilakukan setelah mereka mengikuti Pelatihan Pengawasan Pengadaan Barang dan Jasa yang diselenggarakan ICW dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) pada 1-3 Juli 2019 di Yogyakarta.
Kedua belah pihak berbagi peran. Organisasi masyarakat sipil bertugas mendapatkan dokumen lelang dari Pemerintah Provinsi Yogyakarta. Sedangkan, para wartawan akan mengkonfirmasi temuan-temuan ini ke pejabat terkait. Hasil kolaborasi ini akan diterbitkan di media masing-masing.
Proses mendapatkan dokumen lelang ternyata melalui proses berliku. Peneliti IDEA, Ahmad Hedar memulai pencarian dokumen dengan menemui pejabat di Unit Layanan Pengadaan (ULP) dan Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral (PUP-ESDM). Cara ini ditempuh karena IDEA dan pemerintah kerap menjalin kemitraan misalnya dalam program pengentasan kemiskinan. Pertemuan pada 24 Juli 2019 ini sempat memberikan harapan bagi Hedar. Sebab, Kepala Bidang Cipta Karya Dinas PUP-ESDM, Arief Azazie Zain berjanji bakal memberikan salinan dokumen dalam kurun waktu satu pekan.
Dua minggu berselang, harapan Haedar pupus. Arief mengatakan bahwa Dinas PUP-ESDM tak bersedia menyerahkan dokumen lelang. Alasannya, dokumen itu bukan untuk publik. Dia merujuk pada Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 451 Tahun 2017 tentang Daftar Informasi yang Dikecualikan.
Haedar tak patah arang. Dia mempelajari regulasi itu sampai menemukan celah. Ternyata, beleid itu hanya mengatur daftar informasi yang dikecualikan di tingkat pusat, bukan di daerah. Dengan dasar ini, Haedar untuk ketiga kalinya kembali menemui Arief pada 9 Agustus 2019 dan menyampaikan keberatannya terhadap penolakan itu. Acuannya, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang menyatakan dokumen lelang bukan dokumen yang dikecualikan. Dia juga melampirkan sejumlah yurisprudensi putusan sengketa informasi yang mendukung pernyataan tersebut. Nyatanya, cara ini juga menempuh jalan buntu.
Gagal menggunakan pendekatan perkawanan, Haedar pun bersurat secara resmi ke dua instansi itu. Lagi-lagi usahanya menemui jalan buntu. Mereka membalas surat IDEA dan tetap bersikukuh dokumen yang diminta tak bisa dibuka untuk publik.
Setelah IDEA kembali mengajukan surat keberatan, barulah pemerintah merespon. Namun, Kepala Biro Pengembangan Infrastruktur Wilayah, divisi yang menaungi ULP, justru meminta ‘mediasi’ dengan IDEA. Padahal, kata Haedar, UU KIP tak mengatur proses mediasi ketika ada yang mengajukan keberatan. “Bahasa mereka, supaya soft dan smooth, dan memperoleh win-win solution,” kata Haedar.
Haedar pun menemui Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah Provinsi Yogyakarta dan Kepala Biro Pengembangan Infrastruktur Wilayah pada 28 Oktober 2019. Rupanya, ‘mediasi’ yang dimaksud adalah lobi kedua pejabat ini agar Haedar tak ngotot mendapatkan dokumen tender. Mereka keberatan membuka dokumen tender dengan alasan memuat data pribadi pemilik perusahaan. Haedar merasa alasan ini janggal. Sebab, pemenang tender mengerjakan proyek yang menggunakan anggaran publik.
Para pejabat ini belakangan mengalah. Mereka akhirnya bersedia menyerahkan dokumen dengan sejumlah syarat. Misalnya, dokumen tak disebarluaskan dan hanya digunakan untuk kepentingan internal IDEA. Hasil analisis ini pun mesti diserahkan pada pejabat-pejabat ini. “Mereka hanya memastikan dokumen tidak bocor,” ujar Haedar.
Di ujung pertemuan, pejabat-pejabat itu meminta IDEA mengisi daftar informasi yang dibutuhkan secara rinci. Pada awalnya Haedar sempat ragu karena khawatir ada dokumen yang terlewat. Untuk menyiasatinya, Haedar dan tim IDEA pun meminta semua dokumen tender sejak tahap perencanaan hingga serah terima.
Pada 14 Desember, kedua pihak kembali berjumpa. Pada pertemuan kali ini, sejumlah pejabat kembali mewanti-wanti Haedar agar dokumen ini hanya digunakan untuk kepentingan riset internal dan tidak dipublikasikan. Haedar menjelaskan, IDEA bakal mempublikasikan hasil analisis jika menemukan adanya penyimpangan. Kedua belah pihak sempat berdebat sebelum akhirnya pemerintah bersedia memberikan dokumen yang dibutuhkan.
Mereka juga bersikeras agar IDEA meneken pernyataan yang poinnya terkait larangan menyebarluaskan dokumen kepada pihak lain. Biro Pengembangan Infrastruktur Wilayah juga mewajibkan IDEA menyerahkan hasil analisis mereka hanya kepada Pemerintah Provinsi Yogyakarta. “Kami meminta poin terakhir direvisi. Jangan sampai nanti seakan-akan analisis hanya diserahkan ke pemerintah dan tidak ke yang lain (publik),” pungkas Haedar.
Setelah membuka dokumen yang diperoleh, Haedar cs rungsing. Dokumen yang diberikan ternyata hanya berisi rangkuman proses lelang dan aturan-aturan dalam proses penawaran. Menurut Haedar, informasi itu sebenarnya mereka bisa peroleh secara cuma-cuma di situs pemerintah tanpa melalui proses audiensi. “Dokumen itu kami anggap tidak berfungsi sama sekali. Tidak perlu susah payah minta dokumen,” tuturnya.
Haedar menduga pejabat di ULP mencurigai mereka sedang memantau proyek relokasi ini. Kendati tidak mengantongi dokumen lelang, para jurnalis tetap menerbitkan artikel penelusuran mereka. IDEA berkomitmen untuk terus memperjuangkan keterbukaan informasi untuk publik di Yogyakarta.