Lindungi Auditor BPK, Usut Tuntas Korupsi BLBI!
Skandal korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) memasuki babak baru. Setelah mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Tumenggung, diproses oleh KPK kali ini giliran Pemegang Saham Pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI),Sjamsul Nursalim, serta istri, Itjih Nursalim yang ditetapkan sebagai tersangka oleh lembaga anti rasuah itu (11/6). Sebagaimana diketahui bahwa dugaan korupsi ini telah merugikan keuangan negara yang sangat besar, yakni Rp 4,58 triliun.
Namun, ditengah KPK sedang giat mengusut perkara ini pihak Nursalim justru melayangkan gugatan perdata terhadap I Nyoman Wara selaku auditor BPK serta kelembagaan BPK sebagai institusi yang menerbitkan laporan hasil audit investigatif terhadap perkara ini. Nursalim melalui kuasa hukumnya menduga pihak BPK tidak berpegangan pada prinsip objektif, independen, dan tidak memuhi standar pemeriksanaan audit sebagaimana mestinya. Lalu pada 12 Juni 2019 sidang perdana tersebut akan dimulai di Pengadilan Negeri Tangerang.
Patut untuk diketahui, terhadap Pasal yang disangkakan kepada Sjamsul dan Itjih Nursalim tersebut mensyaratkan adanya kerugian keuangan negara, sederhananya jika unsur tersebut dibatalkan oleh Pengadilan maka BPK akan menghitung ulang dan diduga akan memakan waktu yang cukup lama. Tentu hal ini dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh Nursalim agar terlepas dari jerat hukum KPK.
Setidaknya ada 5 (lima) alasan bahwa gugatan perdata Nursalim salah alamat. Pertama, audit BPK yang dilakukan pada tahun 2017 lalu telah dibenarkan oleh Hakim pada persidangan dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Tumenggung. Pada saat pembacaan putusan, Tumenggung secara sah dan meyakinkan telah terbukti merugikan keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun karena menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Nursalim. Serta dalam putusan tersebut telah spesifik menyebutkan nama pihak lain yang harus dimintai pertanggungjawaban pidana, yakni Sjamsul Nursalim, Itjih Nursalim, dan Dorodjatun.
Padahal berdasarkan Legal Due Dilligence dan Financial Due Dilligence yang sebelumnya dilakukan diketahui aset berupa piutang BDNI kepada petambak udang Dipasena sebesar Rp 4,8 triliun terdapat misrepresentasi. Sehingga tidak layak dijadikan jaminan untuk melunasi hutang Nursalim kepada negara. Bahkan untuk memperkuat dalil diatas, pada tahun 2007 lalu aset tersebut setelah dilelang negara ternyata hanya bernilai Rp 220 milyar. Sehingga atas dasar itu Nursalim diduga diuntungkan sebesar Rp 4,58 triliun atas penerbitan SKL.
Kedua, audit BPK dengan jenis pemeriksaan dengan tujuan tertentu/investigatif tidak membutuhkan tanggapan dari pihak yang diperiksa. Dalam beberapa pernyataan kuasa hukum Nursalim menyebutkan bahwa audit yang dilakukan BPK tidak sah karena belum melampirkan tanggapan dari pihak yang diperiksa. Tentu ini pendapat yang keliru, karena dalam aturan internal BPK (PSP-300 tentang Standar Pelaporan Pemeriksaan) menyebutkan bahwa untuk pemeriksaan investigatif tidak perlu tanggapan dari pihak yang diperiksa.
Ketiga, audit yang dilakukan oleh BPK dilakukan atas permintaan KPK dalam rangka Penghitungan Kerugian Negara atas Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham/Surat Keterangan Lunas kepada Sjamsul Nursalim selaku Pemegang Saham Pengendali BDNI pada tahun 2004. Tentu hal ini merupakan bagian dari kewenangan sekaligus kewajiban KPK. Sebagai salah satu institusi yang diberikan mandat oleh peraturan perundang-undangan untuk menghitung kerugian negara, maka BPK telah tepat untuk mengeluarkan Laporan Hasil Pemeriksaan atas kasus ini pada tanggal 25 Agustus 2017 lalu sebagai upaya percepatan penanganan tindak pidana korupsi.
Keempat, audit BPK yang dilakukan pada tahun 2002, 2006, dan 2017 tidak bisa disamakan, karena pada prinsipnya ruang lingkup audit berbeda satu sama lain. Jika dibaca lebih rinci, audit BPK tahun 2002 merupakan audit investigatif, audit BPK tahun 2006 adalah audit kinerja, dan audit BPK tahun 2017 adalah merupakan audit investigatif dalam rangka perhitungan kerugian negara. Pada audit sebelumnya (2002 dan 2006) tidak pernah ada kesimpulan bahwa hutang Nursalim kepada negara telah selesai, maka dari itu tidak tepat jika kuasa hukum menjadikan hal ini sebagai dasar gugatan.
Kelima, seorang ahli yang memberikan kesaksian di muka persidangan tidak bisa dituntut secara pidana maupun perdata atas keterangan yang disampaikan. Hal ini diatur dalam Pasal 32 ayat (1) United Convention Against Corruption yang telah diratifikasi dalam UU No 7 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa seorang ahli harus mendapat perlindungan dari negara terkait dengan keterangan yang disampaikan di muka persidangan.
Hal tersebut pun diperkuat oleh resolusi yang diadopsi melalui mekanisme United Nations Human Rights Council nomor 35/25 tentang Dampak Negatif Korupsi dalam Penikmatan Hak Asasi Manusia. Dalam resolusi tersebut dinyatakan bahwa negara anggota Perwakilan Bangsa-Bangsa yang mana Indonesia termasuk di dalamnya, wajib untuk untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi masyarakat sipil, pelapor, saksi, aktivis antikorupsi, jurnalis, jaksa, pengacara, hakim, dan individu dari segala ancaman karena berupaya mencegah dan melawan korupsi.
Pada dasarnya kehadiran ahli dalam upaya penanganan sebuah perkara adalah membantu penegak hukum untuk membuat terang sebuah tindak pidana. Sepanjang keterangan itu dilandaskan dengan keilmuan serta pengalaman tanpa didasari dengan itikad tidak baik maka semestinya setiap ahli harus dilindungi oleh negara. Untuk itu menjadi tidak tepat, jika dalam kasus korupsi BLBI ini pihak Nursalim justru melayangkan gugatan perdata terhadap auditor BPK.
Berdasarkan penjelasan di atas maka Indonesia Corruption Watch menuntut agar:
-
Pengadilan tidak menerima permohonan gugatan perdata yang dilayangkan oleh Sjamsul Nursalim;
-
KPK secara kelembagaan tidak melepaskan tanggungjawabnya dengan memberikan perlindungan serta membela ahli dari berbagai macam ancaman, termasuk gugatan perdata dari tersangka korupsi;
-
BPK untuk terlibat aktif dalam upaya pembelaan ahli, karena dalam memberikan keahlian di persidangan merupakan bagian dari melaksanakan tugas kelembagaan;
Jakarta, 11 Juni 2019
Indonesia Corruption Watch
CP: Kurnia Ramadhana (082162889197) dan Wana Alamsyah (087878611344)