Lembaga Pengelola Aset Korupsi Perlu Dibentuk
Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zaenal Arifin Mochtar, mengusulkan dibentuknya lembaga independen dalam pengelolaan aset hasil korupsi. Keberadaan lembaga itu penting karena selama ini pengelolaan yang ditangani pemerintah dan kejaksaan kadang bermasalah. ”Kalau tidak hilang, maka disulap menjadi berkurang,” ujarnya dalam semiloka “Mendorong RUU Tipikor yang Ideal” di Fakultas Hukum UGM kemarin.
Dia mencontohkan pengelolaan aset hasil sitaan harta korupsi, yang sebelumnya berjumlah Rp 40 miliar dan belakangan berkurang sebanyak Rp 600 juta. Berkurangnya uang tersebut, menurut Zaenal, digunakan untuk menangani kasus korupsi lain dan biaya tugas ke luar negeri.
Pengelolaan uang hasil korupsi selama ini disetor ke kas negara melalui laporan tahunan Departemen Keuangan. Zaenal mengusulkan tiga pilihan model lembaga pengelola aset hasil korupsi. Pertama, diserahkan kepada lembaga yang dibentuk pemerintah di bawah Departemen Keuangan. “Ini cara termudah karena tinggal membuat keputusan presiden saja,” ujarnya.
Kedua, memberdayakan lembaga yang ada, seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Hanya, kata dia, cara ini harus mengubah beberapa undang-undang, seperti Undang-Undang Pencucian Uang. Masalahnya, kata dia, jika mempercayakan pada dua lembaga ini, agak berat. ”Maka, yang ketiga, perlu dibentuk lembaga baru yang kuat dan independen,” ujarnya. ”Mirip KPK-lah.”
Sementara itu, juru bicara Kejaksaan Agung, Jasman Panjaitan, tidak sependapat soal usulan pembentukan lembaga independen itu. Menurut dia, hal tersebut memboroskan anggaran negara. ”Sistemnya kan sudah baku, dalam KUHAP sudah jelas terhadap uang itu dikemanakan," ujarnya saat dihubungi kemarin.
Lagi pula, kata Jasman, Jaksa Agung telah memberikan arahan kepada jaksa-jaksa yang menangani kasus korupsi juga fokus soal pengembalian kerugian negara. ”Jadi bukan hanya hukuman tapi juga mengembalikan hasil korupsi ke kas negara,” ujarnya. HERU CN | SUTARTO
Sumber: Koran Tempo, 21 April 2009