Laporan Akhir Tahun ICW 2020
Laporan tahunan ICW periode 2020 ini terbit dalam situasi pandemi COVID-19, di mana ancaman korupsi lebih besar dibandingkan saat kehidupan normal. Mengapa korupsi meningkat saat pandemi? Penjelasannya sederhana. Pemerintah menggelontorkan anggaran yang sangat besar, hampir mencapai Rp 700 triliun pada 2019 untuk menanggulangi pandemi dan dampaknya, namun hampir semua proses belanja dan penggunaan uangnya dilakukan secara darurat. Artinya, prosedur yang biasanya diterapkan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas sektor publik tidak berlaku pada situasi darurat karena prioritasnya adalah respon cepat atas situasi genting.
Pada saat yang sama, sistem antikorupsi yang relatif baik yang Indonesia pernah punya, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah dilemahkan melalui terbitnya UU No 19 Tahun 2019, sebagai revisi atas UU No 30 Tahun 2002. Hasil dari kebijakan revisi ini juga langsung dirasakan, karena skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2020 anjlok drastis, menjadi hanya 37, dari 40 pada tahun lalu. Sedangkan penguatan berbagai unit pengawas dan pendeteksi korupsi di sektor publik tidak kunjung dilakukan sehingga menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya korupsi yang lebih gawat.
Fungsi pengawasan sosial dalam konteks pandemi - yang selama ini dilakukan oleh masyarakat sipil dan jurnalis- menjadi sangat terbatas, terutama karena aktivitas lapangan tidak dapat dilakukan secara bebas. Berbagai mobilitas fisik dibatasi oleh regulasi untuk mencegah penyebaran COVID-19 sehingga kerja-kerja pengawasan masyarakat sipil lebih banyak mengandalkan sarana teknologi informasi dan internet. Sementara tekanan melalui sarana kriminalisasi menggunakan UU ITE kerap menjerat para aktivis maupun jurnalis dan kian meminggirkan fungsi kontrol sosial.
Kami di ICW juga merasakan dampaknya. Dengan bergantung pada internet, kerja pengawasan publik lebih sulit dilakukan. Hal ini karena tidak cukup informasi publik tersedia di berbagai sumber resmi pemerintah, bahkan data berbagai pengadaan penting untuk penanganan pandemi COVID-19 sangat tidak memadai. Terbatasnya saluran komunikasi membuat respon Pemerintah atas pertanyaan dan permintaan klarifikasi juga menjadi sangat lamban, seolah memanfaatkan situasi untuk menjauh dari pertanggungjawaban publik. Kerja pengawasan belanja penanggulangan pandemi COVID-19 oleh ICW dan sepuluh jaringan kerja di berbagai daerah berhadapan dengan masalah ini, karena nyaris tidak ada badan pemerintahan yang menyediakan informasi publik yang memadai.
Namun demikian, dengan berbagai tantangan diatas, ICW tetap berusaha melakukan fungsi watchdog, disamping terus membangun kerja antikorupsi melalui berbagai pendekatan. Salah satunya yang terpenting adalah penguatan masyarakat sipil antikorupsi. Sekolah Anti Korupsi (SAKTI) yang biasanya dilakukan secara luring berubah menjadi full-online. SAKTI Papua dan SAKTI Papua Barat adalah ‘korban’ dari pandemi karena terpaksa dilakukan secara online.
Meskipun anak-anak muda Papua dan Papua Barat yang telah mengikuti SAKTI tetap merasakan manfaatnya, namun kami merasa bahwa SAKTI dengan tatap muka akan lebih berdampak. Kita semua tentu tidak ada yang tahu, kapan pandemi COVID-19 ini akan usai. Satu hal yang pasti, upaya penanggulangan COVID-19 dan dampaknya akan berjalan lebih lamban apabila sebagian besar anggarannya justru menguap karena dikorupsi oleh para pejabat publik tamak. Indikasinya sudah dapat kita temukan dimana-mana. Dalam konteks inilah, kerja ICW dan berbagai kelompok masyarakat sipil dalam mendorong tranparansi dan akuntabilitas sektor publik tetap dan menjadi lebih relevan.