Lapas Rentan Suap dan Pungli

TRANSAKSI suap berpotensi besar terjadi dalam pelayanan publik di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan). Untuk mengantisipasi hal tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar rapat koordinasi bersama Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM (Depkumham), Kamis (9/9).

Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan, M Jasin menyatakan bahwa skor integritas pelayanan publik di lapas wilayah DKI Jakarta menurun. "Skornya 3,15 pada tahun 2007 dan turun menjadi 2,99 di tahun 2008," kata Jasin kepada wartawan seusai dialog dengan petinggi Ditjen Lapas Depkumham.

Agar skor integritas yang menjadi indikator tindak pidana korupsi itu bisa terus ditingkatkan, KPK meminta Ditjen segera melakukan perbaikan sistem. Pembenahan awal bisa dimulai dengan menyeimbangkan jumlah penghuni lapas dengan kapasitas gedung. Pasalnya, jumlah warga lapas yang tidak sebanding dengan kapasitas hunian merupakan akar dari berkembangnya praktik suap. Suap tersebut biasanya berasal dari keluarga narapidana yang melakukan kunjungan. "Lapas itu keruwetannya luar biasa, maka suap tidak bisa dihindari," ujar Jasin.

Data terakhir Sub Bidang Kamtib Divisi Pemasyarakatan bulan Juli 2009 menunjukkan adanya kelebihan penghuni di tujuh lapas dan rutan yang tersebar di DKI Jakarta. Lapas kelas I Cipinang yang berkapasitas 3.216 orang dihuni oleh 880 orang. Rutan kelas I Salemba menampung 1.019 orang, padahal kapasitasnya hanya untuk 259 orang. Selain narapidana, jumlah penghuni tersebut termasuk dengan pegawai dan staf lapas.

Sementara itu, rendahnya kesejahteraan para petugas lapas juga dianggap sebagai faktor pendorong transaksi suap. Pegawai lapas yang tugasya menjaga keamanan sehari-hari hanyalah berpangkat 2B atau 3A.

Tidak hanya pelayanan publik, indikasi praktik pungutan liar juga terjadi dalam pelayanan hak napi seperti pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas. Kurangnya sosialisasi terhadap hak napi ini menjadi kesempatan yang digunakan untuk memungut biaya oleh petugas nakal. "Mereka (napi) tidak mengerti kalau ini haknya," ujar Untung.

Untung menjelaskan bahwa selama ini pihaknya tidak memiliki dana khusus untuk pembuatan berkas dan dokumen. Oleh karenanya, ia akan mengusulkan anggaran tersebut kepada negara untuk menghindari pembebanan biaya yang tidak perlu kepada napi ataupun keluarganya. Tindakan keras juga telah diberlakukan kepada petugas yang terbukti melakukan pungutan liar. "32 petugas tahun 2007 telah diberhentikan dan lebih dari itu pada tahun 2008," kata Untung.

Merespons analisis KPK, Ditjen Lapas akan segera membenahi lapas dan rutan dengan menitik beratkan di pelayanan kunjungan. Implementasi perbaikan sistem pelayanan akan dijalankan bulan Oktober dan diharapkan evaluasi oleh KPK maupun LBH bisa dilaksanakanpada bulan Desember. "Prioritas di DKI Jakarta tapi bukan berarti yang lainnya tidak disentuh," ujar Untung.[by : Melati Hasanah Elandis]

Sumber: Jurnal Nasional, 10 Juli 2009

{mospagebreak title=KPK Soroti Praktek Dugaan Suap di Lembaga Pemasyarakatan} 

KPK Soroti Praktek Dugaan Suap di Lembaga Pemasyarakatan

Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan evaluasi terhadap kinerja dan integritas di semua lembaga pemasyarakatan. Dari hasil evaluasi tersebut, KPK menemukan berbagai kelemahan lembaga yang ada di bawah naungan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia itu. "Misalnya soal pungutan liar dan dugaan suap serta kebiasaan memberi suap kepada petugas di lembaga pemasyarakatan," ujar Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Mochammad Jasin dalam keterangan pers di kantornya kemarin. Hadir dalam keterangan pers tersebut Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM Untung Sugiyono.

Menurut Jasin, evaluasi ini bertujuan membenahi berbagai kelemahan yang ada di lembaga pemasyarakatan. Praktek dugaan suap, Jasin mengatakan, sering kali terjadi ketika jam besuk. Pengunjung memberi atau bahkan dimintai uang saat menjenguk keluarga atau koleganya yang ditahan di lembaga pemasyarakatan.

Jasin menilai praktek dugaan suap itu muncul akibat kelebihan penghuni dalam lembaga pemasyarakatan. "Rasio antara jumlah petugas dan penghuni lembaga pemasyarakatan semakin jauh sehingga dugaan suap sulit dihindari," katanya. Jasin mencontohkan, kapasitas di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang adalah 850 orang, tapi dihuni oleh 3.216 orang. Praktek dugaan suap itu, menurut Jasin, merupakan hal yang sulit diberantas sehingga membutuhkan waktu yang lama.

Untung juga mengakui praktek di lingkungan lembaganya itu merupakan hal yang sulit dan dilematis. Menurut Untung, modus yang sering dilakukan petugas adalah memungut biaya dari para penjenguk atau dari tahanan. Padahal, kata Untung, pelayanan seperti itu tidak memerlukan biaya.

Modus lainnya, pengurusan hak remisi, cuti menjelang bebas bersyarat, dan pelepasan bersyarat yang sebenarnya hak para tahanan. "Ini karena tahanan atau penjenguknya tidak mengerti prosedurnya," katanya.

Karena itu, Untung menegaskan, titik berat pembenahan ini adalah aspek yang bersentuhan langsung dengan masyarakat sehingga nantinya tidak ada lagi pungutan liar. Untung berjanji segera mensosialisasi hal ini. "Targetnya tahun ini sudah ada perubahan," kata dia. FAMEGA SYAVIRA

Sumber: Koran Tempo, 10 Juli 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan