Label Rakyat dan Kebutuhan Rakyat
Pengelolaan keuangan lima kabupaten dan kota di Jawa dan Sumatera semuanya berwacana prorakyat. Label prorakyat setidaknya sudah menjadi obsesi pimpinan daerah meskipun saat mengarahkan kinerja birokrasi pada label kerakyatan itu ternyata tak semua aparatur daerah mampu menciptakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang berpihak kepada rakyat. Sebagian besar anggaran peruntukannya masih ditujukan untuk aparatur pemerintah sendiri.
Lima daerah yang secara khusus kami cek kinerja keuangannya ialah Kabupaten Jembrana (Provinsi Bali), Kota Blitar (Jawa Timur), Kota Solo (Jawa Tengah), Kota Yogyakarta (DI Yogyakarta), dan Kabupaten Solok (Sumatera Barat).
Berpihak kepada rakyat miskin, inilah yang jadi penjuru kinerja Kota Blitar. Dengan dana perimbangan dari pusat 65 persen, dari 22 persen pendapatan daerah yang sah, kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) Kota Blitar mencapai 11 persen.
Sebagai catatan awal, angka ini, menurut kriteria Kementerian Keuangan, masuk dalam kategori PAD yang terhitung tinggi sebab sebagian besar kota/kabupaten di Indonesia (total kini berjumlah 440 kabupaten/kota) rata-rata PAD-nya ternyata di bawah 4 persen dari APBD mereka.
Sejak lima tahun lalu, Pemkot Blitar menyusun anggaran yang memihak kepada rakyat miskin. Menurut Widodo, Kepala Bidang Anggaran Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Kota Blitar, APBD Kota Blitar juga naik dari Rp 388 miliar (tahun 2009) menjadi Rp 428 miliar (2010).
Namun, tahun 2010, alokasi belanja langsung hanya Rp 185 miliar, atau turun dibandingkan dengan tahun 2009 senilai Rp 201 miliar. Tahun ini penyerapan belanja tidak langsung APBD naik jadi 56 persen dari 48 persen tahun 2009. Salah satu komponen terbesarnya adalah pembayaran gaji pegawai dan gratifikasi guru. Situasi serupa ternyata terjadi di Kabupaten Solok (70 persen dari APBD) dan Kota Solo (68 persen).
Kota Blitar bahkan berani menyebut ada 22 program kerja yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat tahun ini, di antaranya Gerakan Perang Melawan Kemiskinan (GPMK) dengan hibah Rp 25 miliar, Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan dan Kecamatan (Rp 2,7 miliar), dan pembagian beras untuk masyarakat miskin di luar kuota keluarga miskin yang ditetapkan pemerintah pusat (Rp 551 juta). Selain itu, pemberian beras untuk kaum fakir dan insentif untuk guru mengaji (Rp 1,185 miliar), puskesmas gratis dan jaminan kesehatan gratis untuk masyarakat nonkuota Jamkesmas (Rp 1,150 miliar), beasiswa keluarga miskin (Rp 750 juta), serta pembinaan pedagang kaki lima (Rp 366 juta).
Kunci program prorakyat Blitar adalah partisipasi publik. Usulan disampaikan lewat musyawarah rencana pembangunan tingkat RW (rukun warga) sampai tingkat kota/kabupaten.
”Kabupaten Solok ini salah satu wilayah kabupaten tertinggal di Sumbar,” kata Bupati Solok Syamsu Rahim. Ia menyebut infrastruktur, seperti sambungan listrik, air bersih, jalan, dan jembatan, masih belum bisa dinikmati sebagian penduduk. Tak kurang 16 dari 74 wilayah nagari di Solok masih berkategori tertinggal dan sangat tertinggal.
Berdasarkan hasil pemantauan Kompas, hal itu setidaknya terjadi di Nagari Sariak Alahan Tigo. Tak ada jalan, tanpa listrik, dan ketiadaan jaringan telekomunikasi. ”Dulu belum ada kategori soal daerah tertinggal dan tidak tertinggal dengan jelas. Selain itu, pada masa Pak Gamawan (mantan Gubernur Sumbar) dulu ada pakta integritas bagi setiap pegawai negeri agar tak melakukan kolusi dan korupsi dan inilah yang dipublikasikan,” kata Syamsu, mantan Wali Kota Solok, dan baru dua bulan ini menjabat Bupati Solok.
Ia mengakui, APBD Kabupaten Solok senilai Rp 540 miliar, 70 persennya dialokasikan untuk membayar gaji PNS yang jumlahnya 6.900 orang. Saat ini sekitar Rp 26 miliar atau 2,7 persen dari APBD Solok berasal dari retribusi serta pajak.
”Idealnya proporsi untuk gaji PNS itu 55 persen saja dari APBD, ” kata anggota Komisi III Bidang Pembangunan DPRD Sumbar, Israr Jalinus. Itu sebabnya, menemukan kepala-kepala dinas yang punya inovasi, menguasai masalah, dan koordinasi antarinstansi, termasuk menjemput dana APBN di pusat, menjadi kebutuhan Kabupaten Solok. ”Dulu warga senang karena tanahnya diganti rugi untuk pembangunan jalan, sekarang baru terasa kalau akibat itu pasar jadi sepi,” kata Joni (53) seorang penjual di Pasar Cupak, Kecamatan Gunung Talang, soal pembangunan akses jalan tembus lintas Sumatera tahun 2003 yang kini membuat wilayah pasar itu jadi kota mati.
Kota Yogyakarta dan Kota Solo, dalam hal tata kelola pemerintahan dan pengelolaan keuangan yang baik dan bebas korupsi, bisa jadi contoh. Bahkan, Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto dan Wali Kota Solo Joko Widodo—yang akrab dipanggil Jokowi—baru memperoleh Bung Hatta Anti-Corruption Award, 4 Oktober 2010.
Wajar Tanpa Pengecualian
Tahun ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan status Wajar Tanpa Pengecualian (status audit tertinggi) untuk laporan keuangan Pemkot Yogyakarta tahun 2009. Hal itu salah satunya merupakan hasil mekanisme pengawasan berlapis yang diterapkan.
Inspektur Kota Yogyakarta Arbak Yhoga Widodo menjelaskan, sejak dua tahun lalu proses pengawasan oleh inspektorat dilakukan sejak anggaran mulai direncanakan, pelaksanaan anggaran, pelaporan, dan pada pertanggungjawaban. ”Selain oleh inspektorat, setiap satuan kerja juga mengawasi,” kata Yhoga.
Mirip dengan Blitar, masyarakat bisa mengawasi hingga level kelurahan. Di tingkat kota, Pemkot Yogyakarta merilis laporan keuangan dan dokumen perencanaan di situs resmi www. jogjakota.go.id.
Keterbukaan, lewat forum tatap muka, siaran rutin radio, dan internet, menurut Wali Kota Herry Zudianto, tidak dibangun dalam satu malam.
Wali Kota Yogyakarta sejak tahun 2001 itu mengembangkan nilai: desakralisasi birokrasi—dari semula berjarak dengan publik, kini terbuka terhadap kritik dan masukan. Sejak tahun 2006, misalnya, segala urusan perizinan dipusatkan pada dinas perizinan dengan pelayanan cepat dan biaya rendah.
Joko Widodo terus terang prihatin dengan proporsi APBD Kota Solo saat ini. Tiga tahun lalu, porsi APBD untuk masyarakat dibandingkan dengan belanja rutin gaji pegawai itu 52:48 persen. Namun, tahun lalu, porsi APBD terbalik menjadi 32:68 persen untuk masyarakat dan belanja rutin. ”Terus terang, ini akibat adanya kenaikan gaji pegawai. Kami akan coba membaliknya kembali tahun-tahun mendatang,” katanya.
Program terobosan
Dalam APBD Kota Solo 2010, dari pendapatan Rp 828,634 miliar, belanja mencapai Rp 838,253 miliar yang terdiri atas belanja tak langsung (untuk pegawai) masih sangat besar, yaitu Rp 561,160 miliar, dan belanja langsung Rp 277,092 miliar.
Belanja tidak langsung berupa belanja pegawai, bunga, hibah, bantuan sosial, bantuan provinsi/kabupaten/kota/pemerintahan desa dan partai politik, dan belanja tidak terduga. Belanja langsung berupa belanja pegawai, belanja barang dan jasa, serta belanja modal.
Sebab itu, diperlukan terobosan, misalnya untuk mengontrol program agar tidak mubazir.
Setiap dinas di Kota Solo diharuskan membuat proposal program terobosan, dengan pemaparan dan perbaikan berulang-ulang. Jokowi, seperti halnya Herry Zudianto, menerapkan manajemen pengawasan yang ketat. Diakuinya, saat ini baru 40 persen programnya yang terlaksana. Apa kendalanya? ”Sulit mengubah pola pikir aparatur.”
Pegiat Pusat Telaah dan Informasi Regional Surakarta Alif Basuki mempertanyakan porsi APBD Kota Solo. Namun, dia mengakui, pembangunan infrastruktur di Solo terbilang bagus, seperti revitalisasi pasar tradisional, relokasi pedagang kaki lima tanpa konflik, dan pembangunan taman. Namun, pembangunan fisik harus diiringi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Program Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Solo (PKMS) dan Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Solo (BPMKS) juga dinilainya baik, tetapi pelaksanaannya belum optimal, selain alokasi anggaran kunjungan kerja DPRD Rp 4 miliar dinilai terlalu besar.
Kabupaten Jembrana, Bali, termasuk salah satu kabupaten yang populer sejak Bupati I Gede Winasa (60) meluncurkan bantuan pada bidang pendidikan dan kesehatan dalam dua periode kepemimpinannya, di samping kemajuan teknologi informasi yang diterapkan untuk pemilu kepala daerah dengan sistem e-voting.
Kepala Bidang Humas Pemerintah Kabupaten Jembrana Satuhuning Tyas Winarti memastikan pengelolaan APBD 10 tahun terakhir ini fokus pada program kesehatan, pendidikan, dan TI. Tahun 2000, dari total APBD Rp 66,9 miliar, PAD Jembrana Rp 2,5 miliar. Tahun 2009, dari Rp 514,2 miliar APBD, PAD Jembrana Rp 20,7 miliar (2,48 persen).
Winarti melukiskan, kepemimpinan sentral Bupati Winasa boleh dikata menentukan karena tiap minggu dilaksanakan rapat koordinasi dan evaluasi dipimpin Winasa.
Namun, ibarat tak ada gading yang tidak retak, saat ini Winasa resmi menjadi tersangka dugaan penggelembungan nilai proyek pengolahan sampah di Dusun Peh, Desa Kaliakah, Negara, Jembrana, yang diduga merugikan negara miliaran rupiah.
Kini, banyak programnya dikritik, sebagaimana kritik Pelaksana Tugas Ketua DPRD Kabupaten Jembrana Ketut Sugiasa: mengapa dana jaminan sosial daerah Rp 17 miliar sumbernya dari dana hibah yang tidak jelas siapa yang memegang dan mengaturnya.
Begitu pula soal pengelolaan dana beasiswa kepada sekolah tinggi yang belum terakreditasi dan masuk ke yayasan diduga ada konflik kepentingan. (EKI/INK/AYS/HRD-Runik Sri Astuti dan Mohammad Final Daeng)
Sumber: Kompas, 20 Oktober 2010