KPU Diduga Boros; Pemilihan Teknologi ICR Diduga Pakai Cara Koruptif
Komisi Pemilihan Umum diduga melakukan pemborosan dalam pengadaan peralatan intelligent character recognition yang digunakan dalam Tabulasi Nasional Pemilu Legislatif 2009.
Apalagi, teknologi intelligent character recognition (ICR) ternyata tak bisa diandalkan dengan kenyataan bahwa data yang masuk ke tabulasi hanya 7,67 persen dari keseluruhan suara sah.
Tim Independent Monitoring Organization (IMO), Kamis (27/8), mencurigai pemilihan teknologi ICR tanpa studi kelayakan sehingga diduga dilakukan dengan cara-cara koruptif. IMO merupakan gabungan beberapa LSM, seperti Indonesia Budget Centre, Indonesia Corruption Watch, Sindikasi Pemilu dan Demokrasi, Indonesia Parlianmentary Center, Komite Independen Pemantau Pemilu, dan The Initiative Institute.
Peneliti IBC, Roy Salam, mengatakan, dari hasil penelusuran IMO, terdapat selisih total Rp 36,53 miliar. Selisih itu didapat dari harga pagu di DIPA KPU dengan nilai pasar. Nilai selisih pemborosan itu dihitung dari pengadaan tujuh item fasilitas teknologi informasi terkait tabulasi nasional, di antaranya komputer, alat pemindai (scanner), server, router, flash disk, dan toner.
Misalnya saja, untuk pengadaan satu set komputer bagi 604 KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota, dalam DIPA KPU sebesar Rp 16,37 miliar. Namun, IMO mengadakan analisis harga pasaran untuk satu set komputer dengan jumlah 604 unit, nilainya hanya Rp 8,195 miliar. Artinya, kata Roy, ada selisih antara DIPA KPU dan harga pasar sebesar 50 persen.
”Dari deskripsi itu bisa disimpulkan bahwa perencanaan anggaran yang buruk untuk program TI KPU memunculkan pemborosan, baik dalam penentuan pagu anggaran maupun pengadaan barang dan jasa. Selain itu, sistem tabulasi yang tidak berfungsi baik menunjukkan gagalnya proses prakualifikasi dan pascakualifikasi,” kata Roy.
Menanggapi hal itu, Sekjen KPU Suripto Bambang Setiyadi mengatakan, sudah lama ada laporan dari LSM ke KPK. KPK telah meminta dokumen-dokumen KPU, termasuk dokumen lelang. ”Ketua dan anggota KPU serta Sekjen KPU juga telah menyampaikan laporan kepada KPK. Adanya berita tentang pemborosan, kita belum tahu, tergantung KPK mana yang mungkin dimaksud pemborosan itu,” kata Bambang.
Menurut Bambang, setiap ada pengeluaran anggaran ada kuasa pengguna anggaran sehingga pengelolaannya ada di tiap-tiap tingkatan, yaitu di pusat, provinsi dan kabupaten/kota. (SIE)
Sumber: Kompas, 28 Agustus 2009
--------------------
KPK Diminta Periksa KPU
Komisioner juga harus bertanggung jawab karena menentukan spesifikasi barang.
Lembaga pemerhati pengadaan barang dan jasa, Indonesia Budget Center, meminta Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa anggota dan Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Umum soal pengadaan perangkat teknologi informasi. Direktur Indonesia Budget Center Arif Nur Alam mengatakan komisioner dan sekretaris jenderal bertanggung jawab atas proses pengadaan perangkat tersebut. “KPK harus segera melanjutkan kasus ini ke arah penyidikan dan penyelidikan,” kata Arif saat dihubungi kemarin.
Menurut dia, keterlibatan anggota terlihat dalam penyusunan spesifikasi perangkat yang harus diadakan. Dalam penyusunan spesifikasi ini, bisa terjadi pengarahan pengadaan ke merek tertentu seperti yang diduga KPK. Bukan tak mungkin, kata Arif, Komisi Pemilihan didorong perusahaan tertentu dalam penetapan spesifikasi barang yang diadakan.
Sebelumnya, KPK menilai ada potensi pemborosan keuangan negara dalam pengadaan perangkat teknologi informasi saat penghitungan cepat pemilihan legislator. KPK juga menilai terjadi keseragaman merek dalam peralatan yang diadakan.
Arif menilai, potensi pemborosan memang ada dalam pengadaan tersebut. Indikator paling kuat, hasil yang ditampilkan dalam penghitungan cepat tak sesuai dengan anggaran Rp 234,02 miliar yang digunakan. “Dengan dana sebesar itu, hanya sekitar 10 persen hasil penghitungan yang ditampilkan,” katanya.
Arif juga meminta Badan Pemeriksa Keuangan mengadakan audit investigatif terhadap pengadaan peralatan teknologi dan informasi. Audit investigatif ini, kata Arif, diyakini lebih mampu mengungkap potensi korupsi ketimbang audit umum yang sedang dilaksanakan Badan Pemeriksa. “Hasil audit investigatif Badan Pemeriksa juga bisa digunakan KPK untuk menindaklanjuti kasus ini,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Umum Suripto Bambang Setyadi mengatakan, potensi pemborosan dalam pengadaan perangkat teknologi informasi bukan hanya tanggung jawab Komisi pusat. Sebab, pengadaan perangkat teknologi informasi juga dilakukan oleh Komisi di daerah. “Kalau uangnya ada di provinsi, yang tanggung jawab, ya, provinsi,” ujar Bambang kemarin.
Ia mencontohkan pengadaan alat pemindai (scanner). Dana yang digunakan berasal dari Komisi provinsi dan kabupaten/kota. Tiap daerah mendapat Rp 25 juta untuk mengadakan satu pemindai. Sedangkan contoh pengadaan peralatan di pusat adalah jaringan, yang tendernya dimenangi oleh PT Telkom.
Menurut Bambang, tanggung jawab pengadaan juga bukan hanya ada di Sekretariat Jenderal, tapi juga di komisioner, melalui penetapan spesifikasi barang yang diadakan dan kemudian ditetapkan dalam bentuk peraturan Komisi Pemilihan. “Berdasarkan peraturan itu, jajaran Sekretariat Jenderal melaksanakan pengadaan,” katanya.
Sekretariat Jenderal, kata Bambang, juga telah memberikan penjelasan ke Komisi Pemberantasan Korupsi soal proses pengadaan. Komisi Pemilihan juga memberikan dokumen lelang peralatan teknologi-informasi. Bambang mengaku belum mengetahui potensi pemborosan yang dimaksud. Saat ini, kata dia, Badan Pemeriksa Keuangan juga tengah mengaudit laporan keuangan Komisi Pemilihan Umum. PRAMONO
Sumber: Koran Tempo, 28 Agustus 2009