KPK Tegaskan Dana LPS Termasuk Uang Negara
Teka-teki tentang status dana penyertaan modal sementara (PMS) dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kepada Bank Century mulai menemukan titik terang. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa dana LPS termasuk kategori keuangan negara.
Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean menyatakan, hal itu mengacu pada definisi keuangan negara dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
''Berdasar Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dana LPS termasuk keuangan negara,'' katanya dalam rapat kerja KPK bersama komisi III di gedung parlemen kemarin (25/1).
Dalam paparan tertulisnya, KPK memedomani pengertian keuangan negara sebagaimana ditentukan dalam penjelasan umum UU Pemberantasan Tipikor. Di situ disebutkan, keuangan negara merupakan seluruh kekayaan dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan. Termasuk, segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Kemudian, yang berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban BUMN/BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasar perjanjian dengan negara.
Pengertian yang dipedomani itu juga sejalan dengan pengertian yang diatur dalam pasal 1 angka 1 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Tumpak enggan menanggapi jika ada ketentuan undang-undang lain yang berbeda dari UU Pemberantasan Tipikor tentang definisi keuangan negara.
Terkait dengan penanganan kasus Bank Century oleh KPK, dia belum bersedia menanggapi lebih jauh. Misalnya, apakah ada kerugian negara dalam pengucuran bailout Rp 6,7 triliun itu. ''Ini masih tingkat penyelidikan. Hasilnya belum bisa disampaikan,'' ujar mantan jaksa tersebut.
Tumpak yang juga pimpinan KPK periode lalu itu membantah mendapat intervensi dalam menangani kasus Bank Century. Dia beralasan, KPK masih dalam tahap pengumpulan alat bukti. ''Tidak ada intervensi dari siapa pun. Kalau terkesan lamban, itu dalam rangka pencarian alat bukti,'' tegasnya.
Dalam forum raker, Wakil Ketua Komisi III Tjatur Sapto Edy meminta pendapat KPK tentang apakah kebijakan bisa dipidanakan. Menanggapi pertanyaan itu, Tumpak menjelaskan bahwa kebijakan bisa dipidanakan jika ada niat jahat yang melatarbelakangi kebijakan tersebut. ''Niatnya dulu harus jelas,'' terangnya.
Saat didesak soal kebijakan dalam pengucuran bailout, dia lagi-lagi bungkam. ''Tidak bisa kami sampaikan karena ini masih penyelidikan,'' ujarnya.
Wakil Ketua KPK Chandra M. Hamzah menjelaskan, KPK sudah melakukan serangkaian proses dalam menyelidiki kasus Bank Century. Di antaranya, meminta keterangan 36 orang. Rinciannya, 14 orang dari BI, LPS (7 orang), Bank Century (13 orang), dan Depkeu (2 orang). ''Kami juga mendapatkan dokumen-dokumen dari BI, BPK, Bank Century, dan LPS,'' jelasnya.
Menurut dia, penyelidikan KPK dimulai setelah menerima audit investigatif dari BPK. Dalam perjalanannya, penyelidik KPK juga berkoordinasi dengan auditor BPK serta Bapepam. ''Dari keterangan tersebut, penyelidik masih mendalami dan hasilnya belum bisa disimpulkan,'' ungkap mantan pengacara itu.
Chandra menegaskan, untuk meningkatkan status ke tahap penyidikan, KPK setidaknya memerlukan dua alat bukti yang cukup. Terkait dengan desakan memeriksa Sri Mulyani dan Boediono, dia mengatakan, ''Tanpa memanggil, kami masih bisa mendapatkan informasi.''
Dua Ahli Beda Pendapat
Status dana Rp 6,7 triliun yang digunakan LPS mem-bailout Bank Century juga memicu perdebatan dalam rapat pansus yang menghadirkan dua pakar hukum senior. Yakni, mantan hakim konstitusi Profesor H A.S. Natabaya dan guru besar hukum UI Profesor Erman Rajagukguk.
Natabaya menegaskan bahwa posisi dana yang dimiliki LPS berasal dari keuangan negara. Sesuai UU No 17/2003, dana yang bersumber dari pihak lain, namun menggunakan fasilitas negara, merupakan keuangan negara. Persoalan yang membedakan saat ini adalah status badan hukum LPS.
Menurut dia, meski uang yang digunakan mem-bailout Bank Century merupakan hasil premi pembayaran bank peserta penjaminan dan tidak mengurangi modal awal LPS dari APBN Rp 4 triliun, tetap saja uang premi tersebut adalah uang negara. ''Sebab, uang itu dikumpulkan dengan fasilitas negara dan diamanatkan dalam undang-undang. Jadi, itu jelas uang negara,'' tegasnya.
Natabaya menuturkan, UU tentang Kekayaan Negara mengamanahkan bahwa dana LPS merupakan bagian dari kekayaan negara. ''Karena itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berhak mengaudit LPS,'' jelas mantan hakim konstitusi tersebut.
Berbeda dari Natabaya, ahli hukum Erman Rajagukguk menyatakan, dana yang ada dan dialirkan LPS sudah merupakan modal dalam LPS. ''Dana berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, tapi merupakan kekayaan negara yang dipisahkan,'' ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, dana yang disalurkan berasal dari premi bank peserta program penjaminan. Karena itu, LPS sebagai penjamin berhak menggunakan dana tersebut untuk menyelamatkan bank. ''Jadi, pendapat saya jelas, itu tidak terkait langsung dengan uang negara,'' ungkapnya.
Erman juga menjelaskan, kelebihan penggunaan dana LPS akan dimasukkan ke APBN sebagai pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Namun, ahli hukum ekonomi Universitas Indonesia itu tetap menegaskan bahwa dana LPS bukan uang negara, meski penggunaannya diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). ''Berdasar doktrin hukum, badan publik punya kewenangan atas uangnya, tidak otomatis uang negara, meski diaudit BPK,'' tegasnya.
Menanggapi hal tersebut, anggota Pansus Century Azis Syamsuddin menyatakan heran kepada Erman yang berpendapat bahwa dana LPS bukan dana negara. ''Berdasar amanah UU No 10/2004 tentang LPS, disebutkan secara jelas bahwa dana LPS adalah dana negara,'' ujarnya di dedung DPR, Jakarta, Senin (25/1).
Dia mengungkapkan, sebagai praktisi hukum, dirinya prihatin terhadap pendapat Erman bahwa dana LPS bukan dana negara. ''Silakan saja Prof Erman berpendapat seperti itu, nanti panitia angket mengundang ahli lain, pendapat akan berbeda lagi,'' ujarnya.
Keterangan Natabaya dalam rapat Pansus Century tersebut juga memperkuat keabsahan penolakan perppu oleh DPR. Paripurna DPR pada 18 Desember 2008 yang meminta pengajuan RUU JPSK menyiratkan adanya keputusan penolakan. ''Kalau DPR minta UU baru, berarti perppu itu ditolak,'' kata Natabaya.
Dia menyatakan, adanya skala persetujuan saat paripurna 18 Desember tersebut tidak perlu diperdebatkan. Ketika itu, empat fraksi menyatakan setuju, empat fraksi menolak, sedangkan sisanya belum menyatakan persetujuan.
Nah, meski yang setuju dan yang menolak berimbang, yang dilihat kini adalah surat yang dilayangkan Ketua DPR Agung Laksono saat itu. Suratnya jelas, meminta pemerintah mengajukan UU baru pengganti Perppu JPSK. ''Dari situ, bisa dikatakan bahwa yang belum mengambil keputusan akhirnya memutuskan menolak,'' katanya.
Natabaya juga menolak keputusan paripurna DPR saat itu dikatakan mengambang. Sebab, pernyataan bahwa Perppu JPSK yang diminta adalah pengajuan UU baru merupakan wewenang DPR. ''(Isi surat) itu kan bergantung tata tertib DPR. Di situ diatur atau tidak. UUD 45 tidak menyebut kata menolak atau menerima, tapi persetujuan,'' jelasnya.
Keterangan lain yang memperkuat posisi penolakan Perppu JPSK juga berasal dari pencairan penyertaan modal sementara (PMS) dari Lembaga Penjamin Simpanan. Pada pencairan tahap I dan II, LPS menggunakan dasar hukum Perppu JPSK. Pencairan itu dilakukan sebelum paripurna DPR mengadakan paripurna pada 18 Desember 2008.
Natabaya menyatakan, jika tidak dicantumkan, Perppu JPSK itu dianggap tidak berlaku oleh LPS. Sebab, harus ada pijakan hukum dari setiap keputusan yang bersifat kenegaraan. ''Kalau tidak dicantumkan, berarti tidak lagi mengikat. Jika (dasar hukum) yang lain ada, berarti ada perubahan,'' ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Pansus Hak Angket Bank Century Idurs Marham merasa kesal karena keinginan pansus mendapatkan semua dokumen terkait kasus baliout Bank Century, tampaknya, terhambat. Sebab, ada beberapa dokumen yang hingga kini masih belum diserahkan Departemen Keuangan dan Bank Indonesia.
Menurut dia, permintaan kepada Depkeu dan BI, termasuk sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), sudah disampaikan jauh hari. Namun, sebagian dokumen itu baru sampai ke sekretariat pansus kemarin. ''Kenapa sih? Apa susahnya menyampaikan dokumen?'' ujarnya kesal.
Idrus menuturkan, dokumen-dokumen tersebut sangat diperlukan untuk melengkapi keterangan para saksi. Dokumen yang diminta terdiri atas risalah, transkrip, rekaman, hingga minutes meeting rapat konsultasi BI dengan KSSK pada 13, 14, 17, 18, 19, 20, dan 21 November 2008. Termasuk, rapat KSSK dan rapat kabinet di kantor Wapres JK pada 20 November 2008 atau siang menjelang rapat KSSK.
Dia mengakui, dalam surat pengantar Depkeu dan BI, tidak disebutkan alasan dokumen belum diberikan. ''Kalau alasannya dokumennya tidak ada, lha ke mana datanya selama ini? Nanti kan bisa ada interpretasi lain (sengaja tidak diberikan, Red). Yang jelas, apa pun caranya, data itu harus kita ambil,'' tegasnya.
Menurut Idrus, dokumen-dokumen tersebut sangat diperlukan untuk mengetahui jalannya rapat, termasuk siapa melontarkan ide apa dan bagaimana perdebatannya. Karena krusial, pansus sudah menyiapkan senjata pemungkas jika ternyata masih ada pihak-pihak yang enggan menyerahkan dokumen yang diminta. ''Sesuai undang-undang, kami berhak menyita melalui pengadilan negeri,'' ujarnya.
Sementara itu, rapat pansus untuk mengambil kesimpulan sementara yang sedianya dilakukan tadi malam diundur. Sebab, masih ada beberapa fraksi yang perlu mendalami lebih lanjut. ''Rencananya kami lakukan besok malam (nanti malam, Red),'' katanya. (fal/bay/owi/iro)
Sumber: Jawa Pos, 26 Januari 2010