KPK Tak Butuh Revisi Peraturan
Revisi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dipandang belum perlu saat ini. Undang-undang yang berlaku sekarang, yaitu UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001, dinilai masih memadai.
”Sikap KPK sampai hari ini adalah UU Tipikor itu belum perlu direvisi, demikian juga UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang sudah masuk Prolegnas belum perlu direvisi,” kata Johan Budi SP, Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Rabu (30/3).
Ketua KPK Busyro Muqoddas dalam pertemuan dengan wartawan di Gedung KPK pada awal Maret lalu mengatakan, pihaknya telah melakukan kajian terhadap draf revisi UU Tipikor sementara untuk UU KPK, tetapi drafnya belum ada. Busyro mengaku kaget, revisi UU KPK telah masuk nomor empat dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
”Kami sudah sounding sana-sini. Prinsip kami bahwa sesungguhnya KPK dengan undang-undang yang saat ini sudah cukup memadai, tidak perlu direvisi,” kata Busyro waktu itu.
Johan mengatakan, KPK adalah pelaksana dari UU itu sehingga tidak bisa berbuat apa-apa jika memang pemerintah atau DPR mengubahnya. Menurut dia, UU saat ini sudah memadai, bahkan mengakui belum dipergunakan secara maksimal. ”Yang ada saja belum dimaksimalkan, masa mau diubah, apalagi kalau dengan memangkas kewenangan KPK,” ujar Johan.
Indonesia Corruption Watch menilai ada sembilan kelemahan mendasar pada draf revisi UU Tipikor yang berada di tangan pemerintah. Salah satunya adalah penghapusan atau penurunan ancaman hukuman maksimal yang menjadi salah satu sifat extraordinary pada UU itu.
Dengan hilangnya sifat extraordinary, menurut Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Febri Diansyah, pemerintah telah menurunkan status korupsi dari kejahatan luar biasa menjadi kejahatan biasa.
Namun, upaya memangkas kewenangan penuntutan KPK bukanlah barang baru. Hal itu pernah dilakukan DPR pada pembahasan RUU Pengadilan Tipikor. Upaya serupa diperkirakan terus berlanjut, baik pada RUU Pemberantasan Tipikor, RUU KPK, maupun RUU Kejaksaan. ”Dugaan saya, KPK memang tidak akan diberi kewenangan penuntutan,” kata analis hukum pidana Universitas Indonesia (UI), Ganjar Laksamana, Rabu.
Ganjar mengaku beberapa kali bertemu dengan pihak kepolisian dan kejaksaan yang mengaku keberatan dengan banyaknya kewenangan KPK. Mereka menyebutkan, di antara lembaga serupa di dunia, hanya KPK Indonesia yang memiliki begitu banyak kewenangan, mulai dari penyelidikan, penyidikan, hingga penuntutan. Padahal kepolisian dan kejaksaan juga memiliki kewenangan yang sama.
Ganjar mempertanyakan pihak mana sebenarnya yang gerah dengan kewenangan penuntutan KPK. ”Sepertinya elite politik saja,” kata Ganjar. (RAY/ANA)
Sumber: Kompas, 31 Maret 2011
--------------------
KPK Tak Terlibat Aktif Bahas RUU Anti-Korupsi
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi M. Jasin mengatakan pemerintah tidak melibatkan KPK secara aktif dalam pembahasan revisi Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut Jasin kemarin, KPK terakhir kali dilibatkan pada 2007.
Namun, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa pemerintah terbuka terhadap masukan berbagai pihak.“Tidak tepat bila dikatakan bahwa penyusunan RUU ini tidak melibatkan atau berkonsultasi dengan KPK,” tulis juru bicara Kementerian Hukum, Martua Batubara, dalam surat hak jawab atas Editorial berjudul “Rancangan yang Pro-Koruptor” (Koran Tempo, 30/3).
Menurut Martua, RUU Anti-Korupsi yang tengah digodok pemerintah lebih lengkap dibanding Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diperbaiki dengan UU No. 20/2001. Dia mencontohkan pengertian kerugian akibat korupsi yang telah diperluas. "Tidak hanya bagi negara, tapi juga kerugian bagi swasta," tulis Martua.
Martua menambahkan, RUU terbaru juga mengatur perampasan aset hasil tindak pidana korupsi, antara lain dengan memperkenalkan tuntutan perampasan aset secara cepat. Selain itu, RUU versi pemerintah akan mengatur perampasan aset tersangka atau terdakwa yang meninggal sebelum putusan atau melarikan diri. Perampasan aset koruptor yang tidak dikenal pun diatur dalam rancangan ini.
Meski bertambah di sanasini, menurut Jasin,RUU Anti- Korupsi versi pemerintah itu justru akan melemahkan pemberantasan korupsi. Bahaya itu antara lain terlihat dari penghilangan kewenangan KPK untuk melakukan penuntutan, aturan bahwa pelapor kasus korupsi bisa dipidana, hingga aturan yang menyatakan advokat tak bisa dipidana.“Ini semua kan pelemahan,”kata Jasin. ISMA SAVITRI | JAJANG JAMALUDIN
Sumber: Koran Tempo, 31 Maret 2011