KPK Perlu Diberi Kewenangan Luar Biasa
Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor) yang telah disahkan anggota DPR akhirnya tetap mencantumkan kewenangan penuntutan dan penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Padahal sebelumnya, kewenangan KPK ini sempat mendapat penolakan sebagian besar fraksi DPR. Dalam pembahasannya, DPR mewacanakan tiga hal. Pertama, penghilangan kewenangan penuntutan oleh KPK. Kedua, komposisi hakim yang diserahkan kepada ketua pengadilan. Dan ketiga, adanya limitasi berlebihan terhadap kewenangan penyadapan. Apa tanggapan pengamat tentang UU Tipikor tersebut? Berikut, perbincangan Very Herdiman dari Jurnal Nasional dengan Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang Herman Suryokumoro, S.H., M.S.
Apa tanggapan Anda terhadap UU Tipikor yang baru saja disahkan DPR?
Keputusan DPR tentang UU Tipikor tersebut merupakan keputusan yang bijak dan mencerminkan komitmen wakil-wakil kita di DPR dalam pemberantasan korupsi. Karena itu, saya menyambut baik lahirnya UU ini. Karena kewenangan KPK yang semula diwacanakan akan dicabut ternyata tidak terjadi.
Konsep awalnya, KPK adalah lembaga yang tidak permanen, hanya sementera ketika gerakan antikorupsi ini dijalankan. Ketika gerakan antikorupsi stabil maka hal itu bisa dikembalikan ke semula. Kalau dilihat dari fungsi dan kewenangannya, memang KPK memiliki fungsi dan kewenangan yang luar biasa besar, mulai dari menyidik sampai mengadili. Dan dia tidak memisahkan fungsi-fungsi itu. Seharusnya fungsi penyidikan dan peradilan memang dipisahkan. Tapi hal ini bisa dimaklumi karena hal itu dalam rangka menggerakkan gerakan antikorupsi. Kalau efek gerakan itu sudah bagus maka bisa dikurangi. Tapi kalau saya lihat sekarang masih belum. Efek gerakan itu belum terasa karena masih banyak kasus korupsi terjadi. Karena itu (jika kewenangan KPK itu dipreteli, red.) saya kuatir upaya pemerintah untuk memberantas korupsi ini bisa terhambat dan tidak berhasil.
Karena itu kewenangan KPK itu masih dibutuhkan saat ini?
Ya betul. Saya melihat juga langkah KPK efektif untuk melakukan penetrasi supaya tidak terjadi korupsi. Tapi sayang kalau gerakan ini baru dimulai sudah dikotori dan dikurangi. Bisa saja nanti hal ini akan terjadi set back. Karena itu, bila kewenangan KPK itu dipreteli, saya pesimis gerakan antikorupsi bisa berjalan baik. Jika itu terjadi, maka terang saya pesimistis dan gerakan antikorupsi kembali ke masa lalu.
Waktu itu, pertimbangan DPR adalah menghindari dualisme dalam sistem peradilan antara Jaksa dan KPK?
Memang sejak lama saya melihat ada jealous antara Jaksa dan Polisi dengan KPK. Karena kewenangan yang mereka miliki menjadi tumpang tindih dengan kewenangan KPK. Bisa dikatakan kewenangan mereka itu diambil alih oleh KPK. Karena itu sebenarnya tidak perlu kewenangan KPK itu diambil alih cukup dipertemukan saja antara polisi, kejaksaan dan KPK. Ketiganya harus dipertemukan dan diberi pemahaman bahwa kewenangan KPK itu akan diambil alih dan kembali ke semula jika situasi sudah kembali normal.
Pertanyaannya kapan situasi normal itu berlaku?
Sebetulnya sekarang ini sudah mulai terasa. Memang KPK dalam bertindak juga terkesan over (berlebihan, red.). Karena itu ada guyonan bahwa kalau dulu orang berebut menjadi pimpinan proyek (pimpro) maka sekarang orang takut. Justru hal ini yang perlu diintrospeksi oleh KPK. KPK dalam melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan terlalu cepat.
Mengapa hal itu bisa terjadi?
Pada masa Antasari (Ketua KPK non aktif, red.) pembinaan memang kurang dilakukan. Pembinaan KPK pada masa Pak Taufiqurrahman Ruki lebih baik ketimbang sekarang. Pada masa Ruki pembinaan masih menonjol sedangkan sekarang hampir tidak ada. KPK langsung menindak, menyidik. Itu yang membuat orang ketakutan dan mengakibatkan tumpang tindihnya kewenangan kejaksaan dan kepolisian. Bahkan diantara mereka saling memeriksa. Menurut saya, fungsi dan kewenangan KPK itu hanya sementara. Akan kembali ke semula, tapi bukan saat sekarang ini. Tunggu gerakan antikorupsi itu mulai kelihatan berhasil. Dan itu bisa tidak lama lagi karena keberhasilan itu sudah muncul.
Tapi dari beberapa kali uji materi terhadap UU KPK, MK menyatakan kewenangan KPK tidak bertentangan dengan konstitusi?
Saya pikir kewenangan itu memang diperlukan dalam situasi seperti sekarang ini dimana korupsi masih merajalela. Tapi ke depan perlu ditata. Ditata bukan berarti dihapuskan. Dalam hal apa penyadapan itu dilakukan, disitu ada batasan. Tidak boleh sembarangan menyadap. Misalnya ketika suatu penyelidikan sudah menemukan fakta yang bisa ditingkatkan kepada penyidikan itu mungkin perlu dibantu oleh penyadapan. Sekarang ini tidak ada. Jangankan penyelidikan, tidak ada kasusnya pun - isunya - hampir semua pejabat handphone mereka disadap. Hal ini membuat jera para pejabat dalam melakukan tindakan terutama yang terkait dengan proyek. Mereka hati-hati. Efek positifnya memang di situ.
Menurut Anda pemeriksaan (dan penetapan tersangka) kepada dua pimpinan KPK adalah indikasi dari upaya melemahkan KPK?
Bisa saja. Tapi saya professional saja menilai. Saya tidak berpikir ke sana. Toh semuanya di bawah koordinasi satu atap. Bisa saja hal itu terjadi karena langkah terhadap KPK terlalu cepat terjadi. Itu sangat sensitif.
Sebelumnya sempat beredar wacana agar Presiden presiden mengeluarkan perppu?
Itu berbahaya. Membuat perppu kan harus ada situasi darurat. Dimana situasi daruratnya. Menurut saya tidak ada segi daruratnya tinggal disinkronkan saja antara lembaga yang ada. Tinggal dibicarakan saja. Tapi kita patut menyambut gembira pengesahan RUU Tipikor tersebut.
Sumber: Jurnal Nasional, 1 Oktober 2009