KPK Pastikan Buka Nama Penerima Cek
Pelaku Dijerat Pasal Gratifikasi
Para anggota DPR periode 1999-2004 penerima 400 travel cek untuk dana pemenangan Miranda Goeltom sebagai deputi gubernur senior (DGS) Bank Indonesia, tampaknya, sulit tidur nyenyak. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) siap memublikasikan nama mereka bila dari hasil penyelidikan kelak ditemukan pelanggaran pidana.
Ketua KPK Antasari Azhar mengungkapkan, KPK saat ini berkonsentrasi menyelidiki kasus tersebut. "Kami sedang tindak lanjut dengan penyelidikan, (sehingga) dalam tahap ini belum dapat dipublikasikan," ungkap Antasari kepada Jawa Pos kemarin.
Mantan jaksa itu tidak mengungkapkan kapan publikasi penerima cek haram tersebut. "Ada saatnya setelah semua pihak nanti dimintai keterangan," imbuhnya.
Antasari menambahkan, komisi saat ini bekerja maksimal sesuai prosedur penyelidikan. "Jika ternyata terindikasi pidana, harus bertanggung jawab di depan hukum," ucapnya.
Dalam kesempatan lain, Juru Bicara KPK Johan Budi menegaskan, pengembalian dana travel cek tersebut tidak menghilangkan dugaan pidana penerimaan gratifikasi. "Kalau dikembalikan, tentu juga tidak menghapus pidana," ungkapnya.
Itu bisa terjadi mana kala, lanjut Johan, penyelidikan temuan PPATK yang dilakukan saat ini menghasilkan kesimpulan bahwa aliran dana tersebut memang terbukti untuk pemenangan Miranda.
Selain itu, kata Johan, inisiatif pengembalian dana yang muncul sebelum dimulainya penyelidikan juga tidak bermanfaat apa-apa.
"Mereka yang punya inisiatif tetap dihargai. Tapi, kalau nanti terbukti, juga tetap tidak menghapus pidana yang ada," jelas mantan wartawan itu. Penerima cek, kata Johan, tetap saja dimintai pertanggungjawaban di meja hijau.
Namun, mereka yang berinisiatif mengembalikan dana sebelum penyelidikan mungkin mendapat tuntutan hukum yang rendah karena dinilai kooperatif. Pertimbangan lain juga bisa datang dari hakim. "Dengan begitu ,vonis yang diberikan bisa rendah," ungkapnya.
Bagaimana apabila dana dikembalikan, tapi dalam penyelidikan justru tak terbukti? Johan mengungkapkan, KPK tetap akan menerima pengembalian dana tersebut. "Ya, biar saja, dananya diserahkan," jelasnya.
Seperti diberitakan, KPK saat ini menelaah 400 travel cek temuan PPATK. Di antara penerima dana itu adalah para wakil rakyat. Total anggota Komisi IX DPR (membidangi perbankan) berjumlah 58 orang. Mereka berasal dari berbagai fraksi (siapa saja mereka, lihat grafis yang dimuat Jawa Pos, 13 September 2008). Dari mereka, 41 anggota anggota Komisi IX memilih Miranda sebagai DGS BI.
Temuan PPATK soal 400 travel cek merupakan pintu masuk sebelum komisi antikorupsi menangani lebih lanjut uang panas itu. Ini sekaligus tindak lanjut dari ''nyanyian'' Agus Condro yang mengaku menerima Rp 500 juta untuk pemenangan Miranda. Agus menyebutkan, beberapa anggota dewan yang lain juga menerima aliran dana yang sama. Agus juga mengaku telah mengembalikan dana yang pernah diterima itu kepada KPK.
Dalam kasus yang lain, pada 2003, Hamka Yandhu, anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004 juga mengaku pernah menerima dana Rp 500 juta. Dana itu berasal dari kasus aliran dana BI, yang mengalir kepada wakil rakyat Rp 31,5 miliar. Namun, Hamka mengembalikan dana tersebut pada April 2008, setelah kasus dana BI diselidiki KPK. Saat ini Hamka tetap diadili dalam kasus aliran dana BI.
Terakhir, pengembalian dana dilakukan kolega Hamka, Antony Zeidra Abidin, kepada KPK. Namun, kepalang tanggung, kasus Antony juga sudah disidangkan di pengadilan.
Paling Royal
Temuan travel cek kepada sejumlah anggota DPR yang diduga disponsori Deputi Gubernur Senior (DGS) BI Miranda Goeltom pada 2004 memang masih perlu pembuktian. KPK harus intensif berkoordinasi dengan PPATK untuk membuktikan travel cek itu memang pemberian Miranda. Yang jelas, Miranda termasuk pejabat yang royal dan boros membelanjakan uang BI.
Pengeluaran dana BI oleh Miranda itu terlacak dari audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Misalnya, sepanjang 2006, dana perjalanan dinas luar negeri bersama keluarga atau pendamping yang diklaim Miranda ke BI tercatat Rp 4 miliar. Pengganti Anwar Nasution itu bahkan mencairkan Rp 450 juta transaksi kartu kredit dengan tiga nomor kartu kredit pada tahun yang sama.
''Dari bukti yang disampaikan BPK, terlihat jelas Miranda paling boros membelanjakan uang. Nah, apakah dana yang diklaim Miranda kepada BI itu ada juga yang diteruskan ke DPR, ini yang harus dibuktikan,'' terang ekonom Ihsanuddin Noorsy. Menurut direktur eksekutif Lembaga Pengkajian Kebijakan Publik itu, data yang telah dirilis PPATK maupun BPK semestinya dijadikan acuan oleh KPK.
''Pembuktian bisa melalui BPK atau PPATK. KPK bisa memeriksa melalui temuan kejanggalan,'' terang Ihsanuddin. Dasarnya, KPK bisa merujuk pasal 41 dan 42 UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK bisa menangani kasus yang terindikasi korupsi dan bisa bekerja sama dan berkoordinasi dengan institusi lain.
Dalam audit BPK periode 2006, ditemukan inefisiensi penggunaan dana perjalanan dinas luar negeri (PDLN) dan penggunaan kartu kredit oleh DG BI sebesar Rp 5,2 miliar. BPK menemukan beberapa poin yang menyebabkan inefisiensi perjalanan dinas luar negeri oleh Miranda. Misalnya, terdapat inefisiensi biaya tiket dan uang harian pendamping (suami/istri).
Selama 2006, 22 kali atau selama 153 hari Miranda melakukan perjalanan dinas ke luar negeri yang disertai pendamping atau keluarga. Dari perjalanan itu, biaya tiket untuk pribadi dan pendamping atau keluarga tercatat USD 446 ribu atau sekitar Rp 4 miliar (kurs 1 USD = Rp 9.000). Total perjalanan seluruh DG BI adalah Rp 13 miliar.
Lalu, ditemukan juga penggunaan kartu kredit DG BI yang tidak sesuai dengan ketentuan sehingga menimbulkan inefisiensi anggaran Rp 287 juta. Secara menyeluruh, hasil pemeriksaan BPK terhadap mata anggaran biaya representasi selama 2006 terdapat penggunaan dana kartu kredit Rp 537 juta. Dari jumlah tersebut, Rp 450 juta merupakan transaksi kartu kredit milik Miranda yang menggunakan tiga nomor kartu kredit.
Kepada koran ini, salah seorang anggota Badan Supervisi BI (BSBI) Sutan Remy Sjahdeni mengatakan, BSBI tidak bisa secara leluasa melakukan kontrol terhadap dewan gubernur. BSBI juga tidak banyak berperan karena tidak punya kewenangan memeriksa kerja pejabat BI. ''Justru BPK dan BPKP yang punya wewenang memeriksa BI,'' papar Sutan.
Sebagai pengawas BI, dia mendukung upaya penuntasan BLBI yang dilakukan aparat hukum. 'Selama ini BI telah bertindak kooperatif terhadap semua pihak yang menangani kasus BLBI,'' tuturnya. Sutan mengingatkan, fokus pemeriksaan oleh KPK harus ditujukan untuk menyelamatkan keuangan negara. (git/yun/agm)
Sumber: Jawa Pos, 14 September 2008