KPK Harus Tetap Fokus Berantas Kejahatan Kehutanan
“ICW dan Human Rights Watch mendukung KPK berantas korupsi di sektor kehutanan. KPK bukan saja memberantas korupsi namun juga mencegah terjadinya kerusakan hutan yang lebih luas,” kata peneliti ICW Emerson Yuntho dalam konferensi pers di Komisi Pemberantasan Korupsi hari ini, (7/11).
Pada tahun 2011, Human Rights Watch (HRW), sebuah lembaga internasional yang mengusung penegakan hak asasi manusia, mengungkapkan bahwa Indonesia kehilangan sedikitnya Rp 22 triliun dari pajak tidak tertagih akibat pembalakan liar dan subsidi tak diakui setiap tahun.
Sementara itu, riset ICW menunjukkan potensi kerugian negara dari kawasan hutan sektor non pajak dalam kurun 2004-2007 mencapai Rp 169,797 triliun.
“Seharusnya negara mendapat Rp 217,629 triliun dari dana reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dari pembukaan 8 juta hektar lahan sawit. Tapi, Kementerian Kehutanan menyatakan bahwa total penerimaan negara dari kedua sumber tersebut hanya Rp 47,8 triliun,” jelas Emerson.
Dilansir HRW, negara rugi sekitar 2 miliar dolar per tahun akibat kejahatan kehutanan dalam rentang 2003-2006. Joe Saunders, Wakil Direktur Program HRW, mengungkapkan tata kelola yang buruk, illegal logging, dan korupsi adalah penyebab kerugian itu.
“Kerugian 2 miliar dolar ini lebih besar dari total anggaran nasional untuk kesehatan, yaitu Rp 16,8 triliun rupiah pada 2008,” ungkap Joe prihatin.
Izin pelepasan kawasan hutan di 7 provinsi diprediksi merugikan negara hampir Rp 273 triliun. Kementerian Kehutanan pada Agustus 2011 lalu mengungkapkan bahwa kerugian ini disebabkan pembukaan 727 unit perkebunan dan 1722 unit pertambangan yang bermasalah.
“ICW punya beberapa catatan untuk penindakan KPK. Salah satunya, korporasi-korporasi yang menikmati hasil kejahatan belum dijerat. Contohnya kasus Riau dan Hartati Murdaya,” tegas Emerson.
Positifnya, di aspek pencegahan, KPK mengkaji kejahatan kehutanan dan menandatangani nota kesepahaman rencana aksi untuk percepatan pengukuhan kawasan hutan Indonesia. Nota ini ditandatangani di depan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Kami berharap presiden SBY tetap mendukung dan memonitor implementasi nota ini,” ujar Joe.
SBY juga diharapkan membuat peraturan presiden untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi tentang tanah adat, bahwa wilayah tanah adat tidak boleh dijadikan wilayah konsesi perkebunan.
Sertifikasi kayu legal belum memadai
Baru-baru ini, Indonesia dan Uni Eropa menandatangani persetujuan kerjasama sukarela tentang perdagangan kayu. “Ini mewajibkan Indonesia menyertakan sertifikat kayu untuk diekspor ke Eropa. Tujuannya, untuk menunjukkan kayu diperoleh secara legal,” jelas Joe.
Namun, menurut Joe, sistem ini masih lemah. “Sertifikat ini tidak menjamin apakah kayu didapatkan tanpa korupsi atau pelanggaran hak tanah masyarakat, karena ia hanya akan mengaudit perusahaan-perusahaan untuk memeriksa apakah penjual kayu mengantongi izin,” kritik Joe lagi.
Human Rights Watch menyarankan agar sistem verifikasi legalitas kayu ini diperbaiki. Sebelum sertifikat dikeluarkan, pemerintah harus memastikan tidak ada hak-hak masyarakat yang dilanggar. “Masyarakat sering dijanjikan kompensasi, tapi tidak dapat,” terang Joe.
Masyarakat sipil, menurut Joe, dapat bergerak mendukung upaya penegakan hukum di sektor kehutanan karena ada dua instrumen yang dapat dipakai, yaitu Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik dan Putusan Mahkamah Konstitusi pada Mei 2013 yang menyatakan bahwa tanah masyarakat adat bukan bagian dari tanah negara.
“Walaupun, aturan ini terus diabaikan ketika pemerintah memberikan hak konsesi pada perusahaan penebangan hutan, pertambangan, dan perkebunan,” tutur Joe.
“Maka, yang paling penting adalah bagaimana mengawal implementasinya, bagaimana KPK menjadi bagian dari upaya pelestarian hutan dan pemberantasan korupsi di kehutanan,” tambah Emerson.
Pemberantasan korupsi sektor kehutanan terus didorong karena Undang-undang Kehutanan tidak bisa menindak kejahatan kehutanan selama ini. Malah, terang Emerson, UU Kehutanan memfasilitasi kriminalisasi petani.
“Kalau pakai UU Kehutanan, seringkali pelaku kejahatan kehutanan lolos di penyidikan atau persidangan. Pada 2004-2005, tren vonis kejahatan kehutanan menunjukkan 60% pelaku divonis bebas. Sedikit cukong kayu yang bisa dijerat. Lainnya lari ke luar negeri. Misalnya Adelin Lis, diproses tapi tidak bisa dihukum,” jelas Emerson.
Human Rights Watch juga menyerahkan hasil penelitiannya terkait kejahatan kehutanan kepada KPK. Judulnya, “Sisi Gelap Pertumbuhan Hijau: Dampak Tata kelola yang Lemah dalam Sektor Kehutanan terhadap Hak Asasi Manusia”.
Menurut Emerson, dukungan HRW adalah simbol dukungan masyarakat internasional. “Masyarakat baik di tingkat lokal, nasional, bahkan internasional mendukung pemberantasan korupsi sektor kehutanan. Ini dukungan bagi pemerintah RI,” tandas Emerson.