KPK Bisa Ajukan PK

Rencana KPK mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) disambut dengan isyarat penolakan oleh pimpinan MA melalui juru bicaranya Suhadi. Lima pimpinan KPK sebelumnya menemui Ketua MA Hatta Ali untuk membahas peluang KPK mengajukan PK atas putusan praperadilan Komjen Budi Gunawan (BG).

Juru Bicara MA Suhadi menyatakan bahwa lembaganya menutup pintu pengajukan PK. Menurutnya, tidak ada dasar hukum bagi MA menguji putusan hakim Sarpin Rizaldi. MA berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan bahwa PK hanya bisa diajukan oleh terpidana dan ahli warinsya. Sementara dalam kasus BG tidak ada terpidana karena status tersangkanya dicabut.

Menurut Suhadi, satu-satunya jalan untuk mengetahui adanya pelanggaran kode etik oleh hakim Sarpin adalah melalui investigasi Komisi Yudisial (KY). Namun, hasil investigasi KY tetap tidak bisa mempengaruhi putusan praperadilan sekalipun nantinya Hakim Sarpin terbukti melanggar kode etik.

Sebelumnya, sekitar pertengahan Februari lalu Hakim Sarpin Rizaldi menerima permohonan praperadilan Budi Gunawan. Dalam putusannya disebutkan bahwa penetapan BG sebagai tersangka kepemilikan rekening gendut tidaklah sah. Keputusan ini telah ditentang berbagai kalangan yang menegaskan bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka bukanlah objek praperadilan.

Menurut Koordinator Divisi Hukum dan  Monitoring Peradilan ICW Emerson Yuntho, KPK sesungguhnya dapat mengajukan PK ke MA. Ia merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2014 tentang pemberlakukan rumusan hasil rapat pleno kamar MA Tahun 2013 sebagai pedoman pelaksana tugas bagi pengadilan. Putusan tersebut menyatakan bisa dilakukan PK terhadap praperadilan dengan berbagai syarat, salah satunya adalah adanya dugaan penyelundupan hukum.

“Berdasarkan yurisprudensi MA, upaya PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Dalam kasus ini KPK sebagai satu pihak yang berkepentingan dalam perkara pidana dapat mengajukan upaya PK, termasuk pada putusan praperadilan perkara BG,” tegas Emerson.

Dalam Pasal 45A Undang-Undang Nomer 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung disebutkan bahwa putusan parperadilan berkekuatan hukum yang tetap, sehingga tidak dapat diajukan permohonan banding atau kasasi. "Ada tiga jenis perkara yang tidak bisa diajukan kasasi, yaitu putusan praperdilan, putusan pidana paling lama 1 tahun dan/atau denda, serta perkara tata usaha negara dengan obyek keputusan pejabat daerah," papar nya.

Dalam kasus praperadilan BG, upaya hukum dengan mengajukan PK dapat dilakukan KPK karena dalam kerangka hukum acara, PK adalah upaya hukum luar biasa terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht).

Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil mengatakan, ketentuan mengenai PK diatur dalam Pasal 264 KUHAP yang berbunyi:

(1) Terhadap putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala tuntutan hukum, Terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

(2) Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:

a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa apabila keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas dari segala dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau tuntutan Oditur tidak dapat diterima, atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;

b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu sudah terbukti, tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan sudah terbukti itu ternyata bertentangan satu dengan yang lain;

c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

(3) Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap suatu putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.

Pengajuan PK pada juga diperkuat dengan Pasal 23 ayat (1) UU Nomer 4 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung:

“Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-Undang”.

Pada prakteknya MA telah menerapkan extensive interpretation pada ketentuan 263 KUHAP, dengan memperluas subyek permohonan PK selain terpidana atau ahli warisnya yaitu Kejaksaan Agung. Terdapat delapan catatan yang dimiliki, yaitu:

- putusan MA No 55 PK/Pid/1996 dalam perkara penghasutan terpidana Muchtar Pakpahan;

- putusan MA No. 03 PK/Pid/2001 dalam perkara pemalsuan akte Ghandi Memorial School dengan terpidana Ram Gulumal;

- putusan MA No. 15 PK/Pid/2006 dalam perkara perusakan barang berupa kunci rumah, pintu rumah, kusen dan pintu WC oleh terpidana Soetiyawati;

- putusan MA No. 109 PK/Pid/2007 perkara pembunuhan alm. Munir dengan terpidana Pollycarpus;

- putusan MA No. 07 PK/Pidsus/2009 dalam perkara korupsi dengan terpidana Sjahril Sabirin;

- putusan MA No. 12 PK/Pidsus/2009 dalam perkara korupsi dengan tersangka Joko S Tjandra;

- putusan MA No. 16 PK/Pid/2010 dalam perkara penipuan/penggelapan dengan terpidana Zaki Toya;

- dan putusan MA No. 41 PK/Pid/2009 terpidana Nyayu Saodak.

Dari catatan media, dikutip dari Koran Tempo pada awal September 2014, MA mengabulkan PK yang diajukan Mabes Polri atas putusan praperadilan yang meminta diteruskan penyidikan dugaan penipuan dan penggelapan dengan korban warga Hong Kong. Atas putusan itu, Mabes Polri tetap menghentikan kasus tersebut.

Sementara pada tahun 2006, MA juga pernah mengabulkan permohonan PK terhadap suatu putusan praperadilan. Dikutip dari Hukumonline, salah satunya terjadi pada perkara Nomor.136 PK/Pid/2006 yang diputus oleh Hakim Agung Parman Suparman, Bahaudin Qaudry dan Imam Haryadi.

Bermula dari tindak pidana pemalsuan ijazah yang disangkakan kepada Anggota DPRD Way Kanan, Lampung, Ridhwan Basyah, yang dilaporkan oleh Anwar Syarifuddin. Di tengah jalan, kasus ini dihentikan oleh Kepolisian Polisi Resort Way Kanan dengan dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Tak terima dengan SP3 ini, Anwar mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Blambangan Umpu, namun ditolak oleh hakim PN. Anwar lantas mengajukan PK yang dikabulkan oleh para hakim agung dengan menyatakan penghentian penyidikan dalam kasus itu tidak sah.***

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan