KPK Beber Rambu agar APBD Terserap untuk Program Pembangunan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPU) terus berupaya tampil ramah tanpa harus kehilangan sifat lugasnya. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar kemarin (28/01) di Graha Pena, Surabaya, menegaskan, pejabat negara seperti kepala daerah tidak perlu takut membelanjakan APBD untuk program pembangunan.
''Jalankan saja, tidak perlu takut. Rambu-rambunya amat-amat jelas,'' kata Antasari di hadapan 200 lebih peserta dialog Menyelaraskan Kebijakan Penanganan Korupsi dan Memacu Inovasi di Daerah yang digelar The Jawa Pos Institute Pro-Otonomi (JPIP). Sebagian peserta adalah bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota di Jawa Timur.
Antasari membeberkan bahwa tiga rambu-rambu yang harus dipatuhi dengan tertib dan disiplin oleh para bupati atau wali kota berserta jajarannya dalam penggunaan APBD. Pertama, jangan merugikan keuangan negara. Kedua, jangan menguntungkan pribadi. Dan, ketiga, jangan menguntungkan orang lain untuk keperluan privat.
''Kalau rambu-rambu itu dipatuhi, KPK tidak akan melakukan sesuatu tindakan apa pun,'' tambahnya. Lagi pula, tegas Antasari, KPK tidak gegabah menjadikan pejabat negara sebagai tersangka tindak pidana korupsi.
Ada tahapannya, yakni dimulai dari penyelidikan. ''Jika dari penyelidikan memang ada pelanggaran pidana, barulah suatu kasus ditingkatkan menjadi penyidikan dengan mengumpulkan bukti-bukti serta menemukan tersangkanya,'' tambahnya.
Meski KPK memberikan semangat, terkesan tak langsung melegakan kalangan pemerintah kabupaten-kota. Misalnya, Wakil Wali Kota Surabaya Arief Afandi menyodorkan pengalamannya ketika dihadapkan pada regulasi yang multitafsir.
''Ada dua undang-undang yang mengatur objek sama, tetapi aturan yang harus dipatuhi berbeda. Pengalaman seperti ini yang sering mencelakakan pejabat daerah karena tersandung pelanggaran hukum. Akibatnya, pemerintah kabupaten-kota tak mau ambil risiko. Daripada tersandung KPK atau lembaga pengawasan lain, pemerintah daerah memilih pasif. Membiarkan APBD tidak terserap,'' tuturnya dalam diskusi yang dihadiri Deputi Bidang Pengawasan Keuangan Daerah BPKP Djadja Sukirman, Kanit Pidsus Mabes Polri Muchtar Manurung, Asintel Kejati Jatim Sriyono, dan Kepala BPK Perwakilan Surabaya Zindar K. Marbun.
Antasari yang berlatar belakang jaksa itu mengaku memahami alasan yang diungkapkan sebagian pejabat. Hanya, kata dia, itu tidak bisa dijadikan pembenar untuk merealisasikan APBD. ''Prioritas penindakan kami saat ini ada dua. Apakah penyerapan anggaran itu melanggar hukum atau menyalahgunakan wewenang,'' kata Antasari.
Soal adanya perbedaan aturan penggunaan anggaran, misalnya. Dia menganggap, alasan itu tidak sepenuhnya benar. Bahkan, dia menengarai alasan seperti itu kerap dijadikan ''pembelaan'' para pengguna anggaran.
Dia mencontohkan, kasus maraknya anggaran daerah yang ngendon di giro bank cukup lama. Temuan KPK tahun lalu saja, jumlahnya lebih dari Rp 100 miliar. ''Saya ingin tanya, bunga dari giro itu masuk ke mana? Ke kas daerah, atau ke tangan yang lain?'' katanya.
Bukan hanya itu, Antasari juga mengaku sangsi jika alasan-alasan tersebut yang menyebabkan para pengguna anggaran ketakutan merealisasikan anggaran. ''Sebab, saya sering berbicara dengan pimpro sebuah proyek. Mereka sebenarnya tidak takut menggunakan anggaran, tapi khawatir pendapatannya berkurang,'' ujarnya.
Yang terpenting, kata Antasari, masing-masing pemda tidak ragu dalam menggunakan anggaran, asalkan semua sudah sesuai dengan aturan main. Apalagi, KPK tetap akan menggunakan asas yurisprudensi dalam setiap permasalahan seputar penggunaan anggaran.
Dia mencontohkan, jika sebuah daerah mengambil anggaran untuk keperluan bencana alam dari pos lain, itu tidak ada masalah. ''Sebab, itu kan sangat penting. Tapi, jangan sampai anggaran itu ternyata disunat,'' katanya. (ris/mk)
Sumber: Jawa Pos, 29 Januari 2009