Korupsi Visa Rugikan Rp 3 Miliar

Bandara Ngurah Rai dan Soekarno-Hatta Rawan

Gerakan penertiban potensi korupsi yang dilakukan Departemen Hukum dan HAM (Depkum HAM) di berbagai kantor pelayanan ternyata belum efektif. Buktinya, departemen yang dipimpin Andi Matta­latta itu masih menemukan pelanggaran Visa on Arrival (VoA) di beberapa bandara.

Menurut Andy, pelanggaran terbesar penerbitan visa itu ditemukan di Bandara Ngurah Rai, Bali. Potensi kerugian negara mencapai Rp 3 miliar. ''Awalnya, kami melihat ada yang tak beres dengan penerbitan VoA. Kasus itu lapor­an dari kepala Kantor Imigrasi Denpasar. Semuanya juga berkat pemberlakuan e-office," ungkap Andi di kantornya kemarin.

Untuk menelusuri ketidakberesan itu, pekan lalu pihaknya meminta bantuan audit investigatif dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Hasilnya mengejutkan. Auditor BPK menemukan sejumlah ketidakberesan dalam penerbitan VoA periode Oktober 2008 hingga Mei 2009.Modus pelanggaran itu, kata Andi, ber­awal dari dua jenis VoA yang dikeluarkan imi­grasi. Selama ini, ada dua pilihan bagi warga asing yang tinggal di tanah air. Mereka bisa meminta izin tinggal selama sepekan dengan harga USD 10. Sedangkan izin tinggal 30 hari harganya USD 25.

Untuk mengurus visa itu, pemohon harus membeli voucher visa di Kantor BNI bandara. Selanjutnya, pemohon menuju tempat pemeriksaan imigrasi untuk diterbitkan id card izin tinggal. "Warga asing harus menukarkan lebih dahulu voucher kepada petugas counter pemeriksaan," katanya.

Kenyataannya, id card yang dikeluarkan banyak yang seharga USD 25, namun uang yang tercatat dalam pembelian visa hanya USD 10. "Ini tentu ada persoalan. Berarti ada yang hilang USD 15 setiap penerbitan id card," ungkapnya.

Andi mengungkapkan, pelanggaran tersebut tak hanya terjadi di Bandara Ngurah Rai. "Di Bandara Soekarno-Hatta juga cukup besar. Tapi, kami masih melanjutkan pe­nyelidikan ini," ungkapnya. Di tempat pemeriksaan imigrasi yang lain juga ada kasus serupa, namun tingkat pelanggarannya kecil. "Ada, tapi juga cuma satu dua," tambahnya.

Pemeriksaan terhadap pelanggaran tersebut masih dilakukan. "Kami terus memerik­sa secara lengkap kasus ini," jelasnya. Pi­hak Depkum ham juga masih menunggu hasil resmi pemeriksaan dari BPK. (git/iro)

Sumber: Jawa Pos, 7 Juli 2009

-------------------

Menteri Kantongi Nama Pelanggar

PIHAK Depkum ham tidak berpangku tangan untuk membenahi kebocoran penerbitan Visa on Arrival (VoA) tersebut. Langkah ini dilakukan agar modus operandi serupa tak terulang di berbagai tempat kedatangan orang asing. Depkum ham saat ini menempuh dua langkah strategis. Yakni, bidang pencegahan dan penindakan.

Untuk bidang pencegahan, kata Andi Matta­latta, pihaknya membahas apakah VoA dalam dua jenis (USD 10 dan USD 25) masih berlanjut sampai sekarang atau cukup satu jenis. "Kami terus membahas itu. Yang pasti, ke depan kasus serupa jangan terulang," ungkap mantan anggo­ta DPR dari Partai Golkar itu.

Namun, hingga sekarang rapat itu belum menarik keputusan apa pun terkait penerbitan izin tinggal. ''Pastinya pelayanan jangan terhambat," tambahnya. Langkah lain, kata Andi, adalah menertibkan aparat yang melanggar aturan. Pihaknya sudah mengantongi beberapa nama pegawai yang harus bertanggung jawab.

Pemerintah akan memberikan sanksi sesuai hukum kepegawaian dan sanksi pidana. (git/iro)

Sumber: Jawa Pos, 7 Juli 2009

{mospagebreak title=BPK Temukan Penyimpangan Rp 3 Miliar} 

BPK Temukan Penyimpangan Rp 3 Miliar

Badan Pemeriksa Keuangan menemukan adanya dugaan awal penyimpangan senilai Rp 3 miliar dalam pengelolaan visa on arrival di Kantor Imigrasi Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali.

Nilai penyimpangan ini diperkirakan bisa jauh lebih besar, mengingat nilai tersebut hanya diperoleh dari hasil audit sejak Oktober 2008 hingga Mei 2009. Tidak tertutup kemungkinan, penyimpangan serupa juga terjadi di kantor imigrasi yang terdapat di bandara lainnya.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta mengumumkan dugaan penyimpangan tersebut pada Senin (6/7).

Kepada pers, Andi menjelaskan, pihaknya menemukan adanya dugaan ketidakberesan dalam pengelolaan pengurusan visa on arrival. Pihaknya kemudian meminta BPK untuk melakukan audit investigatif. Dalam laporan awal yang diterima pekan lalu, BPK menemukan penyimpangan tersebut.

Penyimpangan itu bermula dari diberlakukannya dua tarif berbeda untuk pengurusan visa on arrival. Bagi pendatang yang akan tinggal sekitar satu minggu, mereka harus membayar 10 dollar AS. Adapun untuk pendatang yang tinggal lebih dari seminggu harus membayar 25 dollar AS.

Berdasarkan data visa on arrival yang dikeluarkan Kantor Imigrasi di Bandara Ngurai Rai, banyak pendatang yang tinggal lebih dari satu minggu. Namun, Ditjen Imigrasi menemukan adanya selisih uang yang disetorkan ke kas negara. Ada selisih 15 dollar AS yang kemungkinan dinikmati oknum imigrasi. (ana)

Sumber: Kompas, 7 Juli 2009

{mospagebreak title=Uang Visa on Arrival Ditilap} 

Uang Visa on Arrival Ditilap

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mengumumkan penyimpangan dalam pengurusan visa on arrival. "Pada periode Oktober 2008-Mei 2009 saja, negara dirugikan sekitar Rp 3 miliar," kata Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata kepada wartawan di kantornya kemarin.

Menurut Andi, temuan awal Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan bahwa penyimpangan pengurusan dokumen imigrasi ini terjadi di Bandara Ngurah Rai, Denpasar. "Di tempat lain mungkin ada, tapi belum terdeteksi," katanya.

Pemberian visa pada saat kedatangan berlaku bagi pelawat dari 63 negara. Visa jenis ini bisa diperoleh di beberapa tempat pemeriksaan imigrasi, termasuk di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, dan Bandara Ngurah Rai.

Penyimpangan itu, kata Andi, bermula dari pemberlakuan dua tarif dalam pengurusan visa yang diberikan saat kedatangan warga asing itu. Saat ini tarif US$ 10 dikenakan bagi pelawat yang berniat tinggal di Indonesia dalam waktu kurang dari seminggu. Adapun untuk masa tinggal lebih dari seminggu, dikenakan biaya US$ 25.

Modus penyimpangannya, menurut Andi, visa yang dikeluarkan sebenarnya bertarif US$ 25 tapi dilaporkan sebagai visa bertarif US$ 10. Selisih US$ 15 per visa itu tidak dimasukkan ke kas negara. "Dinikmati oleh oknum yang belum teridentifikasi," kata Andi.

Andi menjelaskan, keimigrasian sebenarnya telah menerapkan sistem komputerisasi yang terintegrasi. Namun, pembatalan secara manual masih bisa dilakukan petugas. Hal itu membuka peluang kecurangan. "Kami curiga ada pelanggaran, sehingga minta bantuan BPK," ujar dia.

Sampai saat ini, menurut Andi, BPK sebenarnya masih melakukan audit investigasi dan belum memberikan laporan resmi. Departemen mengumumkan temuan BPK lebih awal karena, "Khawatir dikira menutup-nutupi."

Andi berjanji menindak pegawai imigrasi yang menyimpang. Menteri juga siap menyerahkan kasus ini kepada penegak hukum, baik Komisi Pemberantasan Korupsi maupun kepolisian, jika kasus ini dianggap sebagai pelanggaran hukum. FAMEGA SYAVIRA

Sumber: Koran Tempo, 7 Juli 2009

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan