Korupsi Menista Islam
Korupsi merupakan ancaman nyata bagi umat Islam. Dua dampak utamanya adalah kemiskinan dan kebodohan. Keduanya dapat mendekatkan pada kekufuran.
Islam mengajarkan umatnya untuk menjauhi korupsi. Mereka yang melanggar akan mendapat kehinaan di dunia dan azab yang pedih di akhirat. Saking hinanya perbuatan korupsi, Nabi Muhammad SAW tidak bersedia turut mensalatkan jenazah sahabatnya yang telah menggelapkan harta rampasan perang yang jumlahnya hanya seharga 2 dirham (Marzuki Wahid dan Hifzil Alim: 2016).
Islam tidak hanya melarang dan mengancam, tapi juga mengajarkan nilai-nilai dan sikap antikorupsi. Salah satunya melalui ibadah puasa pada Ramadan. Makna utama berpuasa adalah orientasi bagi umat Islam agar selalu jujur, disiplin, peduli, dan bertanggung jawab. Semua itu sejalan dengan nilai-nilai antikorupsi.
Apabila ajaran Islam, seperti puasa, dijalankan dan diamalkan dengan benar, korupsi tidak akan menjadi masalah besar di Indonesia. Sebab, tidak akan ada lagi yang berani mengambil hak orang lain dengan cara yang tidak halal. Apalagi sampai menyelewengkan berbagai proyek dan kegiatan yang berhubungan dengan agama, seperti pengadaan Al-Quran, pembangunan madrasah, penyelenggaraan ibadah haji, dan pernikahan.
Walau Islam sudah sangat tegas mengajarkan sekaligus mengancam agar menjauhi korupsi, kenyataannya masih banyak yang nekat. Di antaranya malah ada yang dikenal sebagai orang yang taat beribadah. Data tren pemberantasan korupsi pendidikan yang disusun Indonesia Corruption Watch (ICW) memperlihatkan banyak orang yang bertugas “mengurus” agama, seperti kepala kantor wilayah agama, pegawai kantor urusan agama (KUA), dan kepala sekolah atau madrasah, terlibat korupsi.
Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan orang melupakan ajaran agama ketika sudah berada di tempat kerja. Dari sisi eksternal terkait dengan banyak tekanan, seperti keluarga, lingkungan, kesejahteraan yang minim, atau perintah paksa dari atasan.
Sedangkan dari sisi internal karena tidak benar-benar menjalankan ajaran agama. Ibadah yang dilakukan sekadar ritual untuk menggugurkan kewajiban. Misalnya puasa, cuma dianggap sebagai aktivitas menahan lapar dan lapar. Sedangkan nilai-nilai inti yang diajarkan dalam puasa, yang seharusnya dijalankan di setiap waktu dan tempat, malah dilupakan.
Selain itu, ada yang menggunakan hukum dagang dalam beragama. Mereka tahu korupsi merupakan dosa besar, tapi membuat pembenaran dengan memperbanyak ritual ibadah, khususnya yang bisa memberi banyak “bonus” pahala, seperti menyumbang tempat ibadah, memperbanyak salat sunah, hingga pergi umrah ke Tanah Suci.
Terlepas dari berbagai faktor eksternal dan internal tadi, jika ajaran Islam benar-benar dijadikan sebagai panduan hidup, ia menjadi salah satu solusi jitu untuk memerangi korupsi. Karena itu, tugas untuk mengajarkan antikorupsi tidak hanya dibebankan kepada lembaga-lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Institusi keagamaan, seperti pesantren, madrasah, masjid, dan majelis-majelis pengajian, juga berperan penting.
Melalui lembaga-lembaga itu syiar antikorupsi harus terus dihidupkan. Kebencian terhadap korupsi harus dipupuk melalui pengajian-pengajian, ceramah keagamaan, dan khotbah Jumat. Karena korupsi telah menjadi ancaman, sudah selayaknya dijadikan sebagai musuh utama umat Islam.
Ade Irawan, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch
-------------------
Artikel ini diambil dari tulisan kolom pada Edisi Khusus Ramadan Koran Tempo yang terbit Senin, 19 Juni 2017.